Menggoreng Calon Presiden
Rakyat sudah jenuh melihat kinerja para pemimpin hasil ”penggorengan” para bebotoh yang hanya berorientasi pragmatik, bukan ideologis kebangsaan. Saatnya pemimpin ”genuine” atau otentik tampil atau ditampilkan.
Dahulu, para tokoh/pemimpin lahir karena kemampuan menjawab tantangan zaman. Kini, untuk kepentingan pilpres, mereka dimunculkan dengan ”digoreng” di atas wajan, kompor politik, dan limpahan minyak finansial.
Tentu ada koki-koki yang dipercaya mengolah sang tokoh menjadi sajian yang memenuhi selera publik. Tak ketinggalan, para ”pujangga” media sossial pun ditugaskan membuat berbagai narasi sehingga tokoh yang ditawarkan terkesan kinclong.
Para pemimpin sejati lahir dari rahim zaman. Mereka gigih berproses meningkatkan kapasitas kemampuan intelektual dan kecakapan teknis (skill). Juga menempa diri demi penguatan karakter. Mereka tahan banting dan kuyup penderitaan mengatasi persoalan yang membelit masyarakat/bangsa.
Dengan integritas, komitmen, dan dedikasi yang tinggi, mereka tampil sebagai sosok pembebas: menciptakan ruang-ruang kemungkinan bagi manusia dan bangsa untuk berkembang demi memiliki makna eksistensial dan martabat (dignity). Itulah yang dilakukan dan dicapai Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, HOS Tjokroaminoto, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Tan Malaka, dan pendiri bangsa lainnya.
Di luar kolonialisme, hingga kini persoalan yang dihadapi bangsa tak beranjak jauh dari kemiskinan material/nonmaterial, keterbelakangan kultural, ketidakadilan, dan belum sejahteranya rakyat secara menyeluruh.
Sejatinya rakyat sangat berharap reformasi 1998 mampu melahirkan masyarakat sipil yang kuat.
Demi kemajuan bangsa, Bung Karno menekankan pentingnya pembangunan karakter dan konsep Trisakti, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Namun, perwujudan nilai-nilai ini belum tuntas, mendadak dipotong kemunculan Orde Baru yang lebih menekankan pembangunan ekonomi disertai berbagai represi politik demi kepatuhan kolektif publik. Ongkos kultural yang harus dibayar pun sangat mahal.
Bangsa ini kehilangan momentumnya untuk jadi bangsa yang berkarakter kuat. Hanya kelas menengah yang eksis karena direkrut jadi teknokrat, birokrat, dan aparatus negara lain. Tanpa sadar mayoritas masyarakat pun merayakan hegemoni Orde Baru selama 32 tahun.
Baca juga: Pesta Pasti Berakhir
Sejatinya rakyat sangat berharap reformasi 1998 mampu melahirkan masyarakat sipil yang kuat. Namun, arah reformasi berbelok. Reformasi justru memperkuat kelompok elite kepentingan politik dan ekonomi. Rakyat cukup menghirup kebebasan, tapi tidak menjadi subyek kedaulatan yang dimilikinya. Elite politik, parpol, dan kaum pemodal kuatlah yang menentukan arah reformasi.
Pintu pun dibuka selebar-lebarnya bagi liberalisme politik dan ekonomi. Mereka percaya pasar bebas jadi jalan menyejahterakan rakyat. Namun, pemimpin-pemimpin yang lahir dari reformasi belum sepenuhnya berhasil menjawab persoalan zaman: memperkuat masyarakat sipil dan membangun kesejahteraan menyeluruh.
Sementara penguatan karakter bangsa juga belum terjadi secara optimal. Atas nama kemajuan teknologi dan profesionalisme, mereka cenderung mengorientasikan anak-anak bangsa jadi manusia-manusia teknis, sekadar terampil, tetapi kurang kuat dalam karakter.
Ruang aktualisasi kebudayaan, sejarah bangsa, nasionalisme, dan patriotisme semakin kecil. Ini sangat mengkhawatirkan. Bangsa yang hanya mengandalkan kecakapan teknis dan profesionalnya mudah runtuh berhadapan dengan kekuatan asing.
Elite politik, parpol, dan kaum pemodal kuatlah yang menentukan arah reformasi.
Pemimpin ”genuine”
Masihkah ”blunder” sejarah itu diteruskan? Lalu apa yang bisa diharapkan dari para tokoh/ pemimpin yang kini sedang ”digoreng” jadi capres di Pilpres 2024? Kini, para tokoh yang dinilai berpotensi menjadi presiden pun sudah mulai diluncurkan di ranah publik dengan berbagai bentuk deklarasi, bahkan sudah ada beberapa tokoh berkeliling untuk memikat hati publik.
Politik berhubungan dengan persepsi publik. Nasib tokoh untuk dipilih dan tidak dipilih bergantung pandangan, penilaian, dan pemaknaan publik atas sang tokoh. Bisa jadi seorang tokoh selalu menang dalam survei, tetapi publik belum tentu jatuh hati dan memilihnya atas dasar persepsi tertentu.
Persepsi dibangun dari pengamatan dan pencermatan publik atas rekam jejak tokoh. Kemudian publik melakukan penilaian atas karakter dan kinerja sang tokoh untuk menentukan kelayakannya jadi pemimpin bangsa. Jika sang tokoh konsisten dalam menjalani laku politik berbasis etik dan mampu menunjukkan kapabilitas dan komitmen sosialnya, publik berpotensi menyukainya.
Dalam konteks ini, para tokoh yang memiliki cacat politik, hukum, dan moral sangat kecil tingkat keterpilihannya. Rakyat semakin cerdas dan kritis. Di luar kelompok pemilih yang berbasis fanatisme dan primordialisme, mayoritas rakyat semakin rasional dalam memilih capres. Mereka cenderung memilih para pemimpin yang memiliki otentisitas daripada pemimpin yang dihasilkan dari wajan ”penggorengan” politik.
Pemimpin otentik adalah pemimpin yang memiliki visi kebudayaan dan ideologis, di mana etika dan etos jadi basis aktualisasi mengatur/mengelola negara. Etika berkaitan dengan moralitas, norma, dan hukum, di mana keadaban, integritas, dan komitmen diutamakan dan dipertaruhkan. Kebenaran, kebaikan (kemaslahatan), dan kepantasan menjadi kunci dalam menjalani peran politik dan sosial. Keteladanan pun jadi mahkota. Jauh dari interes pribadi.
Baca juga: Pesta Para Pencuri
Adapun etos kerja berelasi dengan kemampuan secara intelektual, teknis, dan manajerial demi melahirkan hasil yang terukur, bermakna, dan bermanfaat untuk publik. Parpollah yang mempunyai otoritas penuh dan berkompeten mengajukan pemimpin-pemimpin genuine atau otentik. Rakyat tak bisa menentukan sendiri karena hanya disodori pilihan. Jika parpol mampu menjagokan tokoh-tokoh otentik, Pilpres 2024 bisa menjadi wahana edukasi dan kultural bagi publik.
Kelak hasilnya bukan hanya presiden yang terpilih dan penyelenggaraan negara berkualitas, melainkan juga nilai-nilai ideal demokrasi dan mutu peradaban bangsa. Rakyat sudah jenuh melihat kinerja para pemimpin hasil ”penggorengan” para bebotoh yang hanya berorientasi pragmatik, bukan ideologis kebangsaan. Saatnya pemimpin genuine atau otentik tampil atau ditampilkan. Ini sangat membahagiakan rakyat.
Indra Tranggono, Praktisi Budaya dan Esais