Defisit Otonomi dan Etatisme Pendidikan
Otonomi pendidikan bertujuan mewujudkan pendidikan inklusif, pro-publik, menjangkau seluruh masyarakat. Namun, fenomena dan kebijakan belakangan ini justru kerap kontraproduktif dengan semangat otonomi pendidikan.
Disrupsi pendidikan semakin terasa. Ruang publik pendidikan pun mengalami kegaduhan.
Riuhnya ruang publik pendidikan ini tergambar dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tengah berlangsung sampai saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kegaduhan dalam perumusan RUU Sisdiknas, terutama kurangnya keterbukaan atau transparansi, adanya tarik-menarik kepentingan, dan minimnya partisipasi publik secara luas, inklusif, terbuka, dan bermakna dalam perumusan RUU Sisdiknas.
Begitu pun dengan dilema kebijakan pendidikan kerap terjadi, terutama tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah. Padahal, dalam penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia menganut asas otonomi yang seluas-luasnya. Konstitusi telah mengatur bagaimana asas otonomi dijalankan. Pasal 18 Ayat (5) UUD NRI 1945 cukup terang menjelaskan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Pendidikan merupakan ranah yang diotonomikan. Dalam domain UU Pemda, pendidikan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar. Artinya, bidang pendidikan merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Dalam domain UU Pemda, pendidikan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar.
Bahkan, bukan sekadar otonomi pendidikan, Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, mengenal konsep otonomi sekolah, yakni prinsip otonomi dengan manajemen berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan implementasi otonomi pendidikan pada satuan pendidikan. Narasi lebih jauh dari itu, otonomi pendidikan mencakup pula aspek otonomi sekolah dan otonomi guru. Kemendikbudristek melabeli otonomi pendidikan ini dengan konsep Merdeka Belajar, meski dalam tataran kebijakan dan implementasinya masih belum sepenuhnya sesuai dengan semangat otonomi pendidikan.
Defisit otonomi pendidikan
Pada hakikatnya otonomi pendidikan bertujuan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif, pro-publik, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok marjinal sekalipun. Otonomi pendidikan berupaya untuk mencapai pemerataan kualitas pendidikan di berbagai daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi pendidikan pun berfungsi sebagai upaya mewujudkan kedaulatan pendidikan dan mengoptimalkan sumber daya pendidikan di daerah yang berbasis keunggulan dan keberagaman potensi daerah. Tujuan akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas atau mutu pendidikan secara masif dan menghilangkan stigma disparitas pendidikan antardaerah.
Baca juga Pelatihan dan Otonomi Guru Menjadi Kunci
Meski begitu, fenomena dan kebijakan pendidikan belakangan ini justru kerap kontraproduktif dengan semangat otonomi pendidikan. Sekadar contoh ialah adanya kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang berbagai aspek pengaturannya—bahkan sampai tataran teknisnya—diatur pemerintah pusat. Padahal, sejatinya, jika menilik UU Pemda dan UU Sisdiknas, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan menengah dan dasar merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Kondisi ini menunjukkan melemahnya otonomi pendidikan yang diakibatkan oleh menguatnya semangat resentralisasi urusan pendidikan, bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan menjurus pada paham etatisme pendidikan. Politik hukum dan kebijakan pendidikan hari ini berpangku dan mengerucut pada sentralisasi urusan dan kewenangan pendidikan. Akibatnya, otonomi pendidikan terancam dan tak berdaya.
Jika tidak diatasi, kondisi ini akan menciptakan ekses adanya defisit otonomi pendidikan. Padahal, wacana otonomi pendidikan penting untuk terus digaungkan agar tata kelola pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien.
Heryunanto
Adanya defisit otonomi pendidikan ini dapat mendegradasikan konsep pendidikan itu sendiri. Pendidikan sejatinya merupakan aspek penting dalam membawa peradaban bangsa ke arah kemajuan. Ibarat mesin, pendidikan adalah lokomotif yang mampu membawa peradaban bangsa ke arah kehidupan yang lebih merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, problematika defisit otonomi pendidikan harus segera diakhiri agar otonomi pendidikan bisa ditegakkan sekaligus melahirkan legasi pendidikan yang berkeadaban, berkemajuan, dan berdaya saing.
Etatisme pendidikan
Menguatnya etatisme pendidikan ini terjadi bukan tanpa sebab. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terbentuknya wajah etatisme pendidikan.
Pertama, adanya inkonsistensi regulasi yang mengatur kewenangan urusan pendidikan. Dalam Pasal 50 Ayat (5) UU Sisdiknas disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Akan tetapi, ketentuan tersebut dicabut oleh Lampiran UU Pemda yang mengubah kewenangan pengelolaan pendidikan menengah menjadi kewenangan provinsi.
Tak ubahnya pemerintah daerah hanya diposisikan sebagai operator kebijakan pendidikan dari pusat.
Urusan dan kewenangan pendidikan menengah ini telah menjadi komoditas kebijakan yang tarik ulur tanpa mengatasi masalah pendidikan yang sesungguhnya, bahkan terjadi pelemahan inisiasi kebijakan pendidikan di daerah. Tak ubahnya pemerintah daerah hanya diposisikan sebagai operator kebijakan pendidikan dari pusat.
Dalam Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU.
Hal ini kemudian diterjemahkan ke dalam Pasal 50 Ayat (1) UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. Begitu pun dalam Pasal 50 Ayat (2) UU Sisdiknas disebutkan bahwa pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
Baca juga Arah Baru Pendidikan
Ketentuan-ketentuan ini ditafsirkan tanpa melihat roh dan semangat yang utuh dari otonomi pendidikan yang diatur dalam konstitusi ataupun UU Sisdiknas. Padahal, konstitusi dan UU Sisdiknas telah memberikan kejelasan terkait pembagian kewenangan urusan pendidikan antara pusat dan daerah.
Kedua, norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) perlu direvisi untuk mempertegas pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan secara rinci, sistematis, terstruktur, dan terorganisasi dengan baik. Selain NSPK, selama ini pembagian urusan pemerintahan konkuren di bidang pendidikan tercantum dalam Lampiran UU Pemda.
Akan tetapi, dalam Lampiran UU Pemda pun belum diatur secara detail dan komprehensif terkait pembagian urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan terkait bagaimana batas-batas kewenangan antara urusan pemerintah pusat dan daerah di bidang pendidikan.
Ketiga, faktor lainnya disebabkan oleh adanya ketidakselarasan antara dokumen perencanaan pembangunan di bidang pendidikan, baik di pemerintah pusat (RPJPN, RPJMN) dan pemerintah daerah (RPJPD, RPJMD). Belum adanya rancangan induk, cetak biru, dan peta jalan pendidikan nasional pun menjadi penyebab menguatnya resentralisasi pendidikan. Padahal, berbagai dokumen perencanaan dan rancangan induk atau peta jalan itu sangatlah penting dalam menentukan arah kebijakan dan kewenangan urusan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah.
Berbagai persoalan tersebut sejatinya dapat diselesaikan jika pemerintah pusat dan daerah memahami command of line-nya masing-masing. Dalam membentuk regulasi dan kebijakan pendidikan, sejatinya pemerintah pusat hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, prinsipiil, dan mendasar, sedangkan hal-hal yang bersifat teknis dapat diserahkan kepada pemerintah daerah.
Pembentukan peta jalan pendidikan pun menjadi penting agar menjadi kompas penunjuk arah dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kemudian NSPK bidang pendidikan pun agar segera direvisi dan di-update sesuai dengan dinamika otonomi pendidikan. Terakhir, perlu adanya upaya rekonstruksi UU Sisdiknas dengan model omnibus law yang mampu mengatasi persoalan disharmoni dan inkonsistensi regulasi di bidang pendidikan.
Berbagai upaya tersebut diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Sebaliknya, jika hal ini tidak diatasi dengan baik, tunggulah lonceng kematian otonomi pendidikan dan muncullah etatisme pendidikan nasional.
Cecep Darmawan Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia