Pemerintah Belanda pekan lalu menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia. Dalam kasus dan sasaran berbeda, sejumlah pemerintah negara lain juga menyampaikan permintaan maaf. Apa motivasinya?
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
Baru-baru ini, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia atas kekerasan ekstrem pasukan Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pernyataan yang disampaikan di Den Haag pada Kamis (17/2/2022) itu didasarkan atas hasil penyelidikan 4,5 tahun oleh tiga lembaga penelitian di Belanda.
”Atas kekerasan ekstrem yang sistematis dan meluas dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu dan atas sikap pemerintah sebelumnya yang konsisten melihat sebaliknya, saya minta maaf sedalam-dalamnya kepada masyarakat Indonesia,” kata Rutte.
Hasil penelitian mutakhir itu berbeda dengan pandangan tradisional Pemerintah Belanda. Selama ini, Den Haag menilai bahwa kekerasan yang dilakukan pasukan Belanda saat berusaha mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah Perang Dunia II hanya bersifat sporadis dan reaktif.
Mengutip The Diplomat, laporan Belanda pada 1968 mengakui adanya ”ekses kekerasan” di Indonesia akibat pasukan Belanda. Namun itu disebutkan sebagai ”tindakan kepolisian” yang sering kali merupakan reaksi atas perang gerilya yang dilancarkan milisi Indonesia. Pemerintah Belanda tidak pernah menuntut satu pun tentara atas pembunuhan itu meskipun ada laporan PBB pada awal 1948 yang mengutuk serangan itu sebagai "disengaja dan kejam".
Sementara pandangan terbaru berdasarkan penelitian mutakhir sebagaimana disampaikan Rutte, menyebutkan, kekejaman dilakukan secara sistematis. ”Ada kemauan kolektif untuk menerima, membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perang," kata peneliti sebagaimana dikutip kantor berita Jerman, DW.
Menanggapi hal itu, Pemerintah Indonesia masih mempelajari untuk mengetahui secara utuh hasil penelitian itu. ”Perlu waktu untuk mengetahui cakupan isinya untuk dapat memaknai hal-hal yang baru saja disampaikan Perdana Menteri Belanda,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah, Jumat (18/2/2022), di Jakarta.
Permintaan maaf dari Pemerintah Belanda ini bukan kali pertama. Pada 10 Maret 2020, Raja Belanda Willem-Alexander pada pernyataan pers bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor menyatakan penyesalan dan permintaan maaf atas kekerasan berlebihan yang dilakukan Belanda pada tahun-tahun era pasca proklamasi. Sementara pada 2016, mengutip DW, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders meminta maaf atas pembunuhan masal oleh tantara Belanda terhadap 400 warga Indonesia pada 1947.
Pada 12 September 2013, Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan menyatakan permintaan maaf atas kekerasan berlebihan oleh pasukan Belanda selama 1945-1949. Merujuk BBC, pernyataan Zwaan ini adalah permintaan maaf Pemerintah Belanda kepada Indonesia yang sifatnya umum. Sebelumnya, Den Haag beberapa kali menyampaikan permintaan maaf dan membayar kompensasi hanya untuk beberapa kasus tertentu atas gugatan korban.
Berdasarkan sasarannya, permintaan maaf suatu pemerintahan bisa dibagi ke dalam dua kategori besar dengan gradasinya masing-masing. Pertama adalah permintaan maaf kepada kelompok masyarakat domestik. Ini misalnya terjadi saat Perdana Menteri Australia Kevin Rudd pada 13 Februari 2008 menyampaikan permintaan maaf resmi kepada masyarakat Aborigin. Dia menyatakan penyesalannya atas kebijakan pemerintah di masa lalu yang mengakibatkan pemindahan paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka.
Kedua, permintaan maaf kepada masyarakat di negara lain. Ini misalnya dilakukan oleh pemerintah sejumlah negara terhadap negara bekas jajahan di masa silam. Sebut saja misalnya, Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda.
Variabel yang memotivasi menyampaikan permintaan maaf pemerintah baik kepada kelompok masyarakat domestik atau negara lain itu, merujuk kajian penelitian Tamar Farchy pada jurnal Universitas Texas di Austin, 2018, bervariasi serta berbeda-beda kombinasi dan bobotnya pada setiap negara. Penelitian yang mencakup Jerman, Perancis, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) itu secara umum menggolongkan dua kelompok variabel besar, yakni internasional dan domestik.
Secara internasional, negara yang menang perang cenderung membutuhkan waktu lama untuk meminta maaf. Contohnya AS dan Perancis. Sementara negara yang kalah perang lebih cepat karena berada pada semacam situasi yang tidak memiliki pilihan lain kecuali segera meminta maaf. Ini misalnya terjadi pada Jerman pasca Perang Dunia II.
Kepentingan pragmatis untuk mengembangkan kerja sama mutualisme secara bilateral atau regional juga menjadi faktor penting. Negara yang berkepentingan menjalin kerja sama mutualisme untuk kepentingan nasionalnya cenderung cepat dan mudah menyampaikan permintaan maaf. Rasionalisasinya, persoalan masa silam yang bisa menjadi penghambat pengembangan hubungan mesti diselesaikan.
Sebaliknya, negara yang tidak berkepentingan menjalin kerja sama dengan ”negara korban” cenderung tidak butuh menyampaikan permintaan maaf. Sebab, negara itu sudah memiliki pilar-pilar kerjasama luar negeri dengan berbagai negara lain yang memberikan keuntungan besar. Faktor lain adalah tekanan dari masyarakat korban. Ini juga menjadi pertimbangan meski respon pemerintah tergugat bisa berbeda-beda.
Sementara variabel domestik, masih merujuk penelitian Farchy, menjadi akar atas variabel internasional. Kecenderungan nasionalisme suatu bangsa biasanya lebih menentukan ketimbang ideologi politik rezim berkuasa. Ini yang menjelaskan mengapa pergantian rezim konservatif ke liberal di beberapa negara tidak serta merta mengubah pandangan soal isu permintaan maaf. Ini misalnya terjadi pada Pemerintah AS selama abad 20 dan 21.
Di atas itu semua, motivator paling menentukan adalah komitmen domestik untuk pendidikan, wacana publik, dan peringatan. Komitmen ini didorong oleh institusi politik, kepemimpinan, dan kerja masyarakat sipil. ”Di luar strategi atau kebijakan luar negeri, kasus permintaan maaf yang paling efektif adalah hasil dari moral imperatif yang dirasakan oleh para pemimpin suatu bangsa dan rakyatnya,” kata Farchy.