Sejarah Mengaum
Luka sejarah tak akan pernah hilang. Sejarah akan tetap mengaum. Permintaan maaf yang hanya terbatas pada kekejaman kolonial sepanjang periode Revolusi Nasional 1945-1949 tak memenuhi standar etika yang sebenarnya.
Berita utama Kompas, ”PM Belanda Meminta Maaf pada Indonesia” (19/2/2022) membuat sejarah kembali ”mengaum” di Indonesia.
Frasa sejarah mengaum saya pinjam dari sajak Sitor Situmorang, ”Kepada Clochard”, yang ditulis pada 1953. ”Di udara dingin,” tulis Sitor dalam sajak itu, ”mengaum sejarah/Bening seperti es membatu di hati”. Dan, dilanjutkan: ”... Antara senja dan malam/Merentang luka yang dalam”.
Sasaran permintaan maaf PM Belanda Mark Rutte pada dasarnya terbatas pada aksi-aksi kekejaman militer negara itu terhadap rakyat Indonesia sepanjang Revolusi Nasional 1945-1949.
Memberi makna luka sejarah
Revolusi Nasional itu, seperti dinyatakan sejarawan MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1983) adalah a powerful element in the Indonesian national’s perception of itself (sebuah unsur kuat pandangan nasional Indonesia akan diri sendiri). Dan Goenawan Mohamad (GM), dalam bukunya Pembentuk Sejarah (2021), seakan-akan memberi dukungan konseptual-imajinatif atas kalimat Ricklefs melalui frasanya, yang ambruk adalah sebuah wacana.
Mengapa? Karena, tulis GM, ”Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ’kami bangsa Indonesia’. Apalagi sebuah ’kami yang bisa menyatakan kemerdekaan’.”
Bagaimana kita memberi makna pandangan Ricklefs dan GM ini? Melalui keduanya, kita bisa menyatakan, Revolusi Nasional 1945-1949 adalah a great political invention (temuan besar politik) yang pernah dicapai bangsa Indonesia. Dan dengan itu, revolusi itu mendorong lahirnya le histoire du nouveau conscience (sejarah kesadaran baru) yang tak berpreseden.
Fakta sejarah menunjukkan sebagian besar kelas menengah pribumi melihat negara kolonial becoming their real habitat (menjadi lingkungan hidup mereka yang sebenarnya).
Ini sangat perlu ditekankan karena fakta ”sejarah kesadaran” masyarakat Indonesia satu dan dua dekade sebelumnya tak memberi harapan. Sejarawan Belanda Henk Schulte Nordholt, dalam ”’Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis” (Journal of Southeast Asian Studies, 2011), menyatakan kelanggengan sistem kolonial Belanda justru disangga indigenous lower middle class (kelas menengah lapis bawah kaum pribumi).
Ini, lanjutnya, menjelaskan mengapa 60 juta penduduk Indonesia pada 1930-an bisa diperintah kaum kulit putih berjumlah 24.000 orang atau 0,4 persen populasi. Melalui studi, antropolog Belanda Jan van Baal dan sejarawan William O’Malley, Nordholt menolak anggapan bahwa kelas menengah Indonesia sebelum kemerdekaan adalah the breeding ground (tempat pembibitan) gagasan nasionalisme. Fakta sejarah menunjukkan sebagian besar kelas menengah pribumi melihat negara kolonial becoming their real habitat (menjadi lingkungan hidup mereka yang sebenarnya).
Dengan fakta sejarah inilah Nordholt memberikan hipotesis, hasrat utama kaum kelas menengah pribumi itu bergabung dalam gelombang modernitas (in joining modernity). ”What they aimed at in the first place was not a nation, but a life style” (Apa yang pertama-tama mereka angankan bukanlah sebuah bangsa, melainkan sebuah gaya hidup [modern]).
Baca juga Permintaan Maaf Belanda
Tepat pada titik ini kita bisa menangkap suara ”gelegar” Ricklefs di atas tentang apa arti Revolusi Nasional bagi bangsa Indonesia. Dalam satu napas, kita bisa mendalami frasa GM, yang runtuh adalah sebuah wacana. Bahwa, sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 itu, wacana yang berkembang di kalangan sebagian besar kelas menengah Indonesia adalah kesadaran akan keagungan negara kolonial yang menyodorkan kehidupan modern.
Revolusi Nasional 1945-1949, dengan demikian, bukan saja reaksi frontal melawan mentalitas melenakan dan struktur fatamorgana itu, melainkan sebuah sacred calling (panggilan suci) memutus belenggu penghinaan sebuah bangsa untuk selama-lamanya.
Namun, justru sacred calling itu yang ingin dihancurkan Belanda pada 1945-1949. Ini kelanjutan kecongkakan Gubernur Jenderal De Yong yang pada 1930-an berucap, ”We have ruled here for 300 years with the whip and the club, and we shall still doing it in another 300 years” (Kami telah memerintah di sini selama 300 tahun dengan cambuk dan pentung, dan kami masih akan tetap berkuasa selama 300 tahun mendatang).
Kalimat congkak yang dikutip Peter Hastings dalam The Guide in Profile (1967) ini memperlihatkan karakter kolonialis Belanda yang sesungguhnya. Apa pun argumentasi yang disusun kemudian, sifat congkak De Yong inilah yang menstrukturkan tindakan Belanda memberangus sacred calling bangsa Indonesia dalam revolusi 1945-49 itu, yaitu walau telah berada dalam situasi anakronisme, tetap memaksa menjajah Indonesia untuk 300 tahun mendatang.
Inilah, untuk ”sebagian”, luka sejarah yang diciptakan kolonialis Belanda.
Evolusi panjang kesadaran sejarah
Akan tetapi, luka sejarah itu hanya sebagian yang terungkap. Menengok ke belakang, dengan cara yang melompat-lompat, kita bisa menemukan, antara lain, luka lainnya melalui Bawadi.
Sebagaimana dilukis Akira Nagazumi dalam ”The Pawnshop Strikes of 1922 and the Indonesian Political Parties” (Archipel, 1974), Bawadi adalah pegawai Kantor Pegadaian di Ngupasan, Yogyakarta.
Melalui pendidikan elementer ciptaan Politik Etis yang dimulai 1901, posisi sosial Bawadi terangkat sedikit menjadi bagian dari golongan ”priayi”. Keanggotaan Bawadi ke dalam golongan ”priayi” ini bukan karena hubungan darah, melainkan karena okupasi Bawadi melekat dalam birokrasi kolonial.
Nagazumi mencatat, akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, makna priayi mengalami perubahan, yaitu ’the Javanese bureaucrat functioning within the framework of colonial adminsitration’ (birokrat Jawa yang berkinerja dalam kerangka pemerintahan kolonial).
Perbedaan ras itu terungkap pada pelembagaan organisasi pekerja Kantor Pegadaian yang berbeda antara orang Eropa dan pribumi, sekaligus menandai perbedaan perlakuan di antara kedua ras.
Sebagaimana dirasakan sejawatnya di Kantor Pegadaian itu, menjadi ”priayi” merupakan kebanggaan sosial bagi Bawadi. Masalahnya, kesulitan ekonomi pada 1920-an mendorong Gubernur Jenderal D Fock melakukan economization (penghematan). Khusus bagi Kantor Pegadaian, ini berarti kuli pengangkut barang-barang gadaian ke tempat pelelangan harus dihilangkan. Akibatnya, para pegawai pribumi yang telah jadi ”priayi” itu harus menggantikan mereka.
Bawadi merasakan keruntuhan status sosialnya sebagai pengganti kuli dan serta-merta menolak melakukannya. Akibatnya, ia dipecat atasan kulit putihnya. Pemecatan ini menimbulkan protes meluas, melibatkan berbagai serikat buruh dan partai radikal, seperti Sarekat Islam (SI), Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan juga organisasi pribumi ”moderat”: Budi Utomo dan Muhammadiyah. Lepas dari semua itu, kita menemukan ”luka sejarah” pada Bawadi. Dan luka ini dihayati sepenuhnya oleh Penasihat Pribumi RA Kern.
