Kepenyairan Chairil Anwar memberikan makna bahwa sebuah karya sastra besar akan terlahir dari para penyair yang juga memiliki jiwa dan kepedulian besar. Karya-karya mereka akan bergema terus-menerus.
Oleh
PUTERA MANUABA
·4 menit baca
Tanggal 28 April 2022, genap 73 tahun penyair Chairil Anwar wafat. Ia dimakamkan di Karet, Jakarta. Jasadnya telah menyatu dengan tanah. Namun, gema puisi-puisi dan semangat perjuangannya hidup sepanjang masa. Puisi-puisinya meresap ke segenap generasi. Puisi-puisinya dibaca, dipelajari, dideklamasikan, dikutip, dan diteliti terus-menerus. Kalau kita baca dari teori estetika resepsi Robert Jausz, puisi-puisinya memiliki sejarah yang panjang, bahkan sepanjang masa, dan dalam semua generasi.
Chairil Anwar memang mati muda, dalam usia 27 tahun. Dalam usianya yang masih muda, ia sudah mengalami kematangan kreatif dalam berkarya. Puisi-puisinya menjadi tonggak kelahiran puisi modern Indonesia. Ia mendobrak tradisi kepenyairan yang hidup sebelumnya. Pendobrakannya dilakukan pada tataran bentuk (tipografi) ataupun isi, estetik ataupun ekstraestetik.
Sebagai penyair yang revolusioner, ia membebaskan diri dari tradisi dan konvensi penulisan pantun (dengan rima ab ab) ataupun dalam konvensi syair (dengan rima aa aa). Ia kemudian menciptakan puisi-puisi bebas. Sebagai penyair, ia ingin memiliki kemerdekaan berkreasi dan berekspresi.
Keberanian Chairil Anwar melakukan pembaruan itu bukan serta-merta ia lakukan. Ini semua sebagai buah pengaruh dan interaksinya dengan karya-karya asing (terutama puisi-puisi karya penyair Belanda), seperti karya-karya penyair Marsman dan Slauherhof.
Ada analis sastra yang menilai Chairil dalam puisi-puisinya memplagiasi puisi-puisi asing itu. Namun, kalau dibaca dengan teori intertekstualitas Julia Kristeva, sebenarnya karya-karya Chairil tidaklah karya plagiat. Di sini Chairil sedang mencipta dengan kesadaran intertekstualitas. Dalam kesadaran ini, dalam penciptaan puisi-puisinya tentu ada yang diafirmasi dan sekaligus ada pula yang dinegasi.
Karena itulah, kritikus sastra HB Jassin melihat puisi-puisi Chairil jauh lebih indah dan bagus ketimbang puisi-puisi yang menjadi hipogramnya. Sekaligus oleh JB Jassin kemudian Chairil dinobatkan sebagai Penyair Pelopor Angkatan 45.
Kesadaran intertekstualitas
Merupakan keniscayaan juga, puisi yang terlahir menjadi karya baru (teks transformasi) sebagai buah interteks dengan teks sebelumnya. Oleh karena itu, teks yang baru, keberadaannya tidak pernah lepas dari teks yang menginspirasi, selalu ada jalinan dengan teks-teks lain. Dalam teks yang baru, selalu ada jejak teks sebelumnya. Inilah yang dikatakan sebagai mozaik kutipan. Teori sastra ini memberikan kesadaran kreatif kepada kita, sesungguhnya Chairil Anwar mencipta dengan kesadaran intertekstualitas—kendatipun sebagai penyair Chairil pasti ia tidak tahu-menahu tentang teori itu.
Chairil Anwar memang lama telah tiada, namanya telah terpahat pada batu nisan. Ia telah diam dan membisu seribu bahasa dalam pusara yang hening. Namun, gema nilai dan semangat puisinya membahana sepanjang masa. Tak lagi sebatas membangkitkan kreativitas pencinta puisi (sastra). Namun, kata-kata yang terukir dalam puisi-puisinya—yang entah berupa diksi, baris, dan larik puisinya—disitir banyak orang secara multidimensi, digunakan sebagai penyemangat.
Ia telah diam dan membisu seribu bahasa dalam pusara yang hening. Namun, gema nilai dan semangat puisinya membahana sepanjang masa.
Patungnya dipasang di mana-mana. Namanya juga dipakai sebagai nama kelas-kelas kampus sastra. Ia menjadi milik semua orang. Ia bergema terus-menerus, di mana-mana; di lembaga pendidikan (sekolah, kampus) maupun di luar lembaga pendidikan. Ia selalu dikenang, dibuatkan acara di kampus-kampus.
Kegarangan Chairil Anwar melawan penindasan kaum penjajah seperti dalam puisinya yang berjudul ”Aku” yang sangat monumental, dari masa ke masa terdengar tak putus-putusnya. Si Aku lirik dalam puisi ”Aku” yang ditulis Chairil, diinterpretasi bukan sekadar sebagai ekspresi diri Chairil sebagai individu, melainkan sudah menjadi representasi Aku-nya Indonesia, bahkan juga Aku-nya dunia.
Sebagai penyair muda yang mencintai bangsanya, pada masanya Chairil juga memiliki kepedulian luar biasa kepada nasib bangsanya. Ia tak hanya memikirkan dirinya saja, tetapi ia berjuang dan membela melalui puisinya untuk kejayaan bangsanya. Ia melakukan perlawanan (resistensi) kultural kepada kaum penjajah yang menindas. Chairil adalah anak zaman bangsa.
Serupa yang kemudian dilakukan penyair setelahnya, yang bernama Wiji Thukul, dalam puisinya ”Aku Ingin Jadi Peluru”. Dengan kekuatan si Aku lirik, Wiji Thukul juga melakukan resistensi kultural kepada rezim Orde Baru yang menindas kala itu. Bahkan, puisi-puisi Thukul ditakuti penguasa Orde Baru melebihi ketakutan kepada 1.000 tentara. Ia juga anak zamannya, yang telahir pada saat yang tepat.
Puisi-puisi Chairil sangat monumental, juga termasuk karya pusi Thukul—penyair yang dihilangkan. Penyair dan puisinya itu lahir pada saat masa yang tepat. Inilah yang mungkin dikatakan teoretikus Marxis Lucien Goldmann bahwa di mana manusia dan masyarakat terdegradasikan, maka di situlah lahir karya-karya sastra besar (masterpices). Gema karya monumental semacam itu tentu dapat melintasi ruang dan waktu sehingga karya-karya yang seperti itu akan terus dibaca, dipelajari, dan distudi. Karya monumenta dan besar itu mengusung nilai-nilai universalitas.
Apa perihal penting yang kiranya terbaca dari kepenyairan Charil Anwar? Perihal pentingnya, kepenyairan Chairil Anwar memberikan makna bahwa sebuah karya sastra besar (monumental) akan terlahir dari para penyair yang juga memiliki jiwa dan kepedulian besar. Karya-karya yang terlahir dari para penyair (sastrawan) yang berjiwa besar ini akan bergema terus-menerus. Gemanya tidak hanya dalam satu masa saja, tetapi dalam sepanjang masa.
Putera Manuaba, Esais dan Guru Besar Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya