Kurikulum Merdeka dan ”Project Based Learning”
Salah satu solusi untuk perbaikan pendidikan di Indonesia adalah dengan pembelajaran ”project-based learning” (PBL). PBL sebagai sebuah pendekatan pengajaran yang dibangun di atas kegiatan pembelajaran dan tugas nyata.
Baru-baru ini Mendikbudristek Nadiem Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.
Dalam kesempatan itu, Mas Menteri (sapaan akrabnya) menyampaikan bahwa merujuk berbagai studi nasional ataupun internasional, krisis pembelajaran di Indonesia telah berlangsung lama dan belum membaik dari tahun ke tahun. Krisis pembelajaran semakin bertambah karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pembelajaran.
Krisis pembelajaran berdampak pada seluruh lini pendidikan, termasuk pendidikan vokasi yang sangat dekat dengan dunia industri. Sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi vokasi (PTV) ditantang untuk mampu menciptakan sebuah tata kelola pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang kompeten, mengusai soft skill, kepemimpinan (leadership), dan karakter.
Kurikulum ini dirancang untuk lebih adaptif dan fleksibel serta didasari konsep untuk implementasi riil link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Menjawab tantangan
Kehadiran Kurikulum Merdeka (KM), yang merupakan terjemahan lanjut dari semangat ”Merdeka Belajar”, menjadi salah satu jawaban dalam menjawab tantangan yang dihadapi karena didasari semangat mengurangi dan menyederhanakan materi pembelajaran agar bisa lebih fokus, tak menyeragamkan atau memerdekakan peserta didik sesuai minat, bakat, dan passion. Kurikulum ini dirancang untuk lebih adaptif dan fleksibel serta didasari konsep untuk implementasi riil link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Fenomena selama ini, SMK dan PTV cenderung mewajibkan semua peserta didik harus bisa dan ahli di semua bidang. Kenyataannya, itu sulit mencapai target karena memang sangat sulit membentuk peserta didik menjadi ahli di seluruh bidang dan materi, yang kelak juga tidak semuanya digunakan di dunia kerja yang sesungguhnya.
Baca juga: Memerdekakan Kurikulum Merdeka
Lulusan jurusan atau prodi Teknik Mesin, misalnya, harus menjadi seorang yang ahli dalam semua bidang; ahli las, ahli membubut, ahli mesin CNC, ahli 3D printing, ahli kontrol dan otomasi industri, ahli pengecoran logam, ahli CAD, ahli CAM, ahli mendesain produk, ahli pengerjaan pelat, bahkan ahli dalam aspek manajemen dan pengelolaan industri manufaktur. Alih-alih bukannya menjadi ahli di semua bidang itu, yang dikhwatirkan justru semuanya tak optimal, tak sampai level ”menetas”. Mereka malah terjebak ke dalam bidang-bidang yang serba tanggung, yang tak sesuai minat, bakat, dan passion-nya.
Tujuan mewajibkan menjadi ahli di semua bidang itu bisa diamati dari kurikulum dan sistem pembelajarannya. Porsi setiap mata pelajaran atau mata kuliah didesain dan dipatok dengan jumlah jam pembelajaran yang relatif sangat tinggi, masing-masing mencapai 90-120 jam atau lebih.
Selain itu, hampir semua diarahkan untuk memperkuat aspek hardskills atau teknis. Padahal, dunia kerja menuntut SDM harus memiliki kekuatan merata di seluruh aspek softkills, kepemimpinan, karakter, dan hardskills. Jadi, kalau dunia pendidikan hanya memperkuat aspek hardskills, bisa dipastikan tak terjadi link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Dalam KM, pendidikan berpatokan pada esensi dari belajar di mana setiap anak itu unik serta memiliki bakat, passion, dan minat masing-masing. Karena itu, tolok ukur yang diterapkan untuk menilai setiap peserta didik yang memiliki minat berbeda pun tak sama. Dengan demikian, setiap anak tak bisa diseragamkan. Mereka tidak bisa dipaksakan untuk mempelajari seluruh materi pembelajaran serta dipaksakan harus menjadi ahli di seluruh bidang.
Dengan KM, pada prinsipnya, di tahun pertama, seluruh materi pembelajaran tetap diajarkan ke seluruh peserta didik, tetapi dengan porsi dikurangi dan/atau dipadatkan serta dengan target capaian pembelajar yang tak harus jadi ahli di seluruh bidang. Tujuannya, membentuk fondasi minimum seluruh materi serta membuat peserta didik semakin bisa memahami minat, bakat, dan passion-nya ketika mereka sudah melihat langsung dan mengalami pembelajaran dasar seluruh materi.
Sebagai contoh, peserta didik jurusan/prodi Teknik Mesin, pada tahun pertama, memang harus diajarkan serta dilatih mengikir, membubut, mengelas, desain produk, CNC, CAM, mengecor logam, 3D printing, CAD, kontrol dan otomasi, pneumatik dan hidrolik, dan lain-lain. Namun, dengan jumlah pembelajaran untuk masing-masing berkisar 5-20 jam saja. Tentunya tak hanya materi praktik, tetapi juga mencakup materi teori dan pengetahuan dasar.
Mereka tidak bisa dipaksakan untuk mempelajari seluruh materi pembelajaran serta dipaksakan harus menjadi ahli di semua bidang.
Setelah itu, pada tahun pertama, masih harus ditambah mengirimkan semua peserta didik ke industri dan dunia kerja yang relevan, selama beberapa hari. Tujuannya agar mereka bisa melihat seluruh profesi pekerjaan dan karier di dunia usaha dan dunia industri (DUDI), yang kelak akan mereka pilih sehingga mereka bisa mulai menentukan visi dan karier masa depan, ingin jadi apa sesuai minat, bakat, dan passion.
Tujuan berikutnya, peserta didik melihat langsung dunia kerja, yaitu membentuk pemahaman yang lebih konkret agar lebih siap menerima materi pembelajaran di tahun kedua dan seterusnya. Dan, yang paling penting, para peserta didik disiapkan memasuki fase proses pembelajaran berbasis project-based learning serta teaching factory di sekolah atau kampus, mulai tahun kedua.
”Project-based learning”
Salah satu solusi untuk perbaikan pendidikan di Indonesia adalah dengan pembelajaran project-based learning (PBL). Brandon Goodman dan J Stiver (2010) mendefinisikan PBL sebagai sebuah pendekatan pengajaran yang dibangun di atas kegiatan pembelajaran dan tugas nyata yang memberikan tantangan bagi peserta didik yang terkait dengan kehidupan sehari-hari untuk dipecahkan secara berkelompok.
Baca juga: Tawaran dari Kurikulum Merdeka
Dalam pembelajaran berbasis PBL, tidak lagi harus mengekang pertemuan tatap muka di kelas. Malah setiap hari, mayoritas waktu pembelajaran diperuntukkan agar semua peserta didik bekerja sama untuk mengelola teaching factory (TeFa), sesuai peran masing-masing, berinteraksi dengan konsumen dan mitra industri serta pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.
Skema ini selayaknya sebuah industri riil yang di-set up di dalam sekolah atau perguruan tinggi. Para siswa, sebagai pengelola TeFa, melakukan marketing untuk mencari dan/atau menerima order secara profesional. Tingkat kesulitan pengerjaan atau permesinan produk pesanan dari konsumen itu bisa disesuaikan dengan karakter dan kematangan sistem TeFa, kematangan PBL, dan ketersediaan mesin produksi serta fasilitas TeFa yang ada. Tak harus dengan mesin-mesin canggih, pola PBL ini sebenarnya sudah sangat bisa dijalankan.
Dengan demikian, peserta didik akan mengalami pembelajaran dengan pengalaman riil di dunia kerja. Baik itu pengalaman manis maupun pengalaman pahit. Ditolak calon konsumen, misalnya, atau dikomplain konsumen yang tak puas dengan produk atau performa TeFa. Jenis proyek yang dikerjakan atau dikelola juga relevan dengan materi P5BK (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja) di KM.
Pola PBL akan sangat mendorong para pengajar saling berkolaborasi dengan skema team teaching. Pola PBL menghilangkan sekat-sekat antarmata kuliah/mata pelajaran, yaitu setiap pengajar mengelola pembelajaran sendiri-sendiri tanpa upaya saling menyesuaikan satu sama lain. Pola PBL mengeliminasi para pengajar memberikan penugasan sendiri-sendiri, meminimalisasi terjadinya tumpang tindih materi antarmata kuliah/mata pelajaran.
Faktor penting berikutnya, kehadiran pengajar dari kalangan ahli (expert)/profesional dari industri harus dipastikan terjadi secara masif karena ini akan makin memperkuat kualitas team teaching dan link and match di PBL dan TeFa. Tak hanya mengajar siswa, para ahli dari DUDI juga melatih guru/dosen memutakhirkan perkembangan teknologi dan inovasi terkini di dunia nyata. Para ahli dari industri juga bisa secara langsung memberikan masukan ke pihak sekolah/kampus untuk memperkuat link and match dengan DUDI.
Pola PBL akan sangat mendorong para pengajar saling berkolaborasi dengan skema team teaching.
Sangat memungkinkan satu arena PBL dan TeFa digunakan bersama (lintas disiplin ilmu) oleh beberapa jurusan/prodi. Jurusan Akuntansi dan Manajemen & Pemasaran, misalnya, bisa bergabung di PBL dan TeFa Teknik Mesin, Teknik Elektronika, Teknik Informatika, Kuliner, Fashion, dan lainnya.
Selain itu, guru/dosen mata pelajaran/mata kuliah normatif, seperti Agama dan Bahasa Indonesia, juga sangat memungkinkan bergabung dalam PBL dan TeFa ini. Guru Bahasa Indonesia akan sangat relevan dengan performa peserta didik di dalam berkomunikasi dengan konsumen atau meyakinkan calon konsumen, termasuk menyusun proposal, berkirim surat resmi, berkirim e-mail, menyusun materi presentasi, sampai dengan mempresentasikannya kepada konsumen, calon konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan inovasi kurikulum dan pola pembelajaran yang berbasis project-based learning dan teaching factory ini diharapkan peserta didik akan memiliki kompetensi yang lengkap (mencakup soft skills, hard skills, leadership, serta karakter), sudah terlatih menghadapi tantangan dan masalah riil di dunia kerja, serta memiliki kesiapan jika kelak akan memutuskan memilih menjadi seorang wirausaha.
Wikan Sakarinto, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek RI