Di sini, Nagazumi mengutip laporan Kern kepada gubernur jenderal bahwa peristiwa itu tak bisa direduksi hanya pada dikotomi ”bangsawan-wong cilik”, melainkan mengungkapkan racial disrimination between European and native personnel (perbedaan ras antara pegawai Eropa dan pribumi).
Perbedaan ras itu terungkap pada pelembagaan organisasi pekerja Kantor Pegadaian yang berbeda antara orang Eropa dan pribumi, sekaligus menandai perbedaan perlakuan di antara kedua ras. Karena itu, Kern mengesampingkan aspek legalitas pemecatan Bawadi. Yang ditekankan adalah ”there is one Javanese suffering from the suppression of the ruler” (ada seorang Jawa yang menderita penindasan penguasa).
Baca juga Den Haag dan Permintaan Maaf
Tentu, kualitas kesadaran status sosial Bawadi jauh di bawah standar Sastrokadono (pemimpin serikat buruh Pegadaian) dan tak bisa dibandingkan dengan Abdul Muis, Semaun, dan Sutopo, masing-masing pemimpin SI, PKI, dan Budi Utomo, yang secara kolektif melawan pemecatan bersifat rasial itu. Maka, dalam konteks budaya, kualitas Bawadi itu disebut Kern sebagai ekspresi ”ketimuran”, yang menolak dipermalukan di depan umum karena turun status dari ”priayi” kembali menjadi kuli.
Kendati demikian, melalui uraian di bawah, sikap Bawadi itu tergolong kesadaran ”maksimal”. Mengapa? Karena mutu dan tingkat kesadaran diri Bawadi pada 1920-an itu adalah proses evolusi panjang ”rata-rata” rakyat Jawa masa kolonial abad ke-19. ”Rata-rata” di sini berarti sepanjang seorang rakyat Jawa tak bersentuhan dengan ide dan pusat-pusat pergerakan tertentu, seperti ajaran Islam di pesantren, ia tak punya sumber daya konseptual melihat dunia sekitar.
Bukankah, misalnya, pada 1857, ”rata-rata” rakyat di Tegalrejo, Yogyakarta, tempat tinggal Diponegoro, tak lagi mengingat siapa pangeran yang telah memulai Perang Jawa yang dahsyat itu pada 1825-1830, seperti dilukiskan pendeta JFG Brumund (1814-1863)? Maka, sepanjang sejarah prakolonial hingga 1920-an itu, struktur kesadaran ”rata-rata” rakyat Jawa tak terbentuk secara progresif. Di sini, Sistem Tanam Paksa (1830-1870) bisa dijadikan patokan.
Berbeda dengan periode ”pemerintahan” VOC yang secara resmi berakhir pada 1800, melalui Sistem Tanam Paksa, untuk pertama kalinya rakyat Jawa kebanyakan bersentuhan secara langsung dan masif dengan kekuatan Eropa.
Di sini, ada dua catatan penting yang harus dilihat. Pertama, melalui kinerja mereka di Sistem Tanam Paksa, petani Jawa yang innocent itu secara langsung jadi aktor pembentukan material kemunculan modern colonial state. Ini kontribusi dahsyat! Sebab, dengan itu terjadi perubahan organisasi kekuasaan tak berpreseden sepanjang sejarah Jawa.
Kedua, kinerja petani Jawa telah pula menciptakan, mengutip Augustus J Veenendal dalam Building the Network of Railways and Tramline (2008), cork (pelampung) di atas mana Negeri Induk Belanda yang secara ekonomi hampir tenggelam mengapung kembali.
Persoalannya bukan apakah petani Jawa menyadari ”mahakarya” yang telah dibuat ini, melainkan dengan cara apa kolonialis Belanda memanfaatkan rendahnya tingkat kesadaran para petani Jawa itu. Studi Robert Van Niel dalam Java under the Cultivation System (1992), sangat terperinci memperlihatkan absennya kesadaran petani sebagai rakyat biasa dalam proses perubahan raksasa itu.
Dengan beberapa pengecualian kecil, seperti protes petani Pasuruan terhadap beban penanaman tebu pada 1833, para petani Jawa umumnya memperlihatkan kepatuhan mencengangkan pada peraturan Sistem Tanam Paksa. Ini tak hanya terbatas pada kerelaan mereka menyediakan seperlima tanah untuk penanaman tumbuhan ekspor ke pasar Eropa, tetapi juga menerima dengan patuh kerja rodi yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur Sistem Tanam Paksa ini.
Yang sebenarnya terjadi adalah pemanfaatan sistematis kolonialis Belanda atas sifat otokratik penguasa pribumi tradisional yang menekan petani untuk kepentingan kolonial.
Dengan cara yang sedikit diperhalus, Van Niel, dalam Java under Cultivation System, mengatakan sifat kekuasaan yang ditimpakan kepada para petani ini sebagai autocratic arbitrariness with wide ranging possibility (kesewenangan otokrasi dengan rentang keluwesan kemungkinan).
Yang sebenarnya terjadi adalah pemanfaatan sistematis kolonialis Belanda atas sifat otokratik penguasa pribumi tradisional yang menekan petani untuk kepentingan kolonial. Para pemimpin modern colonial state mengetahui, seperti diungkapkan Van Den Bosch dalam laporan kinerjanya sepanjang 1830-1833, bahwa petani hanya patuh pada elite pribumi tradisional. Tugas pihak terakhir tinggal membagi ”hak” atas kerja rodi petani yang sebelumnya dimonopolinya ke pihak organ Sistem Tanam Paksa.
Di sini, kehadiran modern colonial state bukan membebaskan petani dari kesewenangan elite tradisional, melainkan dengan menumpang sistem menindas itu turut menambah beban rakyat petani. Semua ini dilakukan demi politik batig slot (saldo positif dalam neraca perdagangan), mengambil frasa yang diperkenalkan Dick Hartoko dan Bob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra (1985 [1979]). Dan, untuk menjaga neraca keuntungan itu, rendahnya kesadaran petani Jawa harus dipelihara.
Ini artinya pendidikan harus tetap absen di kalangan rakyat Jawa. Maka, mengutip kembali Dick dan Niewwenhuys, kendati pada 1835 seorang asisten residen di Banyumas mengusulkan pengalokasian 30 gulden/bulan untuk kependidikan rakyat pribumi, gagasan mencerdaskan ini ditolak Negeri Induk.
Di sinilah kita memahami konteks ”maksimal” kesadaran Bawadi di atas. Bahwa sejak 1830, ketika negara kolonial modern terbangun menggantikan VOC, penguasa kulit putih Belanda dengan sengaja membiarkan kebodohan rakyat.
Selama hampir 100 tahun sejak 1830 hingga 1920-an, ”seruan” the white men’s burden Rudyard Kipling (1865-1936) hanya slogan kosong. Buktinya, kesadaran ”rata-rata” rakyat Jawa sepanjang kurun itu hanya sampai taraf yang didemonstrasikan Bawadi. Menolak turun pangkat jadi kuli setelah jadi ”priayi”. Sebuah evolusi kesadaran sangat panjang.
Dalam arti kata lain, permintaan maaf yang hanya terbatas pada kekejaman kolonial sepanjang periode Revolusi Nasional 1945-1949 tak memenuhi standar etika yang sebenarnya.
Dasar etik kekuasaan
Dalam perspektif inilah kita seharusnya melihat konteks lebih asasi permintaan maaf PM Belanda. Dengan melihat fakta bahwa aktor sesungguhnya pembangunan landasan material moderncolonial state dan cork di atas mana negeri Belanda mengapung adalah para petani, sebagai rakyat biasa, kita bisa bertanya atas landasan etik apa penguasa kolonial dengan sengaja memelihara kebodohan mereka selama hampir 100 tahun?
Dalam arti kata lain, permintaan maaf yang hanya terbatas pada kekejaman kolonial sepanjang periode Revolusi Nasional 1945-1949 tak memenuhi standar etika yang sebenarnya.
Sepanjang pertanyaan etik ini tak terjawab, luka sejarah tak akan pernah hilang. Dan karena itu, sejarah akan tetap mengaum.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)