Berkisar (Lagi) Sajak-sajak Anwar
Meskipun, Chairil Anwar kembali berucap, ”aku hilang bentuk/ remuk.” Gaung penyadaran diri ini, antara penyair dan Tuhan, seperti sebuah muara yang panjang.
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
Pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
Kenyataan-kenyataan yang didapatnya. (“Aku Berkisar Antara Mereka”, Chairil Anwar)
Barangkali memang sajak-sajak Chairil Anwar akan abadi, sudah hampir satu abad sejak kepergiannya, 28 April 1949. Seperti menjawab apa yang pernah dituliskan atau dipikirkannya, dengan kenyataan dirinya yang mati muda, ttapi bersemangat untuk hidup seribu tahun lagi. Kondisi yang mengisyaratkan kerja keras, keseriusan—dengan berdarah-darah atau seperti yang ditulis dalam suratnya kepada HB Jassin—mengorek sampai ke akar kata, yang layak untuk dicatat dan mendapatkan tempat. Scripta manent verba volant.
Kini memang yang tertinggal hanya sejumlah sajak-sajaknya, yang terus menggema jauh dari usia si penyair sendiri. Tanggal hari kematiannya yang ditasbihkan sebagai Hari Puisi di Indonesia memberikan semacam simbol bahwa ia memang penyair yang melakukan perubahan secara total. Ia berontak dari kemapanan masyarakat. Mencari akar kata hingga berhari, berminggu, bahkan tahunan. Meninggalkan gambaran getir sekaligus takjub bahwa proses menulis puisi bukan sekadar picisan. Ia serius.
Kisah cintanya sendu, tetapi menyisakan aura imajis yang dalam. Simak saja dalam sajak ”Senja di Pelabuhan Kecil” yang selalu meninggalkan selaput murung tetapi tegar. Ketabahannya dalam menyibak setiap sisi kehidupan meninggalkan rongga terpanjang dalam segala kerja pengetahuan kita. Keromantisannya semacam yang tertuang dalam ”Sajak Putih”, Anwar menulis: Bersandar pada tari warna pelangi/ Kau depanku bertudung sutra senja/ Di hitam matamu kembang mawar dan melati/ Harum rambutmu mengalun bergelut senda//
Kini memang yang tertinggal hanya sejumlah sajak-sajaknya, yang terus menggema jauh dari usia si penyair sendiri.
Ia mencecap kata seperti membuat sebuah lukisan: menyihir dengan pukau gaung yang panjang. Kata-kata yang begitu rapat tanpa selaan sedikit pun. Meskipun sajak-sajak Anwar tak melulu berkisah asmara semata, ia bergerak pula dengan menorehkan kondisi zaman yang dihadapi. Ia juga berkisah tentang semangat kebangsaan, seperti dalam sajak ”Diponegoro”, ”Persetujuan dengan Bung Karno” atau sajak saduran ”Krawang-Bekasi”-nya. Ia mencatat apa yang dirasakannya. Ia adalah mata penyaksi. Di catatnya erang panjang dari perang, ketegasan dalam bersikap, atau semangat berjuang yang hingga titik nadir.
Setidaknya Anwar memang tetap kembali ke tanah airnya meskipun dalam pelbagai riwayat tentang dirinya tercatat: mengelana jauh, melalui persentuhan dirinya dengan berbagai pemikiran Barat, tetapi ternyata pulang ke pangkal ingatannya sendiri (Tanah Air). Semacam sebuah ruang yang disisakan, dengan mengambil jarak yang terentang beribu kilometer. Betapa harum kerinduan mendadak luruh. Semacam pepatah lama, hujan emas di negeri orang masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri.
Kerja belum selesai
Dalam esainya, Sutardji Calzoum Bachri pernah bilang, jika menulis puisi, berarti mengekspresikan diri secara bebas dalam bahasa tertentu. Dan, memang barangkali kerja belum selesai, semangat yang membara dalam tubuh Chairil Anwar dapat menjadi semacam pegangan jika puisi kerap membutuhkan kerja yang panjang. Terus-menerus. Sikap individual Anwar, seperti menebalkan keinginann yang terus mencari. Begitu menyala.
Dan dunia puisi kita selalu memerlukan pembaruan dengan berkesinambungan.
