Mengurai Kekerasan di Sekolah
Berdasarkan pengamatan kualitatif, Federasi Serikat Guru Indonesia atau FSGI mencatat bahwa pada 2017 telah terjadi peningkatan kekerasan di sekolah (Kompas, 26/12/2017).
Ada dua kategori utama dalam kekerasan: antar-siswa sendiri; dan guru dengan para siswanya. Korban pun berjatuhan. Tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis, dan bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa.
Sesungguhnya, kekerasan dalam pendidikan jauh lebih kompleks. Pergeseran cara pandang, pola relasi antar-manusia yang lebih dinamis, dan gaya hidup seiring dengan menguatnya ekses media sosial adalah tiga komponen pembentuk utama.
Kekerasan simbolik
”Apa pun isu yang muncul di WA group (WAG) orangtua bisa menjadi sangat liar,” ujar seorang guru SMP swasta dari daerah Magelang, Jawa Tengah.
Guru ini mengajar di salah satu sekolah favorit. Dilihat dari gaya berbicara, cara memecahkan persoalan sebagaimana terlihat dalam aktivitas Pendidikan dan Latihan Profesi Guru dan peran kepemimpinan di sekolah (sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum), sosok ibu guru ini telah cukup banyak makan garam. Bagi beliau, banyak orangtua merasa sudah membayar mahal ke sekolah sehingga mereka seakan mempunyai alasan untuk menuntut lebih dari para gurunya.
Dalam pengalamannya sebagai guru lebih dari 15 tahun, ibu guru ini telah banyak mencatat. Sekalipun yang muncul adalah hal sederhana, media sosial telah membuatnya menjadi bola liar. Rumor, baik di antara guru, siswa, maupun orangtua murid, akan dengan cepat berkembang.
Berbagai kajian empiris tentang sosiologi persekolahan memang menegaskan fenomena yang sama. Dalam sebuah kultur sekolah yang ditandai dengan tingginya rasa ketidakpercayaan antara satu dengan yang lain (highly toxic school culture), hal sekecil apa pun menjadi pemicu atas atmosfer kerja yang menyesakkan (Deal & Peterson, 2016; Bryk & Schneider, 2002).
Kedewasaan mengomunikasikan perasaan
Kajian neurosains menjelaskan bahwa sekalipun manusia era pasca-modernitas ini telah menunjukkan kemampuan bernalar (reasoning) dan menggunakan akal/kognisi (bagian otak neo-cortex atau otak mamalia), sesungguhnya bagian yang paling menentukan pola relasi manusia adalah bagian amygdala (Immordino-Yang & Damasio, 2007). Bagian ini juga sering disebut sebagai otak reptil.
Secara neurologis (biologis), dalam hidup keseharian, manusia lebih banyak dikendalikan oleh emosi, bukan rasionalitas dan penalaran. Dengan kata lain, cara manusia menanggapi persoalan hidup, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai moralitas (ajaran benar-salah), dorongan-dorongan instingtual (seksualitas, sensualitas, kekhawatiran, ketakutan, rasa aman) lebih didorong oleh gerakan emosi yang primitif.
Mengelola emosi menjadi salah satu tugas perkembangan yang semakin tidak mudah di era digital hari ini, bahkan bagi kalangan kaum dewasa sekalipun. Kekerasan simbolik dari orangtua ke sekolah menjadi salah satu kontributor penting di dalam menciptakan kultur toksik di sekolah.
Kekerasan di sekolah merupakan cerminan multi-dimensionalitas persoalan dalam pendidikan itu sendiri. Malcolm Gladwell (2008) mengutip banyak kajian sosiologis terhadap kehidupan keluarga untuk menjelaskan peran keluarga dalam menciptakan tumbuhnya kecerdasan anak.
Lahir dengan IQ di atas Albert Einstein ternyata tak membuat Chris Langan berhasil menyelesaikan S-1-nya. Sekalipun kemampuan menyerap pengetahuan secara otodidak jauh melampaui siapa pun, gaya komunikasinya tidak mudah diterima oleh orang lain. Chris Langan tumbuh dalam keluarga yang mengenaskan: seluruh hidupnya dia menjumpai ibunya yang pemabuk dan menjadi istri dari empat suami. Dalam masa tuanya, Chris hidup dengan memiliki peternakan kuda kecil.
Penelitian lain oleh Annette Lareau dan koleganya mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga dengan status sosial lebih tinggi cenderung berhasil mengajari anak-anak untuk berkomunikasi, bernegosiasi, menghargai, mendengarkan, dan tidak memaksakan kehendak. Anak-anak dari keluarga yang lebih miskin cenderung tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar berkomunikasi secara egaliter semacam itu.
Komunitas pembelajaran
Pendidikan bagi anak-anak ternyata tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada sekolah semata. Para orangtua sendirilah yang sesungguhnya dituntut untuk menjalani hidup penuh keteladanan.
Keberhasilan anak di dalam memecahkan persoalan, menyelesaikan tugas-tugas secara bertanggung jawab, dan mengembangkan rasa percaya diri tampil di muka umum sebenarnya merupakan cerminan dari pembiasaan kecil-kecil dari hidup keseharian di rumah. Orangtua yang cenderung gagal mengelola perasaannya sendiri, mudah menemukan persoalan dalam diri orang lain, dan sulit untuk mengakui keterbatasannya sendiri akan menjadi contoh nyata bagi anak-anak yang akan lebih memakai kekerasan ketika menghadapi kesulitan.
Kekerasan di sekolah akhirnya tidak bisa disederhanakan menjadi urusan anak-anak dan para guru semata. Orangtua memiliki potensi luar biasa untuk membangun komunitas pembelajaran yang produktif.
WAG orangtua-guru dapat menjadi ajang yang indah untuk membangun kebersamaan, menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai, bukan malah menjadi wahana untuk saling menyalahkan dan mencaci. Tumbuhnya sikap empatik dan kepedulian otentik antara satu dan yang lain muncul dari sikap dasar kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan diri, tanpa harus merasa rendah diri dan enggan untuk berkontribusi.
Markus Budiraharjo Pengajar di Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta