Fundamentalisme Puisi (Tanggapan atas Hasan Aspahani)
Puisi yang baru ditulis tentu tak niscaya menjadi puisi berkadar reka-baru. Para penelaah yang bersuaralah yang akan ”merilis” reka-baru puisi sehingga eksis dalam ruang pengetahuan publik atau membatalkannya.
Oleh
Binhad Nurrohmat
·4 menit baca
Ada yang ideologis setiap kali orang menanggapi dan menilai puisi. Ideologi di sini adalah sesuatu yang menghubungkan dan memberi kita orientasi dalam memandang dunia. Dari sudut pandang ideologi pula akan bertolak dan berlandas penilaian ihwal ada atau tidaknya serta bagaimana reka-baru (innovation) puisi yang semestinya.
Ajaran-ajaran kaum penelaah puisi yang berpengaruh telah menularkan formula-fornula reka-baru puisi modern kita. HB Jassin membaiat Chairil Anwar sebagai pelopor ”Angkatan ’45” dari abad kemarin. Ada pengaruh situasi historis dan biografis yang turut menginfiltrasi opini Jassin, misalnya latar pendudukan fasisme Jepang dan kecamuk Perang Dunia II. Faktor situasi historis inilah yang membuat larik puisi ”aku ini binatang jalang” bergema pada masa itu ketimbang ”duka maha tuan bertahta”.
Nirwan Dewanto pada abad berikutnya menampik opini Jassin itu dengan kontra opini bahwa Chairil adalah pelanjut tradisi perpuisian sebelumnya—bukan pelopor. Lebih ekstrem Nirwan menilai bahwa bentuk klasik, misalnya kuatrin, menjadi bentuk puisi Chairil yang terbaik. Nirwan meminggirkan tetek-bengek latar sejarah atau ruang hayat yang mengitari dan membentuk Chairil kecuali urusanliteratur khazanah puisi dunia yang dibaca Chairil—seolah Chairil makhluk yang kedap-sejarah dalam berkarya.
Konteks reka-baru puisi pada masa ini berbeda dalam banyak hal dengan konteks masa lain, misalnya zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Puisi sebagai karya manusia tak akan lolos dari pengaruh zamannya. Bagaimana cara memandang puisi akan berubah pula dari zaman ke zaman. Apakah sama pandangan puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri meski masa berkarya mereka dalam lingkup abad yang tak berbeda?
Reka-baru puisi dipandang ada sejauh adanya pihak legitimatornya yang berpengaruh kuat. Tanpa legitimasi Jassin, sejarah perpuisian Amir Hamzah dan Chairil Anwar tak akan seperti yang kita pahami saat ini yang menempatkan mereka sebagai ikon-ikon besar puisi terdepan dari abad lampau. Ada keberuntungan sejarah yang terlibat dalam kehadiran kepenyairan mereka yaitu peran legitimator ”Sang Paus Sastra” HB Jassin.
Lalu apa sebenarnya reka-baru puisi itu? Mudahnya adalah sesuatu yang signifikan dalam penulisan puisi yang belum ada sebelumnya. Apa yang dimaksud sesuatu yang signifikan itu tergantung sudut pandang atau ideologi yang memandang dan pada akhirnya ditentukan oleh sejarah pertarungan wacana tentang reka-baru puisi.
Puisi yang baru ditulis tentu tak niscaya menjadi puisi berkadar reka-baru. Para penelaah yang bersuaralah yang akan ”merilis” reka-baru puisi sehingga eksis dalam ruang pengetahuan publik atau membatalkannya. Ada kerja ”goreng-menggoreng” di sini dan gejala ini biasa disebut sebagai ”politik sastra”.
***
Fundamentalisme puisi, hal-hal yang diyakini sebagai dasar bagi puisi sehingga bisa dinilai bagus atau unggul, menjadi acuan yang paradoks. Dan, melalui inilah reka-baru puisi lazim ditimbang kadarnya. Reka-baru akan dihadap-hadapkan dengan konvensi, dengan hal-hal yang diyakini fundamental dalam puisi.
Reka-baru pada mulanya adalah eksperimen, upaya menempuh langkah signifikan yang belum ada sebelumnya, yang bisa berhasil atau sebaliknya. Reka-baru adalah menempuh sejenis risiko dan juga beradu ”peruntungan”. Jika para penelaah puisi antusias menyambutnya, akan beruntunglah reka-baru itu. Kalau penelaah puisi diam, bersiaplah dengan kesenyapan.
Gejala puisi Joko Pinurbo yang karikatural, penuh satir yang cerdas, kenapa diapresiasi dengan sangat antusias oleh penelaah dan publik puisi? Apakah yang karikatural merupakan hal fundamental dalam puisi? Apakah yang karikatural merupakan faktor yang membuat puisi bisa disebut punya kadar reka-baru? Lalu, ”puisi video”—bukan video puisi—karya Afrizal Malna masih bisa ataukah mesti dinilai melalui acuan-acuan yang dianggap fundamental dalam puisi? Kenapa penelaah melewatkan ”puisi video” Afrizal Malna hingga saat ini? Apakah karya Afrizal kali ini kurang beruntung atau dipandang tak punya kadar reka-baru?
Apakah buku-buku puisi yang diganjar penghargaan atau menang sayembara dalam dua dekade terakhir tak memberikan kadar reka-baru? Jika tidak, kenapa karya-karya itu menerima penghargaan dan memenangi sayembara?
*
Bertubi-tubi pertanyaan di atas ada asal-usul kehadirannya. Limpahan karya sastra, khususnya puisi, tak diimbangi kehadiran kritik sastra sehingga tak ada penilaian yang representatif dan situasi ini dijadikan dasar bahwa karya sastra dipandang tanpa kadar reka-baru. Apakah tiadanya kritik sastra berarti indikator tiadanya reka-baru dari ruahan karya sastra saat ini?
Seruan Hassan Aspahani di koran ini (8/8) yang menyoal krisis ”inovator sastra”, ketiadaan reka-baru sastra. yang dikaitkan dengan dokumen ”rujukan puisi” terdahulu yang sukar diperoleh secara memadai dan kenyamanan para sastrawan menempuh konvensi persajakan umum sebagai biang keladinya sebenarnya kurang bisa dipertanggungjawabkan obyektivitasnya.
Semestinya yang perlu ditinjau adalah minimnya kiprah kritik sastra di tengah melimpahnya karya-karya sastra saat ini. Jika belum ada telaah atau kritik terhadap karya-karya sastra saat ini yang cukup memadai, bahan apa yang dijadikan pijakan tuduhan adanya krisis reka-baru sastra saat ini? Jangan-jangan seruan Hassan itu berasal dari anutan fundamentalisme puisi yang dipaksakan ditempuh oleh para sastrawan saat ini?
Binhad Nurrohmat, Penyair; mukim di Rejoso, Jombang