Permintaan maaf Pemerintah Belanda atas kekerasan ekstrem dan sistematis menjadi cermin yang baik bagi kita di Indonesia dalam melihat sejarah sendiri dan membangun sikap atas masa lalu.
Oleh
ANDI ACHDIAN
·4 menit baca
Pidato Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang menyatakan permintaan maaf terhadap ”kekerasan ekstrem dan sistematis” yang dilakukan pihak Belanda terhadap orang-orang Indonesia sepanjang periode revolusi nasional menegaskan bahwa kesadaran sejarah suatu masyarakat bukan sekadar produk pengetahuan, melainkan lekat dengan ideologi dan pertimbangan-pertimbangan politik.
Dibutuhkan periode tujuh dekade lebih bagi Pemerintah Belanda untuk mengakui secara resmi ”fakta-fakta memalukan” yang dilakukan militer mereka. Perubahan standar moral tersebut sudah barang tentu lekat dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Belanda masa kini.
Pidato Mark Rutte adalah sikap resmi Pemerintah Belanda yang layak untuk dihargai meski kita di Indonesia tentu tidak perlu bersepakat terkait keseluruhan perspektif masa lalu tersebut. Ada garis batas yang cukup jelas tentang perspektif orang-orang Indonesia yang menjadi bangsa berdaulat sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sementara kedaulatan itu dalam pandangan pihak Belanda baru terjadi pada 27 Desember 1949.
Ibarat minyak dan air dalam satu wadah, keduanya tidak bisa disatukan. Namun bukan berarti kita tidak dapat hidup berdampingan. Pokok terpenting adalah menyadari kesalahan yang dilakukan bangsa sendiri di masa lalu sudah menjadi nilai tersendiri mewakili kehidupan masyarakat beradab abad ke-21.
Cermin diri
Setiap bangsa memiliki narsisme tersendiri dalam melihat budaya dan sejarah mereka. Narsisme itu bisa bergerak tanpa batas menjadi pengalaman buruk seperti Jerman di bawah Hitler pada masa Reich Ketiga. Oleh karena itu, pandangan-pandangan (orang) luar tentang sejarah tetap diperlukan untuk mendapatkan keseimbangan dalam menilai diri sendiri. Pidato yang disampaikan Mark Rutte mengingatkan hal ini. Ia menjadi cermin yang baik bagi kita di Indonesia dalam melihat sejarah sendiri dan membangun sikap atas masa lalu.
Tidak dapat disangkal, menerima masa lalu seperti apa adanya adalah sulit, termasuk juga bagi para sejarawan dalam proses membangun pengetahuan sejarah. Kesulitan ini bisa terlihat dalam menyikapi bagian-bagian tertentu dalam pengalaman sejarah Indonesia yang sekarang menjadi kontroversi publik tentang apa yang terjadi pada masa revolusi Indonesia saat itu.
Tidak dapat disangkal, menerima masa lalu seperti apa adanya adalah sulit, termasuk juga bagi para sejarawan dalam proses membangun pengetahuan sejarah.
Di Belanda, selain juga fakta-fakta yang digali terkait kekerasan yang dilakukan militer Belanda, ada juga pandangan bahwa kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia dalam peristiwa itu merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Sementara di Indonesia, reaksi paling umum adalah menyalahkan kolonialisme Belanda yang tidak dapat dilepaskan sebagai konteks melatari kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia. Bagaimanapun, meski terkesan melawan arus, ada juga sejumlah peneliti sejarah di Indonesia yang menganggap pemahaman tentang kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia merupakan informasi penting yang layak ditempatkan dalam pengalaman revolusi tersebut.
Sebagai sejarawan, saya pribadi bersepakat dengan posisi kedua ini dengan sejumlah alasan. Pertama, hasrat-hasrat tersembunyi di balik peristiwa kekerasan yang pernah terjadi penting untuk dipahami sebagai bagian sejarah yang tak dapat disembunyikan.
Studi Frantz Fanon berjudul Black Skin, White Mask telah dengan jelas menguraikan hasrat-hasrat gelap yang dimiliki bangsa terjajah—dalam pengalaman Aljazair di bawah Perancis—yang membentuk alam bawah sadar yang perlu mendapat terapi untuk tidak terjebak dalam lingkaran ”kolonialisme” lanjutan dalam menyikapi penjajahnya, seperti membenci penjajah tetapi bawah sadarnya ingin menikmati hidup atau berperilaku seperti bekas penjajahnya. Menyembunyikan atau mengabaikannya hanya akan memperpanjang mentalitas itu.
Kedua, meski belum terlalu panjang, sudah ada jarak cukup untuk menilai pengalaman revolusi Indonesia dalam berbagai segi. Sebagai pengajar sejarah Indonesia modern, saya sering menyampaikan beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia baik terhadap orang-orang Tionghoa, Indo, dan juga terhadap orang Indonesia sendiri, sebagai ilustrasi dalam membangun diskusi dengan mahasiswa tentang apa yang pernah terjadi dalam periode tersebut. Hal menarik dalam diskusi tersebut adalah para mahasiswa mampu menyatakan argumen yang tidak membenarkan kekerasan yang dilakukan, terlepas latar belakang dan tujuannya.
Mahasiswa saya sudah barang tentu adalah generasi yang berbeda dengan generasi 1950-an ketika para sejarawan saat itu membangun sebuah pendekatan Indonesia-sentris pada 1957 seiring proses nation-building pada masa pasca-kemerdekaan. Juga berbeda dengan generasi yang tumbuh besar pada masa Orde Baru ketika glorifikasi negara membentuk wacana penting sejarah resmi yang diajarkan di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Terlepas masih buruknya tingkat kesadaran sejarah secara umum, saya menduga generasi masa kini telah hidup dalam alam pikiran yang menghargai hak asasi manusia, demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalani kehidupan bersama.
Sulit memang memberikan jawaban terhadap masalah yang begitu kompleks terkait pengalaman kekerasan dalam revolusi Indonesia dalam ruang kolom artikel pendek ini. Namun saya kira ini menjadi kesempatan bagi para sejarawan di Indonesia untuk bisa melihat dan berdiskusi tentang pengalaman revolusi Indonesia dari berbagai sudut pandang yang beragam.
Kehidupan masa kini menuntut cara pandang yang tidak lagi sekedar melihat masa lalu itu secara hitam putih. Kita membutuhkan penulisan sejarah yang ilmiah, dibangun atas iklim kebebasan akademik, dan mengajarkannya dalam dialog terbuka yang mengutamakan kemanusiaan universal bagi anak-anak kita di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Seperi disampaikan Fanon, langkah terbaik adalah kita perlu melakukan terapi kolektif dengan membangun moral universalitas kemanusiaan tanpa perlu mengikuti apa yang dilakukan bekas penjajah, atau melestarikan mental bekas jajahan dalam seruan-seruan ultranasionalisme kuno.