Ketidakpastian ekonomi global masih bersama kita di mana-mana. Dalam konsep kebijakan ekonomi makro, sikap yang harus diambil semua adalah eklektik, waspada, siap melakukan perubahan setiap kali kondisi menuntutnya.
Oleh
J SOEDRAJAD DJIWANDONO
·4 menit baca
Diskursus di kalangan otorita keuangan dunia, seperti pimpinan Federal Reserve Jerome Powell, Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, dan yang lain, saat ini sependapat bahwa ketidakpastian ekonomi global masih bersama kita di mana-mana.
Penyerangan Rusia ke Ukraina yang belum kunjung mereda, peningkatan harga migas, gangguan rantai pasok, bahaya inflasi ataupun resesi, adalah faktor-faktor yang menyebabkan keadaan tak pasti tersebut. Tentu saja sebagian dari faktor tersebut adalah disengaja atau perbuatan manusia, seperti invasi Rusia ke Ukraina, rencana peningkatan suku bunga oleh The Fed, semua adalah perbuatan otoritas yang secara sengaja dengan tujuan atau alasan tertentu, tetapi kemudian menyebabkan timbulnya ketidakpastian tersebut.
Bagai gayung bersambut, keterkaitan ini merupakan suatu proses penularan atau contagion, seperti kebakaran hutan di musim kering atau krisis keuangan yang beberapa kali melanda dunia dan sulit dijinakkan.
Dalam konsep kebijakan ekonomi makro, sikap yang harus diambil semua adalah eklektik, waspada, selalu siap melakukan perubahan setiap kali kondisi menuntutnya. Enak diucapkan, tetapi semua menyadari betapa sukarnya pelaksanaannya, terutama pelaksanaan yang menjamin keberhasilan, dalam arti tumbuhnya kestabilan yang bisa menunjang pertumbuhan dan pemerataan selanjutnya.
Dalam konsep kebijakan ekonomi makro, sikap yang harus diambil semua adalah eklektik, waspada, selalu siap melakukan perubahan setiap kali kondisi menuntutnya.
Memang sulit, tetapi kita tak boleh mengabaikannya. Yang jelas tak berbuat apa-apa bukan jawaban. Secara sektoral, ekonomi mikro Indonesia saat ini justru sedang mengalami tantangan semacam ini.
Baru saja kita mendengar pernyataan seorang menteri yang bertanggung jawab dalam pengadaan dan distribusi minyak goreng yang mengeluhkan aksi ”mafia minyak goreng” yang mengakibatkan kelangkaan dan ia merasa tak kuasa menghadapinya. Saya tak mengerti bagaimana harus berkomentar, kecuali heran dengan sikap tersebut, meski salut juga bahwa ia mengakui secara transparan bahwa ia tak berdaya.
Sayangnya, akuntabilitas pejabat tidak bisa berhenti sebatas ini. Lalu, bagaimana kalau demikian, apakah masyarakat diminta menyerah terhadap ulah mereka yang disebut mafia itu?
Terus terang sebagai mantan pejabat yang pernah di tempat yang sama lebih dari 20 tahun lalu, rasanya saya ingin urun rembuk. Yang disebut mafia itu sebenarnya pengusaha biasa. Memang pengusaha besar, tetapi tetap pengusaha. Mereka juga warga negara yang harus tunduk pada aturan perundangan.
Setiap tahun masyarakat kita menghadapi bulan Ramadhan yang berakhir dengan Idul Fitri. Persoalan minyak goreng ini bukan masalah baru. Setiap tahun terjadi dan ini bukan kali yang pertama. Sekiranya yang pertama pun tetap harus ditangani, bukan ditakuti.
Mencoba melihat masalah
Apa yang saya lukiskan di atas tidak untuk meremehkan masalahnya sendiri. Sama sekali tidak, bahkan saya sangat menyadari bahwa masalahnya berat. Mungkin ini tantangan yang paling berat buat menteri penanggung jawab di bidang ini.
Yang juga ingin saya tekankan adalah bahwa masalah apa pun tentu kita harus menghadapinya secara serius, mempelajari kaitan satu sama lain, dan mencoba untuk mempertemukan berbagai kepentingan yang tidak sejalan, bahkan bertentangan satu sama lain. Tentu harus ada give and take, tidak bisa sikap mau memang sendiri.
Para pengusaha yang sudah mempunyai persediaan di mancanegara kita kumpulkan dan diajak bicara, dinegosiasikan seberapa besar kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri yang bisa ditoleransikan. Jadi, jangan mengalah saja. Kalau otorita takut, ya, mereka senang sekali. Akibatnya, harga dinaikkan hampir dua kali lipat seperti sekarang ini.
Kalau setiap kali ada masalah yang berat kita menghindar, tentu saja tidak pernah akan ditemukan solusinya. Sekali lagi, saya sama sekali tidak meremehkan masalah yang dihadapi. Tetapi, kita harus berupaya sebelum menyerah, bahkan jangan menyerah. Yang mendukung kita jumlahnya jauh lebih besar daripada mereka yang membentuk mafia tersebut. Mafia adalah suatu kartel, kekuatannya sebatas kekuatan anggota yang lemah di dalamnya. Tetapi, sekali putus mata rantai itu, hilanglah mafia ini.
Membaca berita tentang mafia minyak goreng, mendengar keluhan istri pulang dari berbelanja bulanan, dan merasa pernah menghadapi masalah serupa meski lebih dari 20 tahun lalu, saya yakin, solusinya bukannya melepas harga minyak goreng meningkat harga hampir 100 persen. Itu tidak dapat diterima akal sehat.
J Soedradjad Djiwandono,Guru Besar Emeritus, FEB-UI, Profesor Ekonomi Internasional, S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), NTU Singapura