Tidak perlu mencari yang esensialis dalam filsafat Indonesia. Seluruh praktik berfilsafat yang saat ini tengah berkembang, itulah deskripsi filsafat di Indonesia. Yang utama, tetap kritis memaknai pengetahuan.
Oleh
Saras Dewi
·5 menit baca
Filsafat bermula dari kecintaan. Bahkan, pengertian dari filsafat itu dimaknai sebagai rasa cinta terhadap kebijaksanaan. Filsafat sebagai pengejawantahan hidup dapat diamalkan oleh siapa pun. Untuk mereka yang mencintai hidup beserta segala lorong di labirin yang ingin ditelusuri. Berfilsafat adalah renungan yang kritis terhadap realitas, cinta pada kearifan berarti rangkaian pertanyaan tanpa surut tentang kehidupan ini.
Hidup dimulai dari keheranan, mengapa ada kehidupan, apakah arti dari kehidupan, dan apakah yang dapat saya lakukan sebagai manusia. Filsafat melalui pemahaman ini sebenarnya dilakukan oleh siapa pun di mana pun mereka berada di dunia ini. Akan tetapi, filsafat sebagai suatu tradisi pengetahuan yang formalistik menjadi urusan yang berbeda. Ada pandangan yang bertengger bahwa filsafat yang dianggap sah adalah yang berbentuk sistematis, rigoris, dan akademis. Pertanyaan lanjutannya adalah, adakah filsafat Indonesia dalam kerangka semacam ini?
Pertanyaan ini masih terus bergulir semenjak tujuh tahun yang lalu dibahas dalam Simposium Internasional Filsafat Indonesia. Simposium yang bertajuk ”Mencari Sosok Filsafat Indonesia” itu menghasilkan gagasan-gagasan awal yang teramat penting dalam meruncingkan poin-poin demi merenungkan filsafat Indonesia. Cita-cita untuk memahami filsafat Indonesia terus ditelisik dalam Sarasehan Hari Filsafat Indonesia yang telah berlangsung pada tanggal 19 September 2021. Sarasehan yang dilaksanakan secara daring itu menghadirkan sejumlah tokoh dan penggiat filsafat yang berasal dari beragam latar belakang komunitas filsafat di Indonesia.
Para pemikir filsafat yang hadir adalah Karlina Supelli, Franz Magnis-Suseno, Komarudin Hidayat, Setyo Wibowo, Simon Tjahjadi, Jaya Suprana, Mukhtasar Syamsuddin, Bambang Sugiharto, FX Eko Armada Riyanto, dan masih banyak lagi. Mereka menyampaikan pendapat terkait dengan beberapa soal, misalnya apa makna peringatan Hari Filsafat Indonesia dan apa saja kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan secara kolaboratif untuk mendorong pengembangan ilmu filsafat di Indonesia.
Semasa saya menjadi Kepala Program Studi Filsafat UI pada tahun 2010, saya menyadari betapa telantarnya wawasan filsafat keindonesiaan di kampus. Dibantu oleh para kolega antarprogram studi, kami mengembangkan mata kuliah Filsafat Timur yang juga membahas secara mendalam kebijaksanaan lokal di Indonesia. Malangnya, perombakan kurikulum membuat kami harus mengalami penyusutan kredit mata kuliah. Ini menyebabkan terpangkasnya materi ajar yang membuat kami kesulitan untuk mengeksplorasi secara mendalam.
Memang corak berfilsafat di Program Studi Filsafat UI condong pada filsafat Barat. Pembahasan pengelompokan tiga cabang filsafat, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi, penuh dengan teori-teori filsafat yang berkembang di Eropa atau di Amerika. Namun, kondisi ini tidak saja di Program Studi Filsafat UI, sebagian besar wacana berfilsafat di Indonesia masih sangat kental dengan filsafat Barat. Ini tecermin dari hasil publikasi tugas akhir dan riset-riset yang masih segelintir membahas filsafat Timur secara umum, apalagi mengangkat kebijaksanaan lokal di Indonesia.
Saya bertukar pikiran dengan Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mengenai isu-isu ini. Menurut dia, filsafat ”di” Indonesia tentu dapat dijelaskan dari bermacam aktivitas berfilsafat yang sekarang ada, tetapi yang menantang adalah menguraikan apakah filsafat Indonesia itu sendiri.
Menurut dia, dibutuhkan re-elaborasi wacana filsafat internasional dari konteks para filsuf Indonesia, misalnya Tan Malaka atau Nicolaus Driyarkara. Sebaliknya, perlu diupayakan pula re-artikulasi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal ke dalam wacana internasional. Dari pandangan posmodernis ini, memang tidak lagi ada akar tunggang dalam berfilsafat. Alih-alih, berfilsafat adalah keragaman gagasan dan pembacaan baru yang saling terpaut, entah dari Barat ataupun Timur.
Esai Tommy F Awuy, seorang pakar filsafat budaya, yang berjudul ”Mencari Filsafat Indonesia” tepat untuk direnungkan. Tulisan yang dipublikasikan pada tahun 2014 itu membicarakan bagaimana kiat merangkai filsafat Indonesia beserta segala kepelikannya. Satu hal yang penting untuk digarisbawahi, ia mengatakan, ”Filsafat tidaklah muncul dalam ruang tunggal dan monoton.” Saya menafsirnya kini sebagai pengingat bahwa filsafat Indonesia pun tidak tunggal dan terdiri atas berbagai persilangan pemikiran.
Saya setuju dengan komentar Martin Suryajaya dan Syarif Maulana, dua pemuda yang berperan dalam terselenggaranya festival filsafat terbesar di Indonesia pada tahun 2020, bahwa tidak perlu mencari yang esensialis dalam filsafat Indonesia. Seluruh praktik berfilsafat yang saat ini tengah berkembang, itulah deskripsi filsafat di Indonesia.
Tanpa terperosok ke dalam esensialisme, saya mengajukan agar tetap kritis memaknai bagaimana pengetahuan itu tersusun sekaligus kepentingan dan kuasa di baliknya. Oleh karena itu, untuk merekognisi filsafat Indonesia berarti suatu sikap, atau respons terhadap kesenjangan struktur keilmuan ataupun pelembagaan pengetahuan filsafat yang selama ini diterima.
Dalam beberapa penelitian yang saya lakukan, menggali pengetahuan yang berbasiskan kearifan lokal berarti kepekaan untuk memahami transmisi pengetahuan melalui tradisi lisan, mitos, kepercayaan, serta nilai-nilai adat tertentu. Gagasan filsafat Indonesia mengendap di dalam ekspresi-ekspresi berkesenian: tarian, kidung, pahatan, yang brilian dan tidak saja indah, tapi juga memiliki kemanjuran sosial.
Berfilsafat memang semestinya menjejak serta mampu digunakan untuk mengidentifikasi secara kritis dan rasional problem-problem yang ada di masyarakat. Feminisme di Indonesia, misalnya, adalah suatu reaksi terhadap kekerasan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan. Filsuf seperti Toeti Heraty merupakan seorang pelopor yang memberikan kontribusi besar pada filsafat Indonesia, khususnya dalam membongkar relasi hierarkis dan mengusulkan perspektif baru yang adil dan setara.
Keberlimpahan pemikiran-pemikiran ini menunjukkan laju filsafat Indonesia. Tentu, filsafat Indonesia sebagai sebuah jalinan membutuhkan terus-menerus kegigihan untuk menggali pengetahuan, kemudian menginterpretasikannya, serta ketekunan untuk memperkuat sistematika.