Bumi komunikasi politik di negari ini semakin korontang dari bahasa kenegarawanan. Justru yang marak adalah bahasa pertikaian. Para elite politik perlu meneladankan persuasi kenegarawanan.
Oleh
FATHURROFIQ
·4 menit baca
Salah satu kekuatan para pendiri bangsa dalam menebarkan ide nasionalisme adalah kemampuan persuasi mereka. Dengan bahasa yang persuasif, tuturan bahasa mereka merangkul, berempati, memberi perhatian kepada semua anak bangsa sehingga termotivasi pada keindonesiaan.
Bahasa yang berhasil merebut hati semua pihak. Para bapak pendiri bangsa sepenuhnya paham, bahwa bahasa yang kasar, syarat cemooh kebencian, penuh permusuhan dapat menghasilkan sikap kebencian dan konflik. Tutur bahasa semacam ini hanya akan menghasilkan demotivasi pada sesama anak bangsa dan warga negara. Bahasa yang gagal merebut hati semua pihak. Bahasa yang hanya menyenangkan satu pihak, tetapi melukai pihak lain.
Saat ini persuasi kenegarawanan, jangankan diteladankan oleh elite, disuarakan saja untuk telinga anak bangsa semakin jarang. Bumi komunikasi politik di negari ini semakin korontang dari bahasa kenegarawanan. Justru, yang marak adalah bahasa pertikaian.
Telinga publik Indonesia yang sudah tentu sangat sensitif kepada primordialisme suku dan agama, tetapi justru bahasa yang penuh sentimen itu yang diumbar di publik. Aksi saling menyomasi, melaporkan ke jalur hukum karena ketersinggungan pada ujaran menjadi marak. Bahasa-bahasa yang berisi tuduhan juga gampang meluncur ke tengah publik.
Sebagian anak bangsa ini pernah mengalami derita akibat tuduhan terkait dengan paham yang dimusuhi negara atau masyarakat. Padahal, mereka tidak tahu-menahu dengan paham anti-Pancasila. Saat ini, dengan semena-mena framing atau doxing komunisme atau terorisme bisa dituduhkan secara deras.
Selain komunisme dan terorisme, label-label antagonis lain juga bisa dilayangkan dengan ujaran semisal: anti-Pancasila, antiagama, antipembangunan, antek Orba, antek neoliberalisme, antek Yahudi, antek Syiah, antek Wahabi. Di tengah kerumunan masyarakat yang kehilangan trust, teriakan ”maling” pun bisa berakibat fatal bagi orang yang diteriaki padahal ia sama sekali tidak mencuri.
Ujaran yang berisi permusuhan, tuduhan, fitnah, kebohongan, hasutan, janji palsu, laporan palsu adalah produksi dari tindak tutur yang banal.
Ujaran yang berisi permusuhan, tuduhan, fitnah, kebohongan, hasutan, janji palsu, laporan palsu adalah produksi dari tindak tutur yang banal. Tindak tutur yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan gotong royong Pancasila. Naasnya, tindak tutur semacam itu mendapatkan saluran yang gigantis dan proliferik di media sosial hasil revolusi teknologi informasi.
Sementara media sosial yang maya itulah pusat berkerumunnya warga muda. Mereka, warga muda itu, bukan pendatang tetapi mereka asli netizen di sana. Tidak pelak ruang kognisi mereka sangat berpotensi diserbu sebaran banalitas bahasa: bohong, ujaran kebencian, ancaman, tuduhan.
Kekhawatiran yang segera menyeruak untuk warga muda: adakah antagonisme bahasa itu adalah populisme baru yang beranjak menjadi budaya dalam bermedia sosial di masyarakat kita? Adakah mereka akan menjadi anak-anak yang kehilangan budaya gotong royong, solidaritas sesama anak negeri. Meminjam istilah Neil Postman, mereka anak-anak kita akan mengalami The Disappearance of Childhood. Mereka hilang ditelan populisme baru, yaitu antagonisme dan konflik politik secara maya di media sosial yang serba anonim dan berwatak post truth.
Bahasa negarawan
Sudah saatnya pemahaman pada persuasi diamalkan secara meluas. Kiranya prinsip-prinsip persuasi sebagai strategi bahasa yang empatik jauh dari rasa permusuhan terus diajarkan, disebarkan, dirayakan, digalakkan. Dalam kondisi antagonisme tuturan antar-anak bangsa akibat perbedaan afiliasi politik, persuasi politik bisa menjadi semacam terapi wicara politik.
Richard Bandler dan John Grinder dari The University of Santa Cruz, California, menjelaskan teorinya tentang fakultas bahasa manusia yang bisa memengaruhi susunan saraf-saraf manusia agar lebih baik dan positif. Keduanya menyebut dengan neoro-linguistik programming (NLP). NLP ini bisa menjadi penjelasan baru tentang persuasi.
Atas dasar ini, semua anak manusia, termasuk anak bangsa ini bisa meniscayakan tuturan bahasanya menjadi reflektif penuh empati tanpa terkesan menggurui atau menceramahi, apalagi dengan memanipulasi data, mengelabui opini, dan membohongi publik.
Bahasa-bahasa rekonsiliasi, joke, humor, satire, metaforik adalah sebagian contoh dari kemampuan persuasif. Dengan cara-cara persuasif, perbedaan pilihan politik, pertentangan ide, kebencian emosi, ketidaksetujuan bisa dituturkan dengan cara yang penuh kebijakan dan kearifan. Para bapak pendiri bangsa telah mempraktikkan jauh sebelum penjelasan NLP ditemukan.
Para elite politik baik yang berada di dalam kekuasaan maupun di luar kekuasaan, baik di pusat maupun daerah perlu meneladankan persuasi kenegarawanan. Mengingat penggunaan media sosial sudah tidak terhindarkan lagi, maka satu paket dengan sikap persuasif adalah keharusan kita sebagai pengguna media sosial terus melatih dan membiasakan saraf kita agar tidak reaktif, tidak impulsif, tidak mudah tersinggung (baper) saat akses berita politik di media sosial. Dengan ini, semoga akan segera bermunculan persuasi kenegarawanan dalam komunikasi politik negeri ini.
Fathurrofiq, Dosen Linguistik di Sekolah Tinggi Ilmu Alquran dan Sains Al Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Lamongan