Menulis dan membaca karya sastra sudah sebentuk pelaksanaan demokrasi. Dan pelaksanaan demokrasi ini merupakan modal penting dan relevan untuk memungkinkan demokrasi kian hidup dan menghidupi.
Oleh
HIKMAT GUMELAR
·4 menit baca
Demokrasi tidak akan berkembang dengan menunda pemilihan umum. Maraknya sastra lebih mungkin menjadikan demokrasi kian mendekati yang kita harapkan bersama.
Anda boleh terperangah. Bahkan juga boleh memandangnya sebelah mata. Namun, novelis peraih Nobel Sastra, Olga Tokarzuk, menyatakan, ”Premis demokrasi adalah bahwa kita harus sadar diri untuk membuat keputusan.”
Untuk mencapai hal tersebut, tentu bukan dengan bermain berbagai akrobat dalam menangani pendemi Covid-19 dan terburu-buru membangun ibu kota negara baru agar mempunyai dalih sahih tak ada cukup dana untuk menyelenggarakan pemilu pada waktunya. Pendidikanlah kendaraan terbaik untuk memungkinkan demokrasi bukan saja demokrasi politik, tetapi pun demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial, sehingga, seperti dikatakan Mohammad Hatta, menjadi lebih mungkin mewujud semboyan ”kemerdekaan, kesataraan, dan persaudaraan”.
Sampai hari ini, jika mau jujur dan rendah hati, demokrasi kita bahkan mewujudkan demokrasi politik saja belum sampai. Sampai hari ini, demokrasi kita baru sebatas menyelenggarakan pemilu lima tahun sekali.
Pemilu demi pemilu pun tidak berlebih jika dikata masih merupakan proyek pembiusan massal puluhan juta warga dengan berbagai cara, termasuk cara yang melanggar hukum. Puluhan juta warga dibuat mabuk dan berseteru demi kandidat itu, demi kandidat ini, yang kebanyakan jika terpilih akan segera mengkhianati janji-janji mereka ketika berkampanye. Begitu terpilih, mereka langsung bekerja untuk minimal mengembalikan modal yang telah dihabiskan untuk mematikan kesadaran warga.
Dengan sendirinya posisi dan pola komunikasi kebanyakan mereka pun beralih. Dari yang semula penuh mau blusukan menyambangi warga menjelma jadi laksana bos yang the untouchable. Ada berlapis-lapis barisan yang mengelilinginya, yang fungsinya antara lain menyeleksi siapa saja yang bisa dan tidak bisa menghubungi mereka baik langsung maupun melalui perangkat komunikasi. Jika pun kebetulan ada dari mereka yang papasan dengan konstituennya, jika tidak ngibul bahwa ia sedang terburu-buru karena tugas yang harus dirampungkan secepat-cepatnya, caranya membalas sapaan mengisyaratkan permintaan agar tak mengganggunya.
Dalam kegiatan-kegiatan seperti peringatan Hari Kemerdekaan RI, peringatan Hari Sumpah Pemuda, atau peringatan Hari Pahlawan, paras mereka bersalin lagi seperti pada hari-hari menjelang pemilu. Selesai acara-acara seremonial otomatis paras mereka kembali ke sebelum perayaan.
Begitu pula ketika mereka melakukan kunjungan darurat ke daerah-daerah yang terlanda banjir, longsor, atau gunung meletus. Mereka berkeras mengesankan seperti warga yang digasak musibah. Kemudian menyerahkan secara simbolis apa yang mereka sebut sebagai bantuan. Kemudian menyampaikan kepada para wartawan kata-kata yang sudah dipersiapkan. Kemudian mereka mengeluh kelelahan dalam perjalanan pulang karena telah melakukan apa yang padahal baru sebagian kecil saja dari kewajiban mereka.
Eksekutif, legislatif, dan yudikatif baru tidaklah identik dengan pembaruan dalam pengertian perbaikan berbagai bidang kehidupan segenap warga.
Dengan demikian, eksekutif, legislatif, dan yudikatif baru tidaklah identik dengan pembaruan dalam pengertian perbaikan berbagai bidang kehidupan segenap warga. Wajar jika pemerintahan di sejumlah tingkatan pun masih berjalan dengan etos pemerintahan sebelum-sebelumnya; bukan melayani, melainkan minta dilayani. Namun, wajar tidak nicscaya benar.
Yang benar adalah jika eksekutif, legislatif, dan yudikatif kompak bekerja keras dan kreatif memungkinkan dari hari ke hari kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan kian meluas dan mendalam. Untuk mencapainya, mereka antara lain memungkinkan pendidikan lebih berkualitas melalui kehidupan sastra marak dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote.
Proses seperti itu dapat memungkinkan daya imajinasi berbagai kalangan warga meningkat. Meningkatnya daya imajinasi berbagai kalangan warga ini dapat memungkinkan mereka dapat saling memasuki, saling berempati. Ide-ide spesifik, penting, dan relevan untuk memecahkan berbagai masalah dan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama menjadi bisa dipastikan akan bermunculan dan dapat dijalankan. Dan karena ide-ide demikian bermunculan dari berbagai kalangan warga, mereka sangat mungkin penuh mau bergotong royong mewujudkannya.
Meningkatnya kecerdasan imajinatif seperti itu merupakan tujuan dan pelaksanaan demokrasi, setidaknya hemat saya. Jika Anda masih ragu terhadap signifikasi sastra bagi demokrasi, silakan ingat lagi kenikmatan Anda ketika membaca sebuah novel yang bagus, misalnya. Kenikmatan itu diberikan oleh imajinasi yang memungkinkan kita mengalami apa-apa yang dialami tokoh-tokoh novel yang kita baca. Proses ini terjadi karena tokoh-tokoh di situ, siapa pun mereka, dari anak balita sampai menteri kesehatan, dari maling sampai ulama, dari kuli bangunan sampai menteri perumahan, semua mempunyai ruang untuk bersuara.
Melalui paduan berbagai suara yang membentuk dan dibentuk berbagai peristiwa dan plot itu, penulis memang berupaya menyampaikan makna tertentu. Namun, makna yang dimaksudkan penulis hanya salah satu saja makna novel. Berdasarkan biografinya dan situasi pembacaannya yang unik, pembaca pun sah-sah saja memaknai novel secara berbeda dengan yang diniatkan penulisnya.
Justru dengan begitu menulis dan membaca karya sastra sudah sebentuk pelaksanaan demokrasi. Dan pelaksanaan demokrasi ini merupakan modal penting dan relevan untuk memungkinkan demokrasi kian hidup dan menghidupi. Biaya ekonomi, politik, dan sosial untuk memungkinkannya pun dapat dipastikan tak akan sampai sebesar biaya untuk buru-buru membangun ibu kota negara baru dan mengamendemen konstitusi untuk melegitimasi penundaan pemilu.
Hikmat Gumelar, Kordinator Program Institut Nalar Jatinangor