PM Belanda Meminta Maaf pada Indonesia
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas kekerasan sistematis yang dilakukan tentara Belanda di era perang kemerdekaan. Indonesia masih mempelajarinya.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Luar Negeri Indonesia belum memberikan tanggapan resmi atas permohonan maaf Pemerintah Belanda terkait kekerasan sistematis yang dilakukan tentara Belanda di era perang kemerdekaan, tahun 1945-1949. Pemerintah masih mempelajari untuk mengetahui secara utuh kajian para ahli sejarah yang dirilis pada Kamis lalu di Belanda.
”Perlu waktu untuk mengetahui cakupan isinya untuk dapat memaknai hal-hal yang baru saja disampaikan Perdana Menteri Belanda,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah, Jumat (18/2/2022), di Jakarta.
Pada Kamis (17/2), Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia. Pernyataan itu muncul menyikapi hasil penelitian yang menemukan bahwa tentara Belanda menggunakan kekerasan berlebihan dan tidak etis di era perang kemerdekaan.
”Kami harus menerima fakta yang memalukan. Atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia,” kata Rutte.
Rutte juga menyatakan, menyesal atas sikap Pemerintah Belanda sebelumnya yang menutup mata atas sejarah kelam itu. Dia menambahkan, permintaan maaf juga ditujukan kepada semua orang di Belanda yang menanggung konsekuensi akibat perang kolonial di Indonesia. ”Termasuk para veteran perang yang berperilaku baik,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam kunjungan resmi ke Indonesia pada tahun 2020, Raja Belanda Willem-Alexander secara resmi meminta maaf atas kekerasan berlebihan selama perang kemerdekaan Indonesia. Namun, permintaan maaf oleh Rutte menjadi berbeda karena disertai dengan pengakuan adanya penggunaan kekerasan yang disengaja dan dilakukan secara efektif saat terjadinya agresi militer.
Baca juga: Sejarawan Tanggapi Permintaan Maaf Raja Belanda kepada Indonesia
Kajian yang menjadi rujukan Rutte adalah hasil penelitian sejumlah akademisi dan pakar dari Belanda dan Indonesia. Mereka di antaranya berasal dari Institut Sejarah Militer Belanda. Penelitian dilakukan selama 4,5 tahun dan dibiayai Pemerintah Belanda.
Dalam presentasi mereka, Kamis lalu, di Amsterdam, disebutkan, Pemerintah Belanda mengirim tentara yang tidak dilatih dengan baik dalam agresi militer di Indonesia. Selama perang, angkatan bersenjata Belanda sering menggunakan kekerasan ekstrem dan struktural, dalam bentuk eksekusi di luar proses hukum, perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan perusakan properti dan persediaan makanan, serangan udara dan penembakan artileri yang tidak proporsional, serta melakukan penangkapan massal acak dan penahanan massal.
Baca juga: Kadet AURI Nekat, Bom Pun Dipangku
Ben Schoenmaker, sejarawan dari Institut Sejarah Militer Belanda, mengatakan, kekerasan yang dilakukan militer Belanda itu, saat ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang. ”Politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil, dan hukum: mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman,” kata Schoenmaker.
Temuan para ahli itu menggugurkan klaim Belanda yang pada tahun 1969 mengatakan, pasukan mereka secara umum berperilaku benar saat konflik terjadi. Namun, hasil penelitian yang diterbitkan Kamis itu memberi gambaran yang jauh lebih suram tentang tindakan pasukan Belanