Puisi Chairil Anwar, Bukan Puisi yang Iseng Sendiri
Puisi Chairil Anwar bukanlah puisi yang iseng sendiri. Ruh puisinya telah mengembara jauh. Mengepakkan sayapnya tinggi, berdengung hingga bertahun-tahun, hingga 1.000 tahun.
Manisku jauh di pulau
kalau ku mati, dia mati iseng sendiri
(puisi ”Cintaku Jauh di Pulau”)
Puisi Chairil Anwar bukanlah puisi yang iseng sendiri. Ruh puisinya telah mengembara jauh. Mengepakkan sayapnya tinggi, berdengung hingga bertahun-tahun. Puisi-puisinya adalah jejak yang terus terpantul, dikuliti jauh meninggalkan penyairnya sendiri. Dengan pelbagai tema yang diudapnya, puisi-puisinya merupakan perkembangan bahasa Indonesia yang dahsyat. Mendekati 100 tahun setelah hari lahirnya, 26 Juli 1922, puisi-puisinya tetap meninggalkan jejak di benak pembaca, ataupun penyair. Ialah sang penemu itu. Eureka!
Ia memang bukan cuma satu-satunya penyair yang hidup di zamannya. Namun, pemikirannya atas puisi sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, di mana Anwar sebagai salah stau pengonsep bersama Asrul Sani dan Rivai Apin telah membentangkan sikap kepenyairan yang sungguh.
Baca juga: Berkisar (Lagi) Sajak-sajak Anwar
Ia tidak sekadar bermain dengan kata-kata. Ia mengorek kata hingga ke dasar, hingga ke akar. Pun dalam rima pengucapan, dunia puisi Indonesia dikoyaknya dengan tidak mesti melulu mementingkan rima. Kita mahfum bagaimana ia menulis dalam sajaknya yang berjudul ”1943”:
Racun berada di reguk pertama / Membusuk rabu terasa di dada / Tenggelam darah dalam nanah / Malam kelam-membelam / Jalan kaku-lurus. Putus / Candu. / Tumbang /Tanganku menadah patah / Luluh / Terbenam / Hilang / Lumpuh. / Lahir / Tegak / Berderak / Rubuh / Runtuh / Mengaum. Mengguruh / Menentang. / Menyerang / Kuning / Merah / Hitam / Kering / Tandas / Rata / Rata / Rata / Dunia / Kau / Aku / Terpaku.
Betapa kata-kata yang ia tuangkan sepenuhnya berupa kata dasar, tetapi terasa ”hidup”, menempuh semua lipatan. Ia bermain dengan sejumlah warna: kuning/merah/hitam—walau akhirnya dirinya pun merasa terpaku. Barangkali pada sejumlah kegembiraan dan kesedihan yang bergolak di tahun itu, pada kehidupan yang mengurungnya di saat perjuangan bangsa sendiri untuk merdeka dari belenggu penjajah.
Turut berjuang
Puisi semacam ”Diponegoro”, ”Persetujuan dengan Bung Karno”, atau ”Krawang-Bekasi” mengisyaratkan wilayah tempuh terjauh dari dirinya. Bahwa ia tidak melulu berada dalam menara kesunyian, melainkan turut berjuang. Ia pula yang menggetarkan semangat pada presiden pertama kita:
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji / Aku sudah cukup lama dengan bicaramu / dipanggang di atas apimu, digarami lautmu / Dari mulai tgl 17 Agustus 1945 / Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu /Aku sekarang api aku sekarang laut / Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar / Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Betapa sesungguhnya pula ia dekat dengan lingkaran kekuasaan, meskipun tetap memilih jalan kepenyairan.
Hal itu ditambahkannya pula dalam ”Krawang-Bekasi” untuk tetap menjaga Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Betapa sesungguhnya pula ia dekat dengan lingkaran kekuasaan, meskipun tetap memilih jalan kepenyairan. Hingga ia merasa sendirian dan begitu kesepian hingga sampai ”membaca” lalu menuliskan batas maut bagi dirinya sendiri. Ia yang merasa terampas dan putus bagi jalan hidupnya sendiri. Dan memikirkan daerah di mana ia akan dimakamkan:
kelam dan angin lalu mempesiang diriku, / menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, / malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu / di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin / aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang / dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; / tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang / tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku (puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”)
Foto cerita: Jejak Chairil Anwar yang Terlupa di Tanah Minang
Pun dalam esainya yang berjudul ”Membuat Sajak, Melihat Lukisan”, bagaimana Chairil Anwar sungguh-sungguh merincikan ihwal puisi. Segala bahan untuk menulis puisi, boleh dari bentuk apa saja—baku ataupun tidak—tetapi yang terpenting adalah hasilnya. Baginya adalah bagaimana pembaca dapat menikmati isi puisi. Tentu batasan ini masih sumir, sebab pembacaan atas puisi akan berbeda di setiap kepala orang. Namun setidaknya saya rasa ada semacam ”benang merah”. Utamanya ketika puisi itu akan turut berbunyi dan menelusup ke setiap celah sunyi dari sanubari setiap pribadi.
Di bagian esai itu Anwar menulis: Dia (penyair-ARN) bisa memilih kata-kata yang hubungan-kata yang tersendiri, ditimbang dengan seksama atau kata-kata ini menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya bisa dibikinnya menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya. Dengan irama dan lagu, dengan bentuk kalimat dan pilihan kata yang tersendiri dan dengan perbandingan-perbandingan si penyair, menciptakan sajaknya dan hanya jika si pembaca sanggup memperhatikan dengan teliti ”keistimewaan” yang tercapai oleh si penyair, bisalah si pembaca mengartikan dan merasakan sesuatu sajak dengan sepenuhnya. Merasa sebuah sajak bagus tidaklah harus didasarkan atas suatu atau beberapa dari ”perkakas” bahasa yang disebut tadi, tetapi harus didasarkan atas kerja sama dan perhubungannya yang sama dengan ”pokok”.
Bukankah pula seorang kawan pernah berkata, jika ukuran puisi terkadang absurd, tetapi setidaknya ada batasan lain. Bagi saya, ketika kata-kata mampu menggetarkan dada, puisi itu adalah puisi yang baik. Ia mampu menghidupkan kembali pelbagai panca indera. Lewat kata-katanya yang padat seperti menukil sekaligus menyuling ingatan yang masih berjaga pada diri kita.
Dalam bahasa Hasif Amini terkadang pula hadir dalam derau yang tak mudah diraba atau dibaca. Lanjut Hasif, derau itu hadir secara lebih rumit, halus, canggih, tersamar, tak terduga. Sebab, bahasa di situ tak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, tetapi bisa juga bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan begitu kuat dan memukau, hingga tak penting lagi apakah itu masuk akal atau tidak (Kompas, 4 April 2003).
Namun memang sebagian besar puisi Anwar masih lebih mudah ditebak maknanya.
Namun memang sebagian besar puisi Anwar masih lebih mudah ditebak maknanya. Sejumlah metafora yang ditulisnya telah sublim ke kata-kata sebelumnya sehingga kita cenderung bisa memaknai dengan lebih baik. Dan puisi-puisi Anwar, saya rasa seluruhnya masuk akal. Ia tak berpretensi menawarkan keganjilan dari kata-kata.
Membaca puisi adalah membaca kata. Ketika isi kepala bercampur dengan segala pengetahuan, menyulingnya dari segala macam kisah, mendedahkan makna yang terkandung di dalamnya. Semacam masuk dalam labirin yang panjang. Mengetuk di pelbagai pintu. Syukur bisa masuk dan bertemu dengan ragam makna dan kisah.
Itulah, terkadang saat membaca sebuah puisi terasa berbeda antarpribadi untuk meresapinya. Mulanya adalah rasa, kemudian berlanjut dengan ketegangan. Jarak antarkata yang rapat, sepenggal paragraf yang sekejap menggugah kesadaran. Tak heran, setiap kali membaca sebuah puisi, justru pembaca menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang dibangun dari pusaran kata-kata itu sendiri.
Setidaknya puisi merupakan lentikan cahaya dari kata itu sendiri. Saat bahasa bertemu dengan keberagaman, lalu kata-kata itu melata dan bergerak di dalam puisi. Mengendap kemudian menciptakan bahasa yang baru. Dengan ragam tafsir yang tak pernah selesai, tentunya.
Puisi yang bagus, memang bersifat multi tafsir. Ia meneguk seluruh ruang yang bisa disentuh pembaca. Ia membentuk sebuah medan kata-kata yang maksimal dieksplorasi. Tapi apakah perkembangan puisi kita sudah mencapai tahap ini? Berbagai eksplorasi memang telah dilakukan, bahkan tak jarang hadir ungkapan, apabila sesudah Anwar, tak ada lagi sebuah puisi yang ditulis.
Baca juga: Fundamentalisme Puisi
Pendeknya, seorang penyair menulis puisi bukan semata-mata menulis secara utuh realitas yang ditangkapnya. Dengan melakukan pengosongan, sehingga yang tampak hanyalah realitas yang murni tanpa bayang-bayang. Penyair, bagaimanapun, harus membuka sekat-sekat yang menghalanginya—dengan tidak serta-merta menuliskan sebuah kejadian secara mutlak. Penyair menulis puisi, karena ingin bicara sebuah hal yang berbeda. Suatu hal yang mungkin menggugah kesadaran dalam dirinya, entah itu cinta, ketimpangan, maut, atau kehidupan yang sederhana ini.
Saya kira, sebagaimana almarhum Sapardi Djoko Damono pernah ucapkan, puisi-puisi Anwar memang akan hidup 1.000 tahun lagi. Sembilan abad lagi dari sekarang. Dan puisi-puisinya adalah serius, bukan iseng semata. Sungguh!
Alexander Robert Nainggolan, Penyair dan Penulis; Facebook: Alex R Nainggolan