Pemekaran dan Konsolidasi Sosial
Terlepas dari polemik dan biaya yang mahal, kemungkinan besar pemekaran akan tetap terlaksana. Meskipun pemekaran dapat dilakukan secara ”top-down”, MRP, DPD, dan masyarakat tetap perlu dilibatkan dalam pembahasan.
Di era Reformasi, pemekaran menjadi strategi yang populer dilakukan di Indonesia, terutama bagi pembangunan di Papua. Sejak 1999, jumlah provinsi naik dari 27 menjadi 34 pada 2014. Dalam periode itu terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota dari 298 menjadi 514.
Papua merupakan wilayah yang dimekarkan dengan intensitas tertinggi, sebanyak 30 kabupaten/kota dan satu provinsi baru. Setelah dibukanya moratorium secara terbatas bagi Papua, berbagai pihak mengusulkan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di level provinsi.
Setidaknya ada tujuh usulan DOB, tetapi DPR hanya menyepakati tiga, yakni Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Selatan.
Sebagian pihak menerima, tetapi tak sedikit yang menolak pemekaran. Argumentasinya, pemekaran perlu dilakukan karena membuka peluang perbaikan hidup dan penghidupan orang asli Papua (OAP). Sebaliknya, pemekaran ditolak lantaran hanya akan menguntungkan elite, menambah jumlah aparat keamanan, bahkan memarjinalkan OAP.
Masalahnya, pemekaran yang dilakukan kali ini lebih kental nuansa politik dan keamanan ketimbang mendengarkan suara OAP (Kompas, 13/4/ 2022). Implikasinya, tak mendapat legitimasi.
Menyikapi hal ini, apa yang jadi risiko pemekaran Papua? Mengapa ada paradoks di Papua? Bagaimana cara kita memahami Papua?
Sebaliknya, pemekaran ditolak lantaran hanya akan menguntungkan elite, menambah jumlah aparat keamanan, bahkan memarjinalikan OAP.
Risiko pemekaran Papua
Pemekaran sering dikaitkan dengan upaya mewujudkan kehidupan lebih baik dan bermartabat bagi OAP. Ini sejalan dengan beberapa studi yang menyatakan pemekaran berdampak baik. Mulai dari mengatasi kesenjangan dan kemiskinan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan, hingga meredakan separatisme.
Faktanya, pemekaran tak selalu berhasil. Banyak studi mendeteksi efek samping pemekaran. Di antaranya fragmentasi spasial, keegoisan lokal, beban finansial, konflik dan kekerasan, serta munculnya elite lokal (Agustino & Yusoff, 2010; Firman, 2013).
Oleh karena itu, negara perlu meninjau kembali praktik pemekaran selama ini. Di saat bersamaan, ini dilakukan agar pemekaran jadi opsi terbaik penyediaan layanan publik dan kesejahteraan OAP.
Setidaknya, ada tiga risiko utama yang perlu dikelola negara jika pemekaran segera direalisasikan. Pertama, pembentukan DOB diprediksi menelan biaya mahal. Hal ini perlu guna menyiapkan infrastruktur, merekrut aparatur sipil, penyelenggaraan pemilu, hingga pemberian dana transfer (misalnya dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus, dan dana desa).
Namun, utang luar negeri RI lebih dari Rp 7.000 triliun (Kemenkeu, 28/2/2022). Meski terkendali (BI, 14/4/2022), masyarakat tetap khawatir.
Baca juga Pemerintah Sebut Survei Menunjukkan 82 Persen Rakyat Papua Meminta Pemekaran Wilayah
Kurangnya partisipasi OAP juga menyebabkan rendahnya legitimasi sosial, sedangkan legitimasi sosial ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap negara daripada kinerja institusi negara. Persoalannya, persepsi OAP tentang negara hingga kini belum membaik. Ini tak lain karena akar-akar permasalahan yang belum tuntas (Widjojo, dkk, 2008).
Selain itu, proyek pembangunan kepercayaan (trust-building) sebagai kunci memenangkan hati dan pikiran OAP belum terlaksana akibat negara gagal memahami Papua (Ruhyanto, 2018).
Terakhir, pemekaran yang dipaksakan hanya akan memunculkan masalah baru. Gelombang penolakan dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan sebagian masyarakat.
Mereka menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dan lebih sensitif mendengarkan suara di akar rumput. Selain untuk kepentingan elite, faktor lain yang menjadi kekhawatiran OAP ialah meningkatnya jumlah aparat keamanan dan migrasi pendatang secara masif.
Ketiga risiko itu jadi bukti, pemekaran Papua tak mungkin berjalan bebas hambatan. Namun, semua risiko di atas dapat diminimalkan jika pemerintah mampu memahami Papua dengan segala paradoksnya.
Paradoks
Kita harus akui, butuh energi besar menghadapi rumitnya masalah Papua. Di balik risiko pemekaran Papua, ada persoalan paradoks yang luput dipahami para pemangku kebijakan (Lele, 2021).
Pertama, kenyataan bahwa OAP kaya, tetapi miskin. Mereka kaya dari segi kebudayaan dan sumber daya alam (Sugandi, 2008). Namun, kekayaan itu hanya dinikmati elite dan belum dikonversi menjadi kesejahteraan rakyat. Papua masih tetap miskin, bahkan di sepanjang sejarah Indonesia (BPS, 2022). Ke depan, memerangi kemiskinan harus jadi agenda prioritas pemekaran Papua.
Kedua, OAP mencintai perdamaian, tetapi kehidupannya dipenuhi konflik. Di pesisir ataupun pegunungan, mereka sama-sama menggaungkan semangat perdamaian.
Akan tetapi, kekerasan dan gangguan keamanan terus terjadi. Ini akibat konflik vertikal (TNI/Polri melawan KKB) ataupun konflik horizontal (perang antarsuku/marga). Dalam 11 tahun terakhir, tercatat 2.118 korban, dengan 1.654 mengalami luka-luka dan 464 meninggal (GTP UGM, 2022). Dengan begitu, pemekaran harus mampu mengatasi konflik yang mengakar.
Kita harus akui, butuh energi besar menghadapi rumitnya masalah Papua.
Ketiga, kesadaran bahwa OAP berbeda, tetapi diperlakukan sama. Tak dapat dimungkiri, OAP memiliki kekhasan etnik, budaya, bahasa, sejarah, hingga kepercayaan. Pembangunan fisik ataupun nonfisik di Papua masih jauh tertinggal.
Sayangnya, OAP kerap diperlakukan sama dalam kacamata kebijakan negara, sama halnya dengan provinsi lain di Indonesia. Adapun perbedaan justru menjadi sebab OAP diperlakukan rasis, bahkan distigma negatif. Karena itu, pemekaran perlu menjadi alat membangun titik temu dan mengakhiri diskriminasi.
Memahami Papua
Memahami Papua adalah upaya menghayati keindonesiaan yang majemuk. Berbagai paradoks di atas mungkin tidak mudah dicerna logika umum. Terlebih ketika dihadapkan pada idealitas bernegara. Namun, bukan tidak mungkin menemukan jalan keluar.
Terlepas dari polemik dan biaya yang mahal, kemungkinan besar pemekaran akan tetap terlaksana. Tulisan ini mengajak publik agar tidak terjebak pada pilihan menerima atau menolak pemekaran. Melihat kondisi terkini, kita perlu memberi ruang ekspresi yang memadai bagi terbentuknya jalan ketiga: menerima pemekaran dengan syarat-syarat tertentu.
Baca juga Majelis Rakyat Papua Meminta Pembahasan Pemekaran Papua Dihentikan
Dengan begitu, publik tak lagi berdebat dalam ruang pembilahan yang bersifat dikotomis. Opsi ini lebih konstruktif karena mengajak publik berpikir tentang pemekaran Papua.
Sebagai usul, pemekaran bisa dilakukan jika terpenuhinya beberapa syarat, seperti tercapainya konsolidasi sosial, baik di kalangan internal (pengusul) maupun eksternal (masyarakat umum).
Karena itu, pemerintah perlu memberi tambahan waktu untuk mereka melakukan konsolidasi. Meskipun pemekaran dapat dilakukan secara top-down, bukan berarti MRP, DPD, dan masyarakat tidak perlu dilibatkan dalam pembahasan.
Sebaliknya, MRP dan DPD berperan sangat krusial dalam menjembatani kepentingan para pemangku kebijakan di tanah Papua, seperti perwakilan adat, agama, pemuda, perempuan.
Melalui konsolidasi sosial yang konstruktif dan dialogis, pemekaran bisa kita maknai sebagai alat transformasi konflik sekaligus aspirasi publik. Di saat bersamaan, ini menjadi upaya memahami Papua dan menghormati segala kekhususannya.
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Peneliti Gugus Tugas Papua UGM