Negeri ini sangat riuh. Medsos menggelegar, Semua orang berebut kesempatan eksis dengan mengutamakan ketenaran, bukan kebenaran. Sementara, rakyat terkucil dalam dunia sunyi, harus berjuang hidup di tengah pandemi.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Negeri ini sangat riuh. Medsos menggelegar, memuntahkan kata dari soal narsisme, ujaran kebencian berbau SARA, intoleransi keyakinan, diskriminasi berlanggam primordialisme sampai pembunuhan karakter. Semua orang berebut kesempatan eksis dengan mengutamakan ketenaran, bukan kebenaran.
Tak ketinggalan para politisi sibuk bertikai. Ada yang rebutan partai. Ada juga yang menggoreng isu politik akal-akalan tentang penting memperpanjang masa bakti presiden jadi tiga periode. Mereka mencoba mengakali konstitusi, demi mempertahankan oligarki dan memperpanjang kesempatan mengeksploitasi kekayaan negara. Sangat tidak elok.
Di sisi lain, para politisi yang punya modal besar ekonomi, politik, sosial, jaringan, media dan mesin partai sudah kebelet jadi presiden. Memobilisasi para figuran untuk melakukan deklarasi dukungan capres. Seolah mereka dibutuhkan rakyat. Riuh. Berderap-derap tapi hampa.
Sementara, rakyat terkucil dalam dunia sunyi. Mereka harus mempertahankan hidup di tengah teror pandemi, sulit dapat penghasilan dan susah hidup layak. Di tengah pesta pora kaum berkuasa, mereka tinggal di koloni-koloni ketidakberdayaan. Sangat menyakitkan. Rumah keindonesiaan terasa terbelah-belah dan orang -orang kalah dan lemah itu dianggap out-siders dan jadi beban.
Semua orang berebut kesempatan eksis dengan mengutamakan ketenaran, bukan kebenaran.
Bermain drama
Sekarang memang bukan zaman para pemimpin dekat dan mencintai rakyat, layaknya para pendiri negara ini. Terjadi pencairan dan penjarakan antara rakyat dan pemimpin, karena aktor-aktor kekuasaan yang kini hadir tak memosisikan diri sebagai pemimpin, melainkan penguasa. Pemimpin itu melayani, sedangkan penguasa selalu menuntut dilayani.
Para penguasa umumnya bukan manusia-manusia ideologis tapi kaum pragmatis yang pola pikirnya berorientasi pada laba. Maka serupa laba-laba pula mereka menebarkan jaring kekuasaannya demi mengukuhkan dominasi dan hegemoni. Praktik bernegara dan berkonstitusi tak berlanggam ideologis dengan spirit solidaritas sesama bangsa, melainkan perniagaan.
Negara mereka pahami sebagai perusahaan, bukan lagi rumah kebangsaan yang menjamin setiap hak warga negaranya. Kalau toh mereka sering memainkan berbagai narasi nasionalisme dan pratriotisme, rakyat yakin mereka sedang latihan bermain drama.
Kenapa rakyat selalu mengeluh? Bukankah sudah ada kartu kesehatan, pendidikan, kerja? Benar, tapi jumlah yang ter-cover jauh lebih kecil dari jumlah yang semestinya diatasi. Jumlah orang miskin selalu lebih besar dari data di statistik. Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan layak juga tak gampang. Pasar pun tak terkontrol. Ibarat main musik, rakyat hanya memiliki nada-nada terbatas tapi kondisi riil menuntut mereka memainkan musik orkestra.
Rakyat sangat berharap, para penguasa punya tenggang rasa, tepa selira dan mau sedikit berbagi. Jika ini dilakukan, maka kaum penguasa akan kajen (terhormat) di mata rakyat. Ingat rakyat itu malati (mendatangkan tulah) jika dikhianati.
Bertanyalah pada Bung Karno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, HOS Tjokroaminoto para pendiri bangsa lainnya, apa tugas utama pemimpin. Tidak lain hanyalah membahagiakan rakyatnya, melalui praksis ideologis dan konstitusional secara konsisten dan kontinu. Yang terbangun negara kesejahteraan.
Cita-cita rakyat tidak muluk-muluk. Punya penghasilan cukup. Bisa makan ajek, sehat, tinggal di rumah yang layak, berpakaian pantas, bisa menempuh pendidikan, ada ruang pengembangan diri, punya rasa aman, hidup penuh kedamaian dan kenyamanan. Tak perlu barang bermerek. Tak perlu piknik. Tak butuh hedonisme layaknya kelas menengah yang manja dan boros.
Jumlah orang miskin selalu lebih besar dari data di statistik.
Untuk mewujudkan impian rakyat tersebut, sejatinya tak terlalu sulit. Negara ini terlalu kaya dan bisa bikin rakyatnya sejahtera dan bahagia jika tidak digerogoti kaum predator/koruptor. Persoalannya apakah ada kemauan politik dari para penyelenggara untuk mewujudkan cita-cita konstitusi.
Semua pesta pasti berakhir, dan semua orang yang terlibat dalam kekuasaan akan menemukan takdirnya sendiri-sendiri, tergantung warisan nilai yang ditinggalkan. Memimpin negara tak beda menabung nilai-nilai. Besar kecilnya nilai-nilai itu sangat menentukan nilai eksistensial seseorang.
Rakyat tidak butuh halusinasi tentang “joko piningit” (pemimpin yang disiapkan untuk menciptakan keadilan). Tak butuh tokoh-tokoh yang sibuk memoles diri seolah pemimpin sejati tapi sesungguhnya tak lebih dari penjual komoditas.
Rakyat juga tak butuh mitos “ratu adil” tapi hukum yang adil (istilah penyair Rendra). Rakyat menunggu para pemimpin menciptakan musik orkestra keadilan dan kesejahteraan yang resonansinya mampu menggusur suara-suara riuh yang bikin gaduh dan sakit telinga.