Dan dunia puisi kita selalu memerlukan pembaruan dengan berkesinambungan. Sajak-sajak terus ditulis, para penyair baru muncul, tetapi adakah publik yang masih berkenan untuk membacanya? Meresapinya dengan sebuah timbal balik dari kehidupan itu sendiri. Sebab, kerja memang belum selesai, kota-kota tumbuh, manusia terus berkembang biak, teknologi hadir dan menyisihkan kita dalam pergumulan aktivitas sosial. Masihkah sajak-sajak tetap dibaca, hadir dan mengalir?
Anwar, apakah puisi mampu mengatasi segalanya? Membujuk setiap pangkal kesedihan agar manusia bisa riang menerimanya? Atau seperti Iswadi Pratama bilang, bisa merebut segala hal yang remeh dan tak berarti? Aku tak tahu. Aku hanya penikmat puisimu. Anehnya, setiap kali membacanya ada yang berkecambah di dadaku. Sebuah getar yang terus berdenyar, bahkan setelah puisi itu berpuluh tahun engkau tinggalkan.
Puisimu masih terus saja berjalan, tertanam di dalam kepala—hendak melawan lupa. Buruknya pula, jika puisi ternyata hanya menjelma sekadar de ja vu. Yang hanya berkisah tentang imajinasi awang-awang. Ah, betapa puisi kembali di menara gading. Kesepian, sendiri, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengunyah rasa sepi, kecewa, sakit hati ataupun segenap elegi yang melingkupinya. Tapi, tetap saja di sana, terbungkus dalam kesendiriannya masing-masing.
Ditambah pula dengan modernitas yang ajaib, melalui media daring yang terus tumbuh bagai jamur di musim hujan, berita yang silih berganti dengan hoaks; adakah puisi mendapatkan tempat di dalam kenangan setiap orang? Ah, betapa panjang pula perjuangan puisi hari ini, dengan sejumlah dekapan kata-kata slogan—yang menjelma jadi iklan di televisi seperti melenyapkan sisi kepekaan kita.
Walaupun kita juga bahagia (bangga) dalam sejumlah film nasional teranyar, sajak masih mendapatkan tempat. Ada suasana baru yang dibangun, ada usaha untuk terus menghidupkan puisi dari dalam kepala kita. Membuka lapisan-lapisan ingatan dengan menyentuh kembali batin kepekaan kita.
Dan Chairil Anwar sudah melakukannya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ia pernah menulis sajak untuk angkatannya begini: Tanganmu nanti tegang kaku,/Jantungmu nanti berdebar berhenti,/ Tubuhmu nanti mengeras batu,/Tapi kami sederap mengganti,/Terus memahat ini Tugu,/…Kawan, kawan/ Dan kita bangkit dengan kesedaran/Mencucuk menerang hingga belulang./Kawan, kawan/Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!// (“Siap Sedia”, 1944).
Setidaknya, melalui sajak-sajak Anwar ada khidmat yang dalam. Terlepas dari kehidupan rendezvous-nya yang begitu bebas. Ada selusup kata yang sekejap melekat di setiap benak pembacanya. Ia bebas, tetapi teguh dalam menuliskan syair sajak-sajaknya. Terlebih lagi saat ia menelusup ke dalam jiwa purba manusia, ke sisi religius yang penuh kepasrahan. ”Tuhanku, dalam termangu/ aku masih menyebut nama-Mu,” tulisnya—puisi yang menyiratkan hubungan batin si penyair terdalam.
Yang lebih meninggalkan aura gumam yang panjang. Kepasrahan. Ketundukkan. Ketaatan. Meskipun, Anwar kembali berucap, ”aku hilang bentuk/ remuk.” Gaung penyadaran diri ini, antara penyair dan Tuhan, seperti sebuah muara yang panjang. Semacam bentuk upaya jika memang si penyair tak punya kemampuan apa-apa. Hanya setitik debu di dunia ini. Puisi yang kembali ditutup oleh Anwar, ”di pintuMu aku mengetuk/ aku tak bisa berpaling//”
Doa merupakan sebuah energi yang tersirat. Suatu kegiatan komunikasi batin, antara individu dan Tuhan. Setidaknya, doa merupakan usaha terakhir. Saat beban melanda di kepala dan punggung kehidupan. Dengan berdoa, manusia berupaya juga, untuk tetap tegar, dan memiliki harapan. Doa merupa lorong panjang, dari ketakberdayaan. Lewat doa, ada segumpal kidung harapaan yang jernih.
Duh, Anwar memang kerja dunia puisi kita belum selesai! Sebagaimana juga yang pernah dituliskannya:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa… (Sajak ”Krawang-Bekasi”)
Alexander Robert Nainggolan
Alexander Robert Nainggolan. Bekerja sebagai Staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm Jakarta Barat.