Krisis energi di Rusia berdampak pula ke Indonesia. Langkah Indonesia untuk meningkatkan produksi migas dengan pemberian insentif kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi perlu didukung dan diterapkan secara luas.
Oleh
AMRULLAH HAKIM
·6 menit baca
Bisnis energi adalah tentang keseimbangan mengelola risiko, yakni harga, geologi, dan politik. Dalam kondisi damai, risiko geologi menjadi yang utama. Upaya menemukan cadangan baru jadi faktor penting untuk menjaga kesinambungan produksi minyak, baik itu di tingkat perusahaan maupun di tingkat negara. Selanjutnya, bergantung pada keberhasilan penemuan cadangan baru dan kemampuan produksinya. Jika permintaan meningkat, harga akan cenderung naik. Jika menurun, misalnya akibat pandemi, harga akan turun.
Kita mengalami kedua risiko harga dan geologi di dua tahun terakhir. Saat ini kita kembali harus memasukkan risiko ketiga, yakni politik dunia yang melibatkan negara pengekspor minyak terbesar kedua sedunia dan memiliki posisi strategis, memasok 40 persen kebutuhan gas Eropa melalui gas pipanya.
Produksi minyak
Jumlah produksi minyak Rusia saat ini terdiri dari 10 juta barel per hari minyak dan sekitar 1 juta barel kondensat atau total sekitar 11 juta barel per hari. Ini kira-kira 15 kali lipat produksi minyak Indonesia saat ini dan kira-kira sepersepuluh konsumsi dunia. Ketegangan Rusia-Ukraina, yang mengakibatkan sanksi untuk menggunakan minyak dari Rusia, tentunya sangat mudah untuk menaikkan harga minyak dunia, hingga saat ini di sekitar 118 dollar AS per barel.
Bisnis energi adalah tentang keseimbangan mengelola risiko, yakni harga, geologi, dan politik. Dalam kondisi damai, risiko geologi menjadi yang utama.
Tak mudah mengganti pasokan minyak 11 juta barel per hari (bph). Pilihan tambahan produksi yang pertama berasal dari Iran sekitar 1 juta bph. Kedua, dari gabungan Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab sekitar 1,5 juta bph. Ketiga, dari AS, yang tak mudah karena Presiden AS Joe Biden di awal memerintah banyak menghentikan rencana pembuatan pipa migas serta menutup federal leases dan izin terkait pengeboran migas sebagai bagian dari kampanye energi bersihnya.
Perlu perubahan peraturan dan insentif besar-besaran dari Pemerintah AS untuk perusahaan-perusahaan migas bisa menaikkan lagi jumlah pengeborannya. Perusahaan migas raksasa dunia juga bereaksi terhadap serangan Rusia ke Ukraina. Shell, Exxon, dan BP mengumumkan keluar dari Rusia. Total mengumumkan tak akan menyediakan kapital untuk proyek baru di Rusia.
Jika kita runut lagi, sebagai reaksi dari perekonomian dunia yang mulai pulih dari pandemi, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melihat kebutuhan dunia terus meningkat, dari 91 juta bph ke 97 juta bph, lalu 100 juta bph. Harga terus naik hingga 80-90 dollar AS per barel sehingga perlu menambah pasokan minyak dunia secara agregat.
Sejak Juli tahun lalu, OPEC hanya berusaha menaikkan produksi minyak 400.000 bph per bulan. Usaha ini tentu juga melibatkan Rusia karena Rusia anggota OPEC+. Akibat sanksi ke Rusia, pasokan minyak dunia bisa berkurang hingga 4 juta bph, dari 8 juta bph ekspor Rusia.
Produksi gas
Untuk gas, perhatian lebih khusus ditujukan kepada Gazprom, perusahaan yang pemilik saham terbesarnya adalah Pemerintah Rusia. Perusahaan ini akan memainkan kunci bagaimana memerankan kepentingan Rusia dan kepentingan bisnisnya.
Harga gas mengiringi harga minyak yang melonjak tinggi. Gazprom adalah perusahaan gas tertinggi di dunia. The Economist (26/2/2022) menyatakan bahwa Brotherhood Network yang melintasi Ukraina adalah rute transit utama untuk gas Gazprom ke Eropa walaupun pasokannya mulai berkurang akhir-akhir ini. Namun, kekhawatiran bahwa jaringan pipa vital ini akan hancur kemungkinan akan membuat harga gas terus meninggi.
Begitu juga kekhawatiran bahwa Putin bisa mematikan keran pipa gas ini sebagai bagian dari upaya perangnya walau bisa jadi Putin sangat berkepentingan dengan aliran uang Eropa untuk biaya perangnya.
Supriyanto
Jika Gazprom terus bisa memasok gas untuk Eropa, harga gas yang tinggi akan menguntungkan. Keputusan Jerman menghentikan proses persetujuan untuk NS-2, pipa bawah air yang mengalir dari Rusia, tak banyak berubah karena proses ini juga telah ditangguhkan dengan alasan hukum di Jerman. Akibat dari ini semua, acuan harga gas alam Eropa Title Transfer Facility (TTF) mendekati setara dengan 365 dollar AS per barel minyak.
Dengan harga migas yang tinggi dan ancaman kekurangan pasokan, memang mau tak mau, dunia, termasuk Indonesia, harus segera memproduksi migas sebanyak-banyaknya serta membangun infrastruktur energi seluas-luasnya.
Tidak menarik mungkin, atau bertentangan dengan keinginan untuk menjaga alam, tetapi di kondisi yang sangat tak ideal dan luar biasa ini kebutuhan energi adalah kebutuhan primer manusia. Kita mencatat, sebelum kejadian ancaman gangguan pasokan energi Rusia di tahun ini, ada tiga kejadian yang serupa, pertama tahun 1973 (embargo minyak Arab), 1979 (Revolusi Iran), dan 1990 (Perang Teluk).
Krisis energi kali ini pun telah berimbas ke batubara.
Krisis energi kali ini pun telah berimbas ke batubara. Dan Rusia adalah pengekspor batubara termal yang besar. Terjadi banyak peralihan dari gas ke batubara begitu harga gas melonjak tinggi. Kebijakan energi Jerman terbaru, seperti diungkapkan Menteri Ekonomi Robert Habeck yang dikutip oleh Nasdaq.com, awal Maret 2022, menyatakan, ”pragmatisme harus mengalahkan setiap komitmen politik”.
”Jangka pendeknya mungkin untuk berjaga-jaga dan untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, Jerman harus menjaga pembangkit listrik tenaga batubara dalam keadaan siaga dan bahkan mungkin bersiap untuk beroperasi lebih lama,” demikian disebutkan.
Dampak ke Indonesia
Dampak ke Indonesia dengan harga minyak saat ini di sekitar 118 dollar AS per barel tentu akan sangat berat karena kita telah menjadi negara pengimpor minyak. Pilihan untuk mengurangi subsidi BBM juga sulit karena tak menguntungkan secara politis. Pilihan untuk menambah subsidi dengan memakai utang pun demikian, terlebih setelah banyaknya biaya yang dibutuhkan selama penanganan Covid-19 dua tahun terakhir. Apalagi jika harga minyak terus naik ke 180 dollar AS.
Peralihan penggunaan sumber energi lain juga sangat tak mudah diterapkan dalam waktu singkat. Mobil listrik, misalnya, harganya juga masih sangat mahal dan belum terjangkau. Belum lagi infrastruktur pengisian listriknya masih sangat jarang. Jika kita tak berhati-hati, kelangkaan minyak kedua, setelah minyak goreng, yakni BBM, akan terjadi. Dan sangat mungkin terjadi inflasi harga barang yang tinggi karena ongkos transportasi jadi meningkat.
Peralihan penggunaan sumber energi lain juga sangat tak mudah diterapkan dalam waktu singkat.
Langkah tepat Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi migas Indonesia, misalnya, dengan pemberian insentif kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di tahun lalu, perlu didukung dan diterapkan dalam situasi dan kondisi yang lebih luas untuk perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Toh, kita memang masih terhitung sebagai pengimpor minyak. Kita perlu posisi yang netral.
Untuk gas, perlu kebijakan harga yang lebih kompetitif bahkan jika dibandingkan harga gas di Singapura misalnya. Iklim investasi yang menarik akan menyebabkan investor migas datang ke Indonesia. Kelangkaan energi akan menyebabkan situasi politik dan keamanan dalam negeri terganggu.
Penggunaan batubara untuk saat ini juga mulai diperbanyak lagi untuk pembangkit listrik kita karena menaikkan produksi migas sendiri butuh waktu, sementara kita belum tahu sampai kapan krisis energi Rusia ini akan berlangsung. Untuk energi baru dan terbarukan (EBT), kita bisa terus lanjutkan beriringan dengan penguatan di energi fosil ini terpenuhi. Termasuk juga penjajakan untuk memulai membangun pembangkit listrik tenaga nuklir untuk kebutuhan base load kelistrikan kita.
Keseimbangan harga energi, konservasi alam, penghematan konsumsi energi, dan kestabilan keamanan harus bisa dilakukan secara tepat. Hal yang mudah untuk dikatakan, tetapi sulit dikerjakan.