Perubahan kurikulum pendidikan merupakan sebuah keniscayaan karena pendidikan memang harus diselenggarakan sesuai perkembangan zaman.
Dalam kerangka transformasi pendidikan, Kemendikbudristek meluncurkan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Mereka. Tujuannya selain agar pendidikan diselenggarakan sesuai perkembangan zaman, juga untuk memulihkan pembelajaran dari krisis selama ini yang diperparah dengan hilangnya pembelajaran (learning loss) akibat pandemi Covid-19 (Kompas, 18/2/2022).
Dengan menawarkan struktur yang lebih sederhana dan fleksibel dibandingkan dengan Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka menjanjikan kemudahan bagi guru dan sekolah untuk melaksanakan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Sejalan dengan paradigma belajar abad ke-21, pembelajaran yang akan mempersiapkan para siswa agar dapat mengatasi tantangan masa depannya.
Baca juga: Tawaran Kurikulum Merdeka untuk Pembelajaran yang Makin Memerdekakan
Tentu saja tawaran tersebut mensyaratkan persiapan para pemangku kepentingan pendidikan, terutama guru sebagai pelaksana kurikulum. Sebelum meluncurkan Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek memang telah meluncurkan program Guru Penggerak dan kemudian Sekolah Penggerak yang melaksanakan Kurikulum Prototipe, yang kemudian menjadi Kurikulum Merdeka. Bersamaan dengan peluncuran Kurikulum Merdeka, juga diluncurkan platform Merdeka Mengajar bagi guru.
Namun, semua program tersebut bersifat terbatas. Guru Penggerak diikuti sekitar 32.000 guru dan program Sekolah Penggerak dilaksanakan di 2.500 sekolah. Butuh waktu dan bukan hal sederhana bagi Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak untuk dapat menggerakkan para guru serta juga sekolah-sekolah lainnya. Karena itu, konsistensi program ini, baik di tataran pengambil kebijakan maupun pelaksana, menjadi sangat penting.
Karena itu, konsistensi program ini, baik di tataran pengambil kebijakan maupun pelaksana, menjadi sangat penting.
Demikian juga fasilitas platform Merdeka Mengajar, meski menawarkan perangkat ajar, pelatihan, dan sumber belajar bagi guru, sekolah, dan pemerintah daerah, hanya bisa diakses dengan dukungan jaringan internet yang memadai. Kolaborasi dengan kementerian terkait menjadi kebutuhan utama agar para pemangku kepentingan pendidikan, terutama guru, dapat menikmati fasilitas tersebut.
Pelaksanaan Kurikulum Merdeka membutuhkan kesiapan dan kemampuan dalam mengelola pembelajaran. Kemendikburistek memang membebaskan sekolah untuk memilih, menggunakan Kurikulum Merdeka, Kurikulum Darurat, atau Kurikulum 2013. Ini menjadi tantangan pemda untuk memberikan kemerdekaan sekolah dalam memilih, sesuai kemampuan dan kesiapan mereka. Belajar dari pilihan pelaksanaan Kurikulum Darurat di awal pandemi, sejumlah pemdalah yang menentukan kurikulum mana yang diterapkan di sekolah.
Jika Kurikulum Merdeka ini juga menjadi upaya untuk memulihkan pembelajaran dari krisis, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang tetap menggunakan Kurikulum 2013, yang strukturnya kurang fleksibel dan materinya terlalu padat? Bukan tidak mungkin ini justru sekolah-sekolah di mana krisis pembelajaran banyak terjadi.
Baca juga: Visi Pendidikan 2050 UNESCO
Perhatian terhadap sekolah-sekolah di daerah pinggiran (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar) dan juga para siswa yang terpinggirkan idealnya lebih banyak lagi agar Kurikulum Merdeka ini tidak memperparah bias kelas dalam pendidikan yang terjadi selama ini. Pendidikan inklusif hendaknya menjadi bagian utama dalam program Merdeka Belajar ini.