Guru hendaklah mengingat kembali ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam mendidik anak. Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik dan ini tidak dilakukan dengan melakukan kekerasan.
Oleh
KURNIAWAN ADI SANTOSO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Sekolah semestinya menjadi rumah kedua bagi anak. Sekolah menjadi tempat untuk menyemai benih kasih sayang dan rasa saling memiliki bagi penghuninya. Nasihat dan keteladanan mulia selalu tumbuh dan mengalir. Lalu, tak ada lagi cerita kekerasan di sekolah. Semua berjalan selaras dalam harmonisasi yang mulia, yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan setulus hati layaknya kasih sayang orangtua kepada anak-anak mereka.
Namun, pada kenyataannya sekolah bukan rumah yang aman bagi anak. Yang mutakhir, seorang guru di SMP di Surabaya melakukan kekerasan kepada muridnya di saat pembelajaran tatap muka terbatas. Kasus ini menambah panjang rentetan kasus kekerasan di sekolah. Harusnya guru-guru kita tidak lagi ”ringan tangan” dalam mendidik. Ini karena sudah ada regulasi bahwasanya sekolah harus ramah anak.
Anak didik sebagai obyek
Apabila dicermati, kekerasan yang ada di sekolah sesungguhnya buah dari sistem pendidikan kita yang telah menjadikan anak didik atau murid sebagai obyek langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan. Pendekatan pendidikan yang digunakan para guru lebih sering bersifat top down, dari atas ke bawah, dan mendikte. Pendekatan seperti itu berasumsi guru sebagai pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat dibantah.
Apabila dicermati, kekerasan yang ada di sekolah sesungguhnya buah dari sistem pendidikan kita yang telah menjadikan anak didik atau murid sebagai obyek langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan.
Hal itu tampak, guru lebih mendominasi ketika pembelajaran, anak dididik sesuai dengan keinginan guru, murid layaknya robot. Jika murid tak sesuai dengan harapan guru atau melakukan kesalahan, maka guru dengan superioritasnya atau sebagai penguasa kelas merasa berhak melakukan tindakan untuk mendidik muridnya meski dengan cara kekerasan.
Lalu dikuatkan pula dengan paradigma school corporal punishment, pemberian hukuman atas nama mendidik murid yang telah mengakar dalam dunia pendidikan kita. Guru atas nama mendisiplinkan murid sering kali membenarkan tindakan kekerasan terhadap murid. Guru berpandangan berhak menentukan bentuk hukuman yang dipilih ketika murid melanggar aturan. Fatalnya, hukuman fisik dipilih sebagai cara ampuh untuk menyadarkan murid dalam mencapai tujuan pendidikan.
Hal tersebut menunjukkan betapa sesungguhnya guru telah keliru dalam menafsirkan cara mendidik anak. Menurut Ki Hadjar Dewantara, mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita supaya mereka kelak menjadi manusia yang berpribadi yang beradab dan susila. Guru seharusnya dalam mendidik menampilkan teladan keluhuran budi dan kehalusan budi.
Di sisi lain, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah,atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan.
Jadi jelas, apabila guru melakukan kekerasan kepada anak didik meski dengan alasan menegakkan kedisiplinan, sama artinya telah melanggar hukum. Menegakkan kedisiplinan masih bisa dilakukan dengan cara lain tanpa melakukan kekerasan yang justru menambah traumatik anak didik.
Akibat dari kekerasan, murid akan tidak nyaman dengan suasana sekolah. Murid tersebut tidak bersemangat bersekolah, cenderung menjadi penakut, dan rasa percaya dirinya rendah sehingga hal ini akan membendung perkembangan potensi yang dimilikinya.
Selain itu, hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, tidak memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata, ia tidak dapat bekerja kalau tidak dipaksa dan diperintah, serta dangkal kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.
Asas Pancadharma
Karena itu, agar guru tidak terjebak pada situasi yang bisa berakibat melakukan tindak kekerasan terhadap anak didiknya. Guru hendaklah mengingat kembali ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam mendidik anak. Ajaran itu termaktub dalam asas Pancadharma: yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Asas kodrat alam, artinya peserta didik tunduk kepada hukum alam. Dia harus memanfaatkan karunia akal budi untuk mengelola kehidupan. Praksisnya, guru harus mendasarkan bahwa anak mempunyai akal-pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan melalui usaha. Jadi, pembelajaran direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik.
Guru harus mendasarkan bahwa anak mempunyai akal-pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan melalui usaha.
Asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan. Guru harus memberi kebebasan murid mengembangkan potensi-potensi menjadi kemampuan profesional.
Asas kebudayaan bersandar pada keyakinan kodrati, manusia adalah makhluk berbudaya. Ki Hadjar memahami kebudayaan sebagai buah budi dan kemenangan atau hasil perjuangan hidup. Guru harus selalu memasukkan unsur-unsur kultur nasional agar anak tumbuh menjadi manusia beradab.
Asas kebangsaan menegaskan, seseorang harus satu bangsa yang tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Dalam konteks itu, guru harus bisa mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi daerah, suku, keturunan, atau keagamaan. Pendidikan kebangsaan dilakukan melalui etika, sejarah kebudayaan, pelajaran bahasa, kesenian, termasuk permainan tradisional, tarian, nyanyian, dan kepemudaan.
Adapun asas kemanusiaan hendak menegaskan manusia merupakan suatu sifat dasar, kodrat alam, yang diciptakan oleh Tuhan, dan berevolusi di sepanjang keadaan alam dan zaman. Di sini guru menempatkan peserta didik sebagai subyek pendidikan. Peserta didik diberi ruang yang seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi potensi dirinya, kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tetapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya.
Kurniawan Adi Santoso, Guru SDN Sidorejo Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur