Sudah sepatutnya Belanda meminta maaf karena melawan kemanusiaan dengan tak mengindahkan hukum dan etika perang meskipun era Perang Kemerdekaan sudah lama berlalu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Permintaan maaf dari Belanda diharapkan dapat semakin menyingkapkan kebenaran dan keadilan dalam era Perang Kemerdekaan Indonesia.
Secara khusus, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada pekan lalu mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan sistematis yang dilakukan tentara Belanda pada Perang Kemerdekaan tahun 1945-1949. Permintaan maaf itu merupakan tanggapan atas hasil kajian tim gabungan pakar sejarah Belanda-Indonesia tentang kekerasan sistematis tentara Belanda di era Perang Kemerdekaan.
Apa reaksi Indonesia? Sejauh ini, Pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan resmi. Masih dibutuhkan waktu untuk mempelajari hasil kajian ahli sejarah yang disiarkan pada Kamis (17/2/2022) itu.
Permintaan maaf pernah disampaikan secara resmi oleh Raja Belanda Willem-Alexander saat berkunjung ke Indonesia pada 2020. Secara umum, Raja Alexander meminta maaf atas apa yang disebut kekerasan berlebihan tentara Belanda.
Permintaan maaf yang disampaikan PM Rutte lebih mengentakkan karena mengacu pada hasil kajian para ahli sejarah tentang fakta kekerasan terencana, sistematis, dan tidak etis yang dilakukan tentara Belanda. Tak kalah menarik, PM Rutte juga mengaku menyesal atas sikap Pemerintah Belanda sebelumnya yang menutup mata atas sejarah kelam itu.
Upaya menutupi itu diduga tidak sekadar bertujuan menyembunyikan aib, tetapi sekaligus untuk menjaga perasaan para veteran perang yang bertugas di Hindia Belanda.
Sejauh ini tidak disebutkan berapa persisnya korban jiwa di pihak Indonesia. Hanya menurut perkiraan berjumlah puluhan ribu orang selama empat tahun.
Tentu banyak orang menyambut gembira atas pengakuan bersalah dan permintaan maaf Belanda. Namun, tak sedikit juga orang yang mempertanyakan, mengapa permintaan maaf Belanda tak mencakup penjajahan sekitar 350 tahun?
Aksi kekerasan yang sistematis dan terencana tentara Belanda sudah lama mengundang kecaman, tak hanya karena melawan kemanusiaan, tetapi juga karena melanggar hukum perang. Sekalipun perang diasosiasikan dengan penggunaan kekerasan, tetap ada hukum dan etikanya untuk mencegah petaka kemanusiaan.
Perang, misalnya, harus diumumkan. Jauh lebih penting lagi bagaimana menjaga keadilan di tengah peperangan. Penduduk sipil tak boleh dijadikan korban. Tentara lawan yang tertangkap tak boleh disiksa, tetapi harus dilindungi.
Dan, tak kalah penting, penegakan keadilan setelah perang. Perang harus menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk urusan pampasan perang.
Sudah sepatutnya Belanda meminta maaf karena melawan kemanusiaan dengan tak mengindahkan hukum dan etika perang meskipun era Perang Kemerdekaan sudah lama berlalu. Tentu permintaan maaf dan sikap memaafkan membutuhkan kebesaran jiwa agar tak terbelenggu hubungan permusuhan, dendam, dan kebencian, tetapi mendorong persahabatan.