Perang Rusia-Ukraina berdampak pada sistem keuangan global, termasuk Indonesia. Kenaikan harga migas, pangan, dan mineral berpengaruh besar terhadap ekonomi domestik Indonesia yang sedang mengalami pemulihan.
Oleh
UMAR JUORO
·5 menit baca
Perang Rusia (Vladimir Putin)-Ukraina sudah berlangsung lebih dari tiga minggu, lebih lama dari banyak perkiraan, dengan akibat kerusakan ekonomi dan kemanusian yang luar biasa. Harga minyak yang sebelum perang sudah meningkat menjadi melonjak di atas 120 dollar AS per barrel dan bisa lebih tinggi lagi, harga komoditas pangan dan mineral juga mengalami kenaikan yang tinggi.
Kenaikan harga pangan akan mendorong inflasi lebih tinggi, dan dapat berakibat pada kemungkinan kerusuhan sosial di banyak negara. Pertumbuhan ekonomi global terpangkas, dan Rusia terancam gagal bayar utang (default) dengan akibat berantainya. Akibat kemanusian sangat besar dengan pengungsi dari Ukraina lebih dari 2 juta dan kemungkinan lebih besar lagi. Semua ini terjadi di saat semua negara sedang berusaha membangun kembali ekonominya setelah pandemi Covid-19.
Konflik berkepanjangan
Dari pandangan game theory, perang akan berakhir (finite game) dengan satu pihak menang, atau berkepanjangan (infinite) tanpa jelas pemenangnya. Rusia (Putin) mentargetkan perang berakhir dengan kemenangan, kemudian menggantikan pemerintahan Ukraina yang pro Rusia. Sementara Ukraina siap dengan perang yang berkepanjangan dengan segala akibatnya karena menyangkut eksistensi sebagai bangsa dan manusia sekarang dan di masa datang.
Rusia (Putin) kemungkinan menghentikan perang hanya jika biaya, dalam berbagai bentuk, tidak lagi dapat ditanggung atau Putin jatuh dari kekuasaan. Perang ini juga bisa lebih buruk melibatkan negara lain, terutama NATO, dengan kekhawatiran kemungkinan terjadinya Perang Dunia III.
Indonesia dengan politik bebas aktifnya tidak memihak salah satu pihak yang terlibat dalam perang. Prinsip menghargai kedaulatan negara dan perdamaian dijunjung tinggi. Indonesia aktif dalam mendukung upaya perdamaian dan kemanusiaan. Banyak pihak yang meminta Indonesia lebih tegas sikapnya untuk mengecam serangan Rusia dan membantu langsung Ukraina, tetapi Indonesia konsisten dengan bebas dan aktif.
Tentu saja, jika pihak-pihak yang terlibat konflik, terutama Rusia, menjunjung nilai dasar kedaulatan dan kenanusuaan ini, konflik bisa dihentikan dengan diplomasi dan damai. Sayangnya, harapan ini tampaknya sulit terealisasi selama Putin menjadi penguasa Rusia.
Dengan prospek konflik berkepanjangan, implikasi ekonominya serius, bukan saja mereka yang terlibat langsung dalam perang, tetapi praktis seluruh dunia. Apa yang sedang terjadi adalah kenaikan harga minyak yang tinggi karena Rusia adalah salah satu pemasok utama migas di dunia. Sementara organisasi produsen minyak OPEC tidak bisa dengan cepat mengisi kebutuhan minyak ini. Harga gas juga meningkat, karena Rusia adalah salah satu pemasok gas utama, terutama ke Eropa, sekitar 40 persen.
Sebelum perang pun, harga pangan meningkat dengan berjalannya pemulihan ekonomi, dan semakin meningkat dengan terhambatnya pasokan bahan pangan dari Ukraina dan Rusia yang berkontribusi cukup besar, khususnya gandum. Harga mineral meningkat tajam karena Rusia dan Ukraina juga penghasil mineral, dan terhambatnya perdagangan.
Penutupan akses Rusia terhadap sistem keuangan dunia tidak saja memperburuk ekonomi Rusia, tetapi juga menghambat kelancaran berfungsinya sistem keuangan dunia.
