Pertamina hendaknya tidak terburu-buru menyatakan rugi akibat kenaikan harga minyak dunia. Semestinya Pertamina sebagai BUMN tidak mengedepankan untung rugi karena kepentingan publik lebih utama.
Oleh
RONNY P SASMITA
·6 menit baca
Direktur Pertamina sesumbar bahwa kerugian Pertamina dari subsidi solar, jika berpatokan pada harga dunia saat ini sekitar 120 dollar AS per barel, adalah sekitar 7.800 liter, dengan mengambil baseline perhitungan dari harga Dexlite yang sekitar Rp 12.000-13.000 per liter. Namun, perhitungan dengan baseline harga jual Dexlite tersebut terlalu dipaksakan karena harga tersebut sudah termasuk keuntungan untuk Pertamina dan pajak (semestinya tidak dihitung), selain harga produksi dan biaya transportasi.
Jika berpatokan pada harga crude oil saat ini, katakanlah 120 dollar AS per barel, dibulatkan menjadi 124-126 dollar AS karena biaya shipping, transpor (darat), dan pajak, total harga solar akan berkisar Rp 10.500-Rp 11.000. Sementara harga Rp 12.900 per liter Dexlite, misalnya, yang dijadikan patokan oleh Dirut Pertamina, adalah harga jual setelah margin keuntungan dan pajak. Disparitasnya berkisar Rp 5.500-Rp 6.000 saja, bukan Rp 7.800. Dengan kata lain, margin keuntungan untuk Pertamina dan pajak tidak perlu dihitung karena perbandingannya ke solar subsidi, bukan produk solar milik perusahaan swasta.
Selain soal angka tersebut, adanya indikasi kenaikan harga BBM, baik solar subsidi maupun Pertamax, perlu disikapi secara jujur dan komprehensif layaknya perhitungan solar di atas. Pemerintah, DPR, dan Pertamina tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual kedua jenis BBM tersebut hanya berpatokan pada harga temporal minyak dunia.
Memang ada proyeksi kenaikan tajam harga kontrak bulanan minyak dunia, katakanlah untuk bulan April dan Mei, misalnya, tetapi kenaikan harga kontrak bulanan tersebut belum bisa dijadikan patokan untuk menetapkan harga tahunan minyak dunia di APBN (ICP). Karena itu, pemerintah, DPR, dan Pertamina sebaiknya tidak reaktif atau bahkan mencoba-coba untuk memanfaatkan situasi global dengan melupakan peran konstitusional yang melekat pada BUMN Pertamina.
Beberapa catatan perlu diperhatikan terkait masalah ini. Pertama, harga saat ini berpatokan pada ICP di APBN, yakni 63 dollar AS per barel. Dengan patokan itu, tentu hasilnya untuk harga jual solar subsidi menjadi Rp 5.000-Rp 5.150 per liter sebagaimana harga hari ini. Selama harga ICP di APBN sebesar 63 dollar AS, pemerintah, DPR, dan Pertamina harus menerima apa pun risikonya jika harga minyak dunia melejit jauh di atas harga patokan nasional.
Apakah kemudian selisihnya harus ditambal dengan penambahan subsidi pemerintah atau harus ditanggung Pertamina, hal itu tergantung kesepakatan politik di DPR. Atas nama konstitusi yang memayungi setiap kesepakatan anggaran di APBN, akan menjadi tidak konstitusional jika pemerintah atau Pertamina membebankan selisihnya kepada masyarakat, terlepas dari apa pun status ekonomi dan segala embel-embel sosialnya.
Kedua, kenaikan harga saat ini bukanlah kenaikan permanen. Sebagaimana diketahui, ada faktor fundamental berupa perang Rusia-Ukraina yang melatari kelangkaan suplai minyak dunia. Tidak ada yang benar-benar bisa memprediksi ke mana arah perang tersebut dan kapan ujungnya. Namun, sinyal ke arah titik temu sudah mulai terlihat.
Jadi, fluktuasi temporal harga minyak dunia tersebut tidak bisa disandingkan secara kasar dan serampangan dengan patokan harga ICP di APBN karena harga ICP adalah harga rata-rata untuk satu tahun, yakni akumulasi harga rata-rata selama 12 bulan dibagi 12 bulan. Itulah harga ICP APBN.
Artinya, pemerintah dan Pertamina tidak bisa secara terburu-buru mengatakan Pertamina akan rugi karena saat ini baru rentang bulan Maret dan April. Boleh jadi nanti harga ICP tahun 2022 memang 63 dollar AS atau hanya lebih sedikit, misalnya 70 dollar AS atau 75 dollar AS karena misalnya di pertengahan tahun nanti kepastian suplai sudah terbentuk dan harga kembali termoderasi.
Pemerintah dan Pertamina tidak bisa secara terburu-buru mengatakan Pertamina akan rugi karena saat ini baru rentang bulan Maret dan April.
Karena itu, peringatan kerugian oleh Pertamina atau indikasi lahirnya rencana kenaikan harga jual BBM, solar, dan Pertamax sangatlah terburu-buru, bahkan terkesan terlalu berambisi berhitung untung rugi di awal tahun dengan sisa masih sekitar delapan bulan lagi waktu perhitungan harga rata-rata ICP APBN 2022.
Ketiga, jika ternyata sampai pertengahan tahun ini tren pergeseran harga memang ke atas, katakanlah bertahan di atas 100 dollar AS dan diproyeksikan akan tetap di kisaran tersebut untuk jangka waktu yang lama, tentu pemerintah bisa mengajukan perubahan harga ICP dalam APBN perubahan dan mengakomodasi kepentingan Pertamina. Tetapi, sebaiknya tidak di bulan-bulan awal tahun ini.
Tendensi harga tahunan bisa dilihat nanti setelah enam bulan pertama tahun ini, baik secara fundamental maupun secara teknikal. Yang jelas, baik pemerintah maupun Pertamina tidak bisa berpatokan pada kenaikan harga temporal di bulan-bulan tertentu saja, tetapi pada proyeksi tren dan kecenderungan harga tahunan karena perhitungannya untuk sebuah negara, bukan untuk sebuah pom bensin (SPBU) yang berbisnis harian.
Keempat, justru di saat seperti inilah sebenarnya peran publik Pertamina sangat dibutuhkan. Di saat situasi terkendali, harga berada di dalam rentang proyektif APBN, tak ada yang mempermasalahkan berapa besar keuntungan yang diraih Pertamina dari selisih harga domestik dan harga global. Contohnya saat harga terjun bebas di awal pandemi yang sampai menukik ke kisaran 20-an dollar AS. Toh tidak ada yang meminta Pertamina menurunkan harga solar atau Pertamax. Jika pun ada suara minor yang bersuara demikian, faktanya Pertamina dan pemerintah justru bergeming alias harga memang tidak diturunkan.
Namun, di saat situasi harga tinggi seperti hari ini, pemerintah dan Pertamina semestinya menggunakan logika dan perspektif yang sama di satu sisi dan perspektif Pertamina yang memiliki peran konstitusional sebagai BUMN di sisi lain. Karena peran konstitusional itu, Pertamina tidak bisa semudah itu mengedepankan pertimbangan untung rugi. Pasalnya, Pertamina punya tanggung jawab konstitusional yang berbeda dengan perusahaan swasta. Ada kepentingan publik di depan kepentingan bisnis. Jadi, untuk Direktur Pertamina, sebaiknya menahan diri berbicara untung rugi dulu karena kepentingan publik lebih utama dan karena harga minyak dunia hari ini belum tentu menjadi harga final tahunan untuk tahun ini.
Dan terakhir adalah soal daya beli. Dua tahun belakangan, supply dan demand berantakan. Baik konsumen atau masyarakat maupun sebagian besar produsen kelas menengah tertimpa beban pandemi yang luar biasa berat. Pemerintah justru harus memutar otak agar daya beli kembali pulih dan kapasitas produksi nasional kembali normal.
Nah, bagaimana jika harga BBM justru dinaikkan, dengan lompatan harga yang signifikan? Jawabannya sangat jelas, perekonomian nasional akan kembali terancam terperosok ke zona merah. Konsumen industri untuk solar akan kelimpungan, boleh jadi berujung pada pengurangan tenaga kerja. Dan kelas menengah pengguna Pertamax untuk mobil semimewah hasil kredit akan mengurangi konsumsi.
Pendeknya, perekonomian nasional akan mendapat tambahan beban. Tentu bukan risiko yang kecil bagi Indonesia yang notabene sedang berjuang memulihkan roda perekonomian nasional.
Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution