Perang Rusia-Ukraina diperkirakan akan berkepanjangan. Ketegangan tersebut dapat memperburuk inflasi di banyak negara karena telah memicu krisis energi. Rusia yang merupakan penghasil migas terbesar kedua setelah Amerika Serikat mengekspor sekitar 49 persen migas ke Uni Eropa. Di sisi lain, Ukraina berperan sentral menaikkan harga minyak sawit mentah (CPO).
Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap dunia mulai dirasakan, baik dari sisi kebutuhan maupun pasokan barang. Harga minyak bumi, gas, CPO, gandum, dan berbagai bahan baku lainnya kian mahal. Dari sisi pasokan, diperkirakan kebutuhan dunia akan terhambat karena ekspor Rusia ke dunia mencapai 1,9 persen.
Ketergantungan pangan dan energi
Ukraina dan Rusia bukanlah negara mitra dagang utama dengan Indonesia. Namun, Indonesia telah merasakan dampak berupa kenaikan harga minyak goreng, minyak bumi, kedelai, dan daging sapi. Jika dicermati, ada dua hal yang patut diwaspadai Indonesia terkait gejolak Rusia dan Ukraina ini.
Baca juga: Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina
Pertama, efek langsung dari hubungan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina. Indonesia mengimpor besi baja, pupuk, dan bahan bakar dari Rusia sebanyak 10.006,5 juta dollar AS. Maka, apabila impor terganggu dan stok pupuk tidak terjaga, besar kemungkinan harga pupuk akan naik, yang tentu berefek pada kenaikan harga-harga komoditas pertanian.
Neraca perdagangan Rusia Indonesia juga tercatat surplus 239,8 juta dollar AS. Artinya, Indonesia akan berpotensi kehilangan pendapatan dari ekspor ke Rusia.
Dari sisi Ukraina, impor tertinggi Indonesia adalah gandum. Gandum merupakan bahan baku berbagai macam makanan di Indonesia. Berdasarkan rilis BPS, bahan makanan merupakan komponen khusus terbesar penyumbang inflasi bulan Maret 2022, baik secara tahunan (yoy) maupun bulanan (m-to-m).
Kedua, efek tidak langsung berupa gejolak harga di negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Peningkatan harga produsen di sejumlah negara tersebut pasti berpengaruh terhadap supply output perekonomian Indonesia.
Saat bahan baku naik, tentu akan ada kenaikan harga produk atau pengurangan tenaga kerja, terutama supply output pada pangan karena neraca perdagangan pangan Indonesia masih bergantung pada impor. Sejak tahun 2007 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan pangan. Tahun 2021 defisit neraca tersebut sebesar 2,6 juta dollar AS.
Beberapa negara asal impor utama Indonesia: untuk gandum dari Australia dan Argentina, kedelai dari AS dan Kanada, serta hasil minyak dari Singapura dan Malaysia. Secara umum impor terbesar berasal dari China (4,63 miliar dollar AS), Jepang (1,15 miliar dollar AS), dan Thailand (1,03 miliar dollar AS). Indonesia perlu segera memetakan negara mitra dagang utama yang diperkirakan paling terdampak perang Rusia-Ukraina, kemudian mencari negara alternatif lainnya.
Indonesia perlu segera memetakan negara mitra dagang utama yang diperkirakan paling terdampak perang Rusia-Ukraina, kemudian mencari negara alternatif lainnya.
Meredam gejolak harga
Gejolak harga tentu akan menyebabkan banyak masalah. Berbagai dampak yang mungkin timbul, antara lain, penurunan daya beli akan menekan konsumsi masyarakat sehingga berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi. Penambahan penduduk miskin juga memungkinkan terjadi akibat naiknya garis kemiskinan. Dampak besar lainnya adalah turunnya output perekonomian akan berisiko pada pengurangan tenaga kerja dan peningkatan pengangguran.
Namun, di balik segudang masalah yang timbul, tentu Indonesia juga diuntungkan dari kenaikan harga beberapa komoditas. Saat ini Indonesia banyak mengekspor batubara, dan harga batubara acuan (HBA) bulan Februari 2022 naik 29,88 dollar AS per ton dibandingkan pada Januari 2022.
BPS mencatat pada Januari-Februari 2022 ekspor bahan bakar nonmigas Indonesia sebesar 4,24 miliar dollar AS. Ekspor pada Februari 2022 naik 1.756,4 juta dollar AS dibandingkan pada Januari 2022. Maka, upaya pertama yang perlu segera dilakukan pemerintah ialah memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga untuk membiayai strategi penanganan dampak gejolak harga.
Baca juga: Konflik Rusia-Ukraina dan Deglobalisasi
Upaya selanjutnya ialah meminimalkan perbedaan harga lokal dengan internasional pada komoditas yang banyak dikonsumsi dalam negeri. Kebijakan itu diterapkan, misalnya, pada saat harga CPO internasional meningkat dan di dalam negeri jauh lebih murah.
Pemerintah perlu menaikkan pajak ekspor dan mengurangi pajak impor agar gairah mengekspor bisa diredam. Harapannya, kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi dan harga tidak melonjak tajam.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi penyediaan dana stabilitas serta memetakan komoditas utama, komoditas pengganti, serta komoditas olahan. Dana stabilitas dapat disisihkan ketika harga dunia turun. Seperti saat harga minyak bumi tahun 2021 turun, sebaiknya selisih keuntungan penjualan BBM dimasukkan ke dana stabilitas dan digunakan untuk subtitusi ketika harga minyak bumi naik.
Sementara pemetaan komoditas digunakan untuk mengurangi volatilitas harga dari waktu ke waktu karena adanya ketergantungan pada alam dan komoditas produk sumber daya alam yang tidak diolah. Semakin tinggi ekspor bahan mentah, penerimaan ekspor negara akan mudah terganggu isu dunia. Perlu ada transformasi struktural agar Indonesia tidak mudah mendapatkan gonjang-ganjing harga.
Baca juga: Menyikapi Ketidakpastian Ujung Perang Rusia-Ukraina
Barangkali tidak ada satu negara pun yang dapat menahan kenaikan harga barang dan jasa. Namun, memungkinkan bagi negara untuk meredam gejolak kenaikan harga. Malaysia meredam gejolak harga BBM dengan menerapkan on off Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Di saat harga barang di dunia bergejolak, per 1 April Pemerintah Indonesia justru menetapkan kebijakan PPN 11 persen. Ini juga dilakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan yang biasanya terjadi inflasi akibat kenaikan konsumsi.
Maka, belajar dari tetangga sebelah, barangkali upaya tak kalah penting untuk meredam gejolak harga adalah pemerintah melakukan evaluasi kembali kebijakan PPN 11 persen tersebut.
Dwi Wahyu Triscowati, Statistisi pada BPS Kabupaten Banyuwangi