Penutupan akses Rusia terhadap sistem keuangan dunia tidak saja memperburuk ekonomi Rusia, tetapi juga menghambat kelancaran berfungsinya sistem keuangan dunia. Dengan kredit dan fasilitas keuangan perbankan terutama Eropa dengan pihak Rusia miliaran dollar, sangatlah sulit untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan sistem keuangan global sekarang ini yang terintegrasi sangat sensitif terhadap gangguan, dalam hal ini pemblokiran suatu negara yang ekonominya besar, Rusia adalah anggota G-20. Begitu pula akibat yang serius terhadap sistem perdagangan global.
Keadaan ini mempersulit bagi bank sentral AS dan Eropa untuk menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi, dan bagi pemerintahannya mengurangi stimulus ekonomi, sementara inflasi semakin tinggi di AS, yaitu mencapai 7,9 persen, Eropa mencapai 5 persen, dan banyak negara berkembang di atas 10 persen.
Pemulihan ekonomi pascapandemi yang telah berjalan dengan cukup kuat menghadapi ketidakpastian baru dari perang ini. Bahkan, kemungkinan terjadinya stagflasi, yakni inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pengangguran yang tinggi pula, mulai dipertimbangkan.
Implikasi bagi Indonesia
Dampak langsung terhadap ekonomi Indonesia tidaklah seburuk apa yang terjadi di Eropa, apalagi Indonesia adalah penghasil komoditas yang harganya naik tinggi. Perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina tidaklah besar. Namun, kenaikan harga migas, pangan, dan mineral berpengaruh besar terhadap ekonomi domestik Indonesia yang sedang mengalami pemulihan.
Kenaikan harga migas dan mineral sebenarnya memberikan keuntungan dari sisi Indonesia produsen minyak dan mineral. Kenaikan harga migas berpengaruh negatif terhadap konsumen dengan ikut naiknya harga domestik migas. Kenaikan harga pangan dan migas ini mendorong inflasi, sekalipun sampai saat ini inflasi masih rendah, sekitar 2 persen, karena subsidi pemerintah.
Kenaikan harga pangan dan migas ini mendorong inflasi, sekalipun sampai saat ini inflasi masih rendah, sekitar 2 persen, karena subsidi pemerintah.
Kebijakan stabilitas ekonomi, dalam mengendalikan inflasi, dan defisit anggaran, tetap menjadi prioritas. Sementara itu, stimulasi ekonomi harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan dengan tetap fokus pada penciptaan kesempatan kerja.
Kenaikan harga migas semestinya mendorong pada upaya lebih serius untuk menaikkan produksi migas. Permasalahan klasiknya adalah lingkungan investasi migas yang tidak menarik. Adalah langkah yang benar secara politik untuk mengutamakan produsen migas dan untuk kepentingan sebesar-besarnya dalam negeri. Namun, dengan besarnya investasi dan juga akses pasar dunia, PMA di sektor migas harus difasilitasi dengan baik. Sementara untuk harga BBM dan gas dalam negeri bagaimanapun harus dilakukan penyesuaian karena kemampuan subsidi terbatas. Subsidi energi pada 2021 sebesar Rp 142 triliun (dari Rp 128 triliun yang dianggarkan), dan di 2022 dianggarkan Rp 134 trilliun dengan kemungkinan membangkak lagi.
Kenaikan harga pangan tidak dapat dengan mudah ditanggapi dengan menaikkan produksi pangan dalam negeri karena memang kapasitas yang masih kurang memadai. Apa yang diharapkan masyarakat adalah stabilitas harga kebutuhan bahan pokok. Dalam hal ini, subsidi masih menjadi bagian kebijakan yang penting terutama untuk masyarakat berpendapatan rendah.
Perang Rusia (Putin) dengan Ukraina memperlihatkan bahwa dalam era post-modern atau masyarakat informasi ini, ketika kemanusiaan merupakan nilai yang diagungkan, konflik dan bahkan tindakan yang antikemanusiaan bisa terjadi secara kasat mata. Akibat buruknya terjadi di berbagai aspek kehidupan termasuk ekonomi.
Perdamaian bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi sebagai upaya keras bersama, dan dalam konflik ini perdamaian didapatkan melalui perjuangan fisik dan diplomasi. Hanya dalam perdamaian, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan dalam sistem yang interdependensi melalui tindakan kerja sama (cooperative game) bukan konflik (non-cooperative game). Namun, dalam kenyataannya, kita masih harus menghadapi konsekuensi dari konflik antarnegara.