Perang Rusia di Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan energi di Eropa dan implikasi global yang lebih luas. Pengaruh kebijakan ekonomi dan politik energi Rusia sangat signifikan.
Oleh
EKO SULISTYO
·4 menit baca
Invasi Rusia ke Ukraina, yang telah menewaskan sejumlah warga sipil, menimbulkan tekanan besar pada Barat untuk memutuskan hubungan energi mereka dengan Moskwa. Sanksi ekonomi dan larangan AS mengimpor minyak, gas, dan energi dari Rusia menegaskan bahwa konflik ini tak hanya mengandalkan mesin perang, tetapi juga energi yang dipersenjatai.
Peperangan tak dibatasi wilayah, tetapi juga permainan politik global berbasis energi.
Sebagai petrostate atau negara dengan ekonomi dan anggarannya bergantung pada ekspor migas, Rusia telah menggunakan pasokan energinya sebagai tuas kendali dengan mendikte persyaratan. Jauh sebelum invasi, dalam negosiasi gas dengan Ukraina dan Belarus pada 2006, Rusia telah menunjukkan pengaruh ekonomi dan politiknya yang besar pada negara-negara yang bergantung pada energinya.
Salah satu yang mengikat adalah penundaan setiap referendum tentang keanggotaan dengan NATO. Maka, perang Rusia di Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan energi di Eropa dan implikasi global yang lebih luas.
Maka, perang Rusia di Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan energi di Eropa dan implikasi global yang lebih luas.
Richard J Anderson (2019) dalam studinya, Europe’s Dependence on Russian Natural Gas: Perspectives and Recommendations for a Long-term Strategy, mengingatkan, naiknya ketergantungan pada hidrokarbon Rusia, khususnya gas alam, menempatkan Uni Eropa (UE) dalam bahaya.
Berbagai langkah telah dilakukan Eropa, seperti Rencana 10 Poin atas saran Badan Energi Internasional, percepatan pembangunan Trans-European Networks for Energy, dan program pendanaan energi Connecting Europe Facility yang dimulai sejak 2014, untuk menghilangkan ketergantungan pada impor gas alam Rusia. Namun, langkah ini butuh kebijakan terpadu dan berkelanjutan di berbagai sektor, serta dialog internasional tentang pasar energi dan keamanan.
Rusia pemain utama di pasar energi global, salah satu dari tiga produsen minyak mentah dunia, bersaing dengan Arab Saudi dan AS. Rusia sangat bergantung pada pendapatan dari migas, yang pada 2021 menyumbang 45 persen anggaran federal Rusia. Pada 2021, produksi minyak mentah dan kondensat Rusia mencapai 10,5 juta barel per hari (bph) atau 14 persen dari total pasokan dunia (IEA, 2022).
Pada 2021, Rusia mengekspor sekitar 4,7 juta bph minyak mentah ke seluruh dunia. China importir terbesar (1,6 juta bph), tetapi Rusia juga mengekspor volume yang signifikan ke Eropa (2,4 juta bph). Kapasitas pipa ekspor minyak mentah yang luas memungkinkan Rusia mengirim minyak dalam jumlah besar langsung ke Eropa dan Asia.
Rusia juga dikenal sebagai raksasa gas alam setelah AS dengan cadangan terbesar di dunia. Pada 2021, Rusia memproduksi 762 miliar meter kubik (bcm) gas alam dan mengekspor sekitar 210 bcm melalui pipa. Gazprom dan Novatek adalah produsen gas utama Rusia, tetapi banyak perusahaan minyak Rusia, termasuk Rosneft, juga mengoperasikan fasilitas produksi gas.
Sanksi dan embargo
Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia terus mengembangkan produksi gasnya untuk meningkatkan ekspor karena produksi gas alam domestik Eropa telah menurun. Jerman, Turki, dan Italia adalah importir terbesar gas alam Rusia. Akhir 2019, Rusia meluncurkan pipa ekspor gas utama ke timur, pipa Power of Siberia, sepanjang 3.000 km, berkapasitas 38 bcm, agar bisa mengirim gas dari ladang timur jauh langsung ke China.
Gazprom sebagai pemilik tunggal Sistem Transportasi Gas Terpadu Rusia, dengan jaringan pipa dan stasiun kompresor gas sepanjang 155.000 km, berupaya meningkatkan pasokan untuk memiliki pasar dan sarana pengiriman ke China. Rusia mengembangkan pipa Power of Siberia-2 berkapasitas 50 bcm yang akan memasok China dari ladang gas Siberia Barat.
EU tidak hanya mengkhawatirkan aspek permintaan China, tetapi juga fakta bahwa Rusia akan lebih memilih berurusan dengan China.
Perang Rusia-Ukraina yang sudah memasuki bulan kedua membuat dunia terbelah menyikapi pengamanan rantai pasok energi, terutama migas. Beberapa negara yang tak mau berada di bawah pengaruh AS dalam soal perang memilih tetap mendapatkan pasokan migas murah Rusia. Mereka tak mau terkena dampak lebih parah atas kenaikan harga minyak dan komoditas global yang bisa berimbas pada kestabilan politik dalam negeri.
Perang Rusia-Ukraina yang sudah memasuki bulan kedua membuat dunia terbelah menyikapi pengamanan rantai pasok energi, terutama migas.
Anehnya, sikap ini juga diperlihatkan negara-negara UE selaku sekutu utama AS. Meski AS telah memberlakukan embargo, mereka mengecualikannya dari sejumlah sanksi. Mereka juga berhitung apakah janji AS untuk memasok kebutuhan migas ke Eropa bisa dipenuhi dengan kebijakan AS terhadap Rusia saat ini.
Lobi AS ke negara produsen minyak, seperti Venezuela, Iran, dan Arab Saudi, serta OPEC, belum berhasil memompa cadangan minyak mereka. Sementara Rusia kini menuntut mata uangnya (rubel) dan pembukaan rekening di bank Rusia sebagai syarat pembayaran minyak dan gasnya ke negara-negara yang ikut menjatuhkan sanksi.
Jelas dampak perang semakin lama semakin berat akibat terganggunya pasokan energi. Bahkan, beberapa negara Eropa yang dikenal ambisius mengejar target net zero emission pada 2050 mulai melirik kembali batubara untuk memenuhi pasokan energinya.
Guncangan perang tak hanya menyeret ekonomi global yang baru pulih dari pandemi, tetapi juga mengubah arsitektur keamanan dan energi global. Bagi Indonesia, dampak nyata perang adalah kenaikan harga BBM dan komoditas, selain polarisasi yang membayangi KTT G20 di Bali, November 2022. Agar guncangan ini juga tak menyeret stabilitas politik nasional, perlu agenda prioritas pemerintah di tengah sumber daya yang terbatas.