Harga minyak mentah di pasar internasional masih berada di level di atas 100 dollar AS per barel. Belum ada kepastian opsi kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat terkait bahan bakar minyak.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengutip Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent pada penutupan pasar Jumat (4/3/2022) mencapai 118,11 dollar AS per barel. Konflik bersenjata Rusia-Ukraina yang masih berlangsung membuat pasar khawatir terhadap pasokan minyak mentah. Terkait konsumsi bahan bakar minyak domestik, opsi kebijakan distribusi yang akan diambil pemerintah semestinya tetap mengutamakan menjaga daya beli masyarakat.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Minggu (6/3/2022), berpendapat, di tengah tren tingginya harga minyak mentah di pasar internasional, penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium bukan keputusan kebijakan yang bijak. Begitu pula dengan opsi kenaikan harga BBM jenis Pertamax. Menurut dia, masih banyak masyarakat kelompok menengah ke bawah membutuhkan dua jenis BBM itu.
Porsi penggunaan Pertamax dan Pertalite mencapai 65 persen dari total konsumsi BBM (gasoline dan gasoil). Sementara porsi pemakaian Premium berkisar 0,3 persen dari total konsumsi BBM.
Hal terpenting yang mesti dilakukan pemerintah adalah menjaga daya beli masyarakat. Keuntungan negara dari tren tingginya harga komoditas, seperti sawit dan batubara, seharusnya dimanfaatkan pemerintah untuk keperluan menjaga stabilitas daya beli masyarakat.
Bhima mengatakan, selama tren kenaikan harga komoditas dan minyak mentah berada di atas 100 dollar AS per barel, pendapatan negara berpotensi bertambah sekitar Rp 111 triliun. Nilai ini dia peroleh dari hasil menghitung uji sensitivitas versi nota keuangan APBN.
”Potensi tambahan pendapatan negara itu berasal dari selisih ICP (minyak mentah Indonesia) asumsi APBN 2022 sebesar 63 dollar AS per barel dengan realisasi harga minyak mentah yang telah menembus 100 dollar AS lebih per barel. Karena windfall ini, pemerintah sebenarnya bisa segera ambil langkah subsidi silang. Alokasi subsidi energi bisa ditambah dan bahkan tetap mampu membayar dana kompensasi BBM ke Pertamina,” kata Bhima.
Dia menambahkan, hal terpenting yang mesti dilakukan pemerintah adalah menjaga daya beli masyarakat. Keuntungan negara dari tren tingginya harga komoditas, seperti sawit dan batubara, seharusnya dimanfaatkan pemerintah untuk keperluan menjaga stabilitas daya beli masyarakat.
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radi. Menurut Fahmy, pemerintah perlu menaikkan harga secara selektif atau menaikkan harga jenis BBM tertentu. Dia beranggapan, pendekatan seperti itu merupakan keputusan yang tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi, dan memperburuk daya beli masyarakat.
”Kenaikan harga jenis Pertamax, misalnya. Menurut saya, proporsi konsumennya kecil dan tidak banyak digunakan untuk transportasi sehingga tidak secara langsung menaikkan biaya distribusi yang memicu harga-harga kebutuhan pokok naik,” kata Fahmy.
Pemerintah perlu menaikkan harga secara selektif atau menaikkan harga jenis BBM tertentu.
Senior Vice President - Head of Investor Relation and Acting Head of Chief Economist/Group Research BNI Yohan Setio berpendapat, beberapa opsi umum masih bisa dipertimbangkan pemerintah. Salah satunya adalah menekan konsumsi BBM yang biasanya dilakukan dengan penyesuaian harga. Langkah ini tentunya perlu dibarengi dengan pertimbangan agar dampak ke ekonomi tidak terlalu luas.
”Contohnya, penyesuaian harga secara bertahap dan selektif ke jenis BBM tertentu,” kata Yohan.
Yohan menambahkan, karena Indonesia merupakan net importer minyak, maka defisit neraca dagang minyak akan meningkat. Kebutuhan anggaran subsidi minyak pada APBN turut membengkak diikuti dengan kenaikan outstanding dan kebutuhan pembayaran cicilan utang luar negeri Indonesia akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Sebelumnya, sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18.K/MG.03/DJM/2022 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Februari 2022, harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Februari 2022 ditetapkan pemerintah sebesar 95,72 dollar AS per barel. Nilai ini naik 9,83 dollar AS per barel dari Januari 2021 yang mencapai 85,89 dollar AS per barel. Keputusan Menteri ESDM ini dirilis 1 Maret 2022.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, sejak ICP naik di atas asumsi APBN 2022 yang sebesar 63 dollar AS per barel, kementerian terus memonitor dan mengantisipasi dampaknya ke APBN, misalnya beban subsidi dan biaya kompensasi BBM.
Setiap kenaikan 1 dollar AS per barel berdampak pada kenaikan subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun. Sementara itu, setiap kenaikan ICP sebesar 1 dollar AS per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp 295 miliar.
”Namun, hal yang pasti adalah pemerintah berusaha mengamankan pasokan BBM dan elpiji,” ujar Agung.
Pertamina telah menetapkan BBM jenis Pertamax Turbo naik dari Rp 13.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter. Adapun Pertamina Dex naik dari Rp 13.200 per liter menjadi Rp 13.700 per liter. Dexlite naik dari Rp 12.150 per liter menjadi Rp 12.950 per liter. Harga Pertamax dan Pertalite, dua jenis BBM yang banyak dipakai konsumen, masih tetap, yaitu Rp 9.000 per liter dan Rp 7.650 per liter untuk wilayah Jawa dan Bali.
Sementara Shell Indonesia menaikkan harga BBM jenis Shell V-Power menjadi Rp 14.500 per liter untuk wilayah Jawa dan Rp 13.500 untuk Sumatera Utara. Adapun Shell V-Power Diesel naik menjadi Rp 13.750 per liter. Harga Shell Super yang setara Pertamax masih tetap Rp 12.990 per liter atau tak berubah sejak dinaikkan pada Februari lalu (Kompas, 4 Maret 2022).