Invasi Rusia ke Ukraina memantik perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi Indonesia pun menghadapi kondisi ibarat permainan ”roller coaster”, stagflasi pun mulai membayangi.
Oleh
MUKHAER PAKKANNA
·5 menit baca
Invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 telah berdampak pada konstelasi ekonomi global, termasuk ke Indonesia. Kenaikan harga minyak, gas, minyak sawit, bahan pangan, energi, dan barang subsitusi lainnya telah memantik eskalasi masalah dan peluang baru. Bahkan, jauh sebelum invasi pun, harga-harga komoditas tersebut telah menanjak tinggi.
Maka, tidak mengherankan jika beberapa negara yang mulai pulih ekonominya, terutama negara-negara maju, tidak luput juga dihantui kenaikan inflasi. Amerika Serikat, misalnya, Februari 2022, inflasinya mulai terkerek ke angka 7,9 persen secara tahunan (year-on-year). Persentase tersebut merupakan level tertinggi sejak 1982.
Demikian pula Inggris, inflasinya mencapai 5,5 persen atau tertinggi sejak Maret 1992. Jerman mencatat 5,1 persen atau tertinggi dalam 30 tahun, Italia 5,3 persen, dan Perancis 3,3 persen. Bahkan, Lituania mencatat dua digit di 12,2 persen.
Indonesia, sejak Januari 2022, kendati masih terbilang rendah, laju inflasinya juga sudah mulai merangkak naik. Untuk tahun kalender (Januari–Februari) 2022 sebesar 0,54 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Februari 2022 terhadap Februari 2021) sebesar 2,06 persen.
Jika laju inflasi ini merangkak masuk bulan suci Ramadhan, bukan tidak mungkin inflasi yang dipicu demand-pull inflation (inflasi tarikan permintaan) dan cost-push inflation (inflasi dorongan biaya) akan bertemu mendongrak harga. Ihwal ini makin menguatkan karena tingkat mobilitas penduduk terkait laju kurva paparan pandemi Covid-19 yang terus melandai.
Stagflasi
Stagflasi merupakan varian dari konjungtor ekonomi yang setiap rentang waktu tertentu menghantui aktivitas ekonomi makro. Di saat inflasi merangkak naik, kemudian diiringi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih slow down (bergerak turun), stagflasi mulai membayangi.
Ihwal ini kian mengkhawatirkan jika disertai angka pengangguran tinggi. Fenomena yang tidak wajar dan kontras dengan kondisi kontraksi atau resesi yang terjadi pada 2020 dan 2021, yaitu ketika pertumbuhan rendah atau minus, pengangguran tinggi dan pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa melemah sehingga inflasi turun.
Sejak invasi Rusia, cost-push inflation makin nyata. Asumsi makro harga minyak 63 dollar AS per barel yang dipatok APBN 2022, sementara harga minyak dunia di atas 100 dollar AS per barel.
Sejak invasi Rusia, cost-push inflation makin nyata. Asumsi makro harga minyak 63 dollar AS per barel yang dipatok APBN 2022, sementara harga minyak dunia di atas 100 dollar AS per barel. Indonesia merupakan net importir minyak mentah, dengan produksi minyak mentah hanya 700.000 barel per hari (bph), sementara konsumsinya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Defisit minyak 500.000 barel tentu mengandalkan impor.
Di sisi pengeluaran, hal tersebut memberikan tekanan pada APBN 2022. Dengan target defisit APBN 4,85 persen, alokasi anggaran subsidi energi Rp 134,02 triliun, terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan elpiji 3 kilogram sebesar Rp 77,54 triliun serta subsidi listrik Rp 56,47 triliun.
Meroketnya harga minyak dan gas ini akan terus memantik kenaikan harga pada bulan-bulan berikutnya. Mengonfirmasi riset Maybank dalam IHK (Indeks Harga Konsumen), bobot energi menyumbang 10-18 persen: Indonesia (17,5 persen), Filipina (14,8 persen), Malaysia (13,7 persen), dan Thailand (12 persen) (Adityaswara, 2022).
Merujuk data S&P Global Commodity Insights (2/2), Rusia telah melarang ekspor amonium nitrat (AN), bahan dasar pembuatan pupuk, hingga 1 April 2022. Tentu, ini bakal memantik kenaikan harga pupuk. Sebanyak 15,75 persen pupuk impor Indonesia dari Rusia. Jika hambatan amonium nitrat dan pupuk di Rusia berlangsung lama, harga pupuk subsidi akan melangit, memengaruhi biaya pertanian. Dampaknya, Nilai Tukar Petani (NTP) kembali terperosok.
Di lain sisi, konferensi Food & Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, 10-11 Maret 2022, juga mengestimasi skenario jangka pendek (2022-2023), harga pangan dan pakan internasional akan meningkat 8-22 persen. Harga gandum naik 21,5 persen, jagung naik 19,5 persen, biji-bijian, terutama bunga matahari, naik 17,9 persen dan berakibat naiknya minyak nabati lain sebagai substitusi.
Ihwal ini makin bermasalah terkait gangguan jalur distribusi pasokan dunia. Tentu, biaya logistik naik karena jalur maritim di Laut Hitam otomatis terganggu. Maka, Indeks Pengiriman Kontainer Global (GCFI) pun mulai merangkak naik.
Akibat pukulan inflasi itu, pelambatan pertumbuhan ekonomi global juga akan nyata. Padahal, sebelumnya, Bank Dunia pada akhir 2021 sangat optimistis mengestimasi pertumbuhan ekonomi 2022 akan mencapai 5,5 persen seusai ganasnya pukulan pandemi Covid-19.
Namun, eskalasi ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi pelbagai negara terhadap Rusia telah berdampak pada transaksi perdagangan, pergerakan harga komoditas, dan pasar keuangan global. Akhirnya, David Malpass, Presiden Bank Dunia, Jumat (4/3), pun menyerah, invasi Rusia ke Ukraina memantik kelambatan pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi Indonesia pun, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menghadapi kondisi ibarat permainan roller coaster.
Pengangguran
Dampak terburuk stagflasi adalah berkurangya lapangan kerja formal, tentu berkonsekuensi tingkat pengangguran yang tinggi. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS (Maret 2022) mencatat, jumlah pekerja yang terserap di sektor informal meningkat dibandingkan dengan kondisi prapandemi.
Pada Agustus 2019, pekerja informal 55,72 persen dari total angkatan kerja (70,49 juta orang), pada Agustus 2021 meningkat menjadi 59,45 persen atau sekitar 77,91 juta orang (Kompas, 19/3/2022). Tingginya angka pekerja informal itu mengirim sinyal, begitu banyaknya angkatan kerja yang bekerja mandiri, seperti pekerja kaki lima (PKL), buruh bangunan, buruh tani, buruh nelayan, asisten rumah tangga, dan kegiatan underground economy lainnya.
Pekerja-pekerja informal ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Mereka perlu pendampingan, pelatihan, dan advokasi. Meningkatnya penerimaan negara dari devisa ekspor nikel, batubara, CPO, timah, alumunium, dan lainnya, yang harganya naik signifikan akibat gejolak geopolitik global, seyogianya penerimaan itu diarahkan pada program-program pemberdayaan. Semacam subsidi silang dari kantong kanan ke kantong kiri.
Jangan sampai ada rumus dari pemerintah untuk segera mencabut program subsidi minyak, gas, dan listrik dengan dalih jebolnya asumsi makro APBN 2022. Jika itu dilakukan, percayalah tingkat kemiskinan dan ketimpangan makin bereskalasi akut.
Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta