”People Power” Filipina, Reformasi Indonesia, dan Kegelisahan Romo Herry
Buku ini warisan akademis dan praksis Romo Herry bagi Indonesia dan kemanusiaan. Buku ini satu dari empat buku pemikiran Romo Herry yang dikompilasi dari 82 artikel yang terbit di Kompas, sejumlah paper, dan bahan ajar.
Oleh
WAHYU SUSILO
·5 menit baca
Membaca buku kumpulan artikel Romo B Herry Priyono ini, membawa ingatan saya melewati lorong waktu lebih dari 30 tahun yang lalu, tepatnya antara Juli dan September 1989 di perpustakaan P3PK Universitas Gadjah Mada ketika Romo Herry (panggilan akrab dari Romo B Herry Priyono) ini diminta secara khusus oleh sekelompok aktivis mahasiswa menjadi pembicara dalam diskusi terbatas mengenai people power di Filipina dan perbandingannya dengan situasi di Indonesia.
Uraian lelaki muda berkacamata itu tentang proses terjadinya people power di Filipina sangat runtut dan lengkap, seperti memberi segelas air putih yang segar kepada segenap pendengar diskusi yang kehausan, mengenai peristiwa penjungkalan penguasa politik negeri tetangga itu. Seperti diketahui, meski peristiwa penjungkalan diktator Ferdinand Marcos juga diberitakan oleh pers Indonesia, ada banyak informasi penting yang tak bisa disampaikan oleh pers di Indonesia yang saat itu harus tunduk pada aturan pers Pancasila yang ”bebas dan bertanggung jawab”.
Sebagai saksi mata peristiwa penting yang mengubah wajah Filipina saat itu, Romo Herry Priyono berada langsung di kancah pergolakan rakyat Filipina ketika menempuh studi lanjut di University of the Philippines dalam bidang sosiologi.
Membaca artikel-artikel yang ditulis Romo Herry, terutama di sepanjang tahun 1987-1989 mengingatkan kembali materi diskusi terbatas dengan kalangan aktivis mahasiswa saat itu yang sedang berkonsolidasi memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, sedang berlangsung persidangan terhadap tiga aktivis kelompok studi Palagan (Bambang Isti Nugroho, Bambang Subono, dan Bonar Tigor Naipospos) dengan tuduhan melakukan kegiatan subversif mendiskusikan dan mendistribusikan novel Pramoedya Ananta Toer.
Pada sebagian besar artikelnya, Romo Herry secara detail mengurai aspek-aspek historis, konteks ekonomi-politik dan konfigurasi pelaku politik Filipina dan peran pemimpin agama untuk menjelaskan faktor-faktor signifikan mengapa people power tersebut terjadi dan memberi argumen pula mengapa aspirasi-aspirasi politik yang tercetus dalam pergolakan tersebut menghadapi tantangan untuk perwujudannya.
Meski dalam seluruh artikel mengenai perlawanan rakyat Filipina terhadap diktator Ferdinand Marcos yang berkuasa sejak tahun 1965 tersebut Romo Herry tidak pernah secara eksplisit membandingkan dengan kemiripan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Indonesia, secara tersirat (implisit) para pembaca akan bisa menerjemahkan kecamuk kegelisahan sekaligus kegeraman Romo Herry mengenai penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi, nepotisme, dan penggunaan kekuatan koersif oleh penguasa politik dimana pun.
Romo Herry terus memantau dinamika politik yang terjadi di Filipina dengan menggunakan aspirasi-aspirasi politik yang tercetus dalam people power Februari 1986 sebagai tolok ukur perkembangan politik di Filipina, misalnya mengenai militer dan kudeta, keberlanjutan penguasaan ekonomi kaum tuan tanah (hacienda) dan lemahnya masyarakat sipil. Kontroversi mengenai pemulangan jenazah Ferdinand Marcos merupakan artikel terakhirnya terkait dengan dinamika ekonomi-politik Filipina.
Perjumpaan selanjutnya dengan Romo Herry di pengujung kekuasaan Orde Baru, yang makin memanas setelah peristiwa 27 Juli 1996 ditandai dengan penangkapan sejumlah aktivis PRD untuk diadili sebagai kambing hitam peristiwa yang dikenal sebagai Sabtu Kelabu tersebut. Peristiwa ini terus berlanjut hingga penculikan aktivis, peristiwa 12-13 Mei 1998 yang ditandai dengan kerusuhan sistematik di kota-kota dan pemerkosaan massal hingga akhirnya memaksa Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Dalam peristiwa-peristiwa penting dan genting tersebut, Romo Herry aktif di Institut Sosial Jakarta, sebuah organisasi nonpemerintah yang pada awalnya bekerja untuk anak-anak jalanan dan kaum miskin kota hingga akhirnya mengorganisasi inisiatif kerelawanan multisektoral untuk mendukung gerakan melawan Soeharto dan terus mempertanyakan tanggung jawab negara dalam kekerasan politik yang terjadi dalam tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto.
Sebelumnya, Romo Herry juga menulis artikel mengenai tanah dan hak asasi manusia sebagai problem serius yang memperlihatkan wajah kekuasaan Orde Baru yang tidak berpihak. Artikel tersebut ditulis pada dekade sembilan puluhan, ketika kasus-kasus sengketa agraria menyeruak ke permukaan bahkan telah menampar wajah kekuasaan Orde Baru ketika kasus Kedung Ombo mampu mengundang keprihatinan masyarakat internasional.
Kegelisahannya terus terlihat ketika arah reformasi 1998 menghadapi tantangan serius ketika kekuasaan digoda oleh korupsi, ketika konstitusi penjaga demokrasi dan hak asasi ditelikung oleh sikap-sikap intoleransi.
Ketekunan Romo Herry juga terlihat dalam kesetiaannya menuliskan wajah Indonesia pascareformasi dengan tetap menggunakan cita-cita reformasi Indonesia di tahun 1998 sebagai tolok ukur kemajuan atau kemunduran kepolitikan Indonesia. Kegelisahannya terus terlihat ketika arah reformasi 1998 menghadapi tantangan serius ketika kekuasaan digoda oleh korupsi, ketika konstitusi penjaga demokrasi dan hak asasi ditelikung oleh sikap-sikap intoleransi. Pertanyaan-pertanyaan kritis selalu terlontar dalam artikelnya yang bukan sekadar sebagai komentator politik, melainkan berbasis pada sikap kritis sebagai akademisi dan keterlibatannya yang mendalam di gerakan sosial.
Meski artikel-artikel ini merekam peristiwa people power di Filipina yang sudah berumur hampir empat dekade dan gerakan Reformasi Indonesia menuju tiga dekade, kita masih menemukan relevansi dari artikel-artikel yang ditulis oleh Romo Herry ini. Beberapa artikel terkait ekonomi-politik selebritas dan selebrasi dalam kaitannya dengan pengaruh media juga menemukan relevansinya dalam konteks post-truth saat ini.
Hari-hari ini, Filipina memasuki masa kampanye pemilu serentak yang akan berlangsung Mei 2022. Salah satu isu yang menonjol adalah kembalinya dinasti Marcos untuk meraih kemenangan dalam pemilu tahun ini. Tentu ini tantangan berat bagi Filipina yang mencoba menyudahi sejarah buruk kediktatoran Marcos yang termanifestasi dalam people power pada Februari 1986.
Bagaimana dengan Indonesia? Reformasi 1998 memang menjatuhkan Soeharto, tetapi korupsi, penguasaan sumber daya, dan ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan berat. Konstitusi juga sedang diuji dengan berembusnya wacana penundaan pemilu. Bahkan kecemasannya terhadap korupsi mendorong Romo Herry menulis buku khusus mengenai Korupsi setebal lebih dari 600 halaman.
Penerbitan buku ini adalah untuk warisan akademis dan praksis Romo Herry untuk Indonesia dan kemanusiaan yang lebih baik. Buku ini satu dari empat buku pemikiran Romo Herry yang dikompilasi dari 82 artikel yang ditulisnya untuk harian Kompas sepanjang 33 tahun dan beberapa paper dan materi perkuliahannya selama menjadi pengajar di STF Driyarkara. Tiga buku lainnya mengambil tema tentang Ekonomi Politik: dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberal; Ilmu Sosial Dasar: Asal-usul, Metode, Teori plus Dialog dengan Filsafat dan Teologi, serta Kebebasan, Keadilan dan Kekuasaan Politik: Filsafat Politik and What It is All About.
Romo Bernardinus Herry Priyono memang telah meninggalkan kita pada 21 Desember 2020, tetapi warisan pemikirannya masih bisa kita baca dalam buku-buku ini.
Wahyu Susilo,Direktur Eksekutif Migrant Care, peminat studi perbandingan politik Indonesia-Filipina
Judul Buku : People Power Filipina & Reformasi Indonesia: Catatan Kritis dari Perspektif Ekonomi Politik