Filsafat Ilmu dan Filsafat Teknologi dapat dijadikan sebagai jembatan pemersatu berbagai cabang ilmu, tidak hanya bidang-bidang ilmu yang serumpun, tetapi juga di antara bidang-bidang ilmu yang berbeda.
Oleh
L WILARDJO
·4 menit baca
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, dalam artikelnya yang berjudul ”Jembatan Ilmu-ilmu” (Kompas, 25/3/2022) menganjurkan agar filsafat jangan lagi dianggap sebagai ”ibu segala ilmu”, tetapi jadikan ia ”teman ilmu-ilmu”. Meskipun tidak secara tersurat (eksplisit), sepertinya ia juga ”pro” kebijakan ”Merdeka Belajar-Kampus Merdeka”.
Intinya, ”Merdeka Belajar” itu berarti ada perangan (proporsi) tertentu dari kurikulum setiap program studi yang boleh dipilih sendiri secara bebas oleh mahasiswa, dan boleh diambil sebagai mata kuliah atau kegiatan apa saja di fakultas dan bahkan di kampus mana pun, termasuk di luar lingkungan kampus.
”Merdeka Belajar–Kampus Merdeka”, itu sedap didengar dan mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan. Seandainya terlaksana pun, perangan (proporsi) ”pilihan bebas” itu bisa tersebar di disiplin-disiplin yang sangat berbeda sehingga menjadi sangat tipis. Alhasil, tidak memberi apa-apa yang berarti, selain–mungkin–apresiasi terhadap bidang-bidang lain di luar bidang prodinya sendiri.
Alih-alih ”mencetak” lulusan yang ”mengetahui segalanya tentang sesuatu dan sesuatu tentang segala-galanya” (knows everything about something and something about everything), salah-salah lulusannya hanya bisa bekerja serabutan– apa saja–tanpa keahlian apa pun (jack of all trades and master of none). Padahal yang ingin dihasilkan ialah ”spesialis -cum-generalis”.
Kata Siti Murtiningsih, ”Ilmuwan umumnya memandang kerja ilmiah hanya berkaitan dengan nilai epistemik …”. Pernyataan itu ada benarnya, terutama kalau ditekankan pada kata ”umumnya”.
Pada aras ”top”, dalam karya-karya ilmiah yang berkelas ”Nobel”, yang benar sekaligus juga indah, dan demikian pula sebaliknya. Teori Kenisbian Einstein adalah karya ilmiah. Sebelum prediksi Albert Einstein dalam Teori Relativitas Umum, yakni bahwa cahaya mengalami pembelokan arah ketika melintas dekat dengan benda langit yang massanya besar, terbukti dalam ekspedisi Arthur Eddington ke Pulau Principe pada tahun 1919, para ilmuwan sudah percaya bahwa ramalan itu benar. Ramalan itu benar karena teorinya benar, dan teorinya Einstein itu terlalu indah untuk salah.
Matematikawan-cum-fisikawan Jerman, Herman Weyl, yang hari ulang tahunnya yang ke-100 dirayakan pada 1985, mengatakan: ”Karya-karyaku senantiasa berusaha menyatukan yang benar dan yang indah, dan bila aku harus memilih satu di antara keduanya biasanya aku memilih yang indah” (Peitgen & Richter: The Beauty of Fractals, Springer-Verlag, Berlin, 1986).
Supaya tidak terkesan jumawa, sebutan ”ibunya segala ilmu” diganti oleh Murtiningsih dengan ”temannya ilmu-ilmu”. Akan tetapi, ”teman” itu tidak satu atau dua saja. Yang diusulkan Murtiningsih ada banyak teman. Setiap cabang ilmu ada filsafat yang menemaninya. Jadi ada filsafat fisika, filsafat biologi, dsb. Alih-alih menjembatani, filsafat (baca: ”filsafat-filsafat” yang banyak jumlah dan ragamnya”) justru akan memisah-pisahkan ilmu-ilmu yang sebenarnya serumpun.
Saya lebih senang dengan model ”jadul” yang pernah dicoba dengan program Akta V. Pada waktu itu dosen-dosen muda yang hendak naik pangkat menjadi lektor dengan golongan IVa harus mengikuti program Akta V. Intinya harus memiliki kompetensi yang memadai dalam bahasa Inggris (ragam ilmiah) dan lulus dari mata kuliah Filsafat Ilmu.
Filsafat Ilmu itulah yang ”menjembatani” dan ”mempersatukan” berbagai cabang ilmu. Tidak hanya yang serumpun (seperti Fisika, Kimia, Matematika, dan Biologi), tetapi juga antara bidang-bidang ilmu yang berbeda (seperti ilmu-ilmu ”eksakta” dan ilmu-ilmu sosial dan budaya). Sayang, peran Filsafat Ilmu dalam program Akta V itu memudar dan hilang meskipun sampai waktu tertentu masih ada sisanya, yakni Filsafat Ilmu yang dijadikan mata kuliah dasar dalam program S-3/doktor di bidang apa pun.
Filsafat Teknologi
Kalau Filsafat Ilmu mau dihidupkan lagi sebagai pemersatu dan jempatan ilmu-ilmu, pada hemat saya ia ”ditemani” oleh satu cabang filsafat lain saja, yakni Filsafat Teknologi. Mengapa?
Memang ada yang menganggap teknologi sebagai terapan praktis-pragmatis dari ilmu. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Ada rangkaian ”ilmu dasar/murni --> ilmu terapan --> purwarupa (prototype) --> litbangtek (technological R & D) --> teknologi.
Akan tetapi, sejatinya–jika dilihat dari tujuan dan kiblatnya–teknologi itu berbeda secara mendasar dengan ilmu. Ilmu itu berkiblat ke alam. Yang benar secara ilmiah adalah yang alami, yang sesuai dengan apa yang ada dan terjadi di dalam, dan tunduk kepada hukum-hukum, alam. Sementara teknologi berorientasi kepada apa yang terbaik menurut persepsi manusia, dan ”manusia” di sini terutama adalah para teknologiwan itu sendiri, selain penaja (sponsor) yang mendanai pekerjaan teknologikan tersebut, dan masyarakat yang hendak memakai teknologi itu untuk memfasilitasi interaksinya dengan lingkungannya–baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya.
Filsafat atau filosofi secara etimologis berasal dari kata-kata ”philein” (mencintai) dan ”sophia” (kearifan). Filsuf/falsafawan ialah pencinta kearifan. Filsafat ialah telaah (studi) yang paling rampat (general) dan paling komprehensif tentang ”sesuatu” atau tentang aspek-aspek tertentu dari ”sesuatu” itu. Dan ”sesuatu” itu bisa apa saja.
”Komprehensif” itu tidak sama dengan ”ekshaustif”. Ekshaustif berarti semua dan segala-segalanya tanpa ada sedikit pun yang tak tersentuh. Tentu telaah semacam itu–tentang apa pun jua–merupakan ”hil yang mustahal” (meminjam pelesetan pelawak Asmuni alm). Sementara ”komprehensif” berarti meliputi semua ”sifat dan hakikat yang esensial, yang tak-boleh-tidak harus dibahas dan ditelaah secara mendalam (in-depth).
Jadi ”dua sekawan” Filsafat Ilmu dan Filsafat Teknologi, itulah yang dapat kita jadikan ”jembatan pemersatu”, bukan bermacam-macam filsafat.
L Wilardjo, GB (Em) Fisika dan Dosen Filsafat Ilmu di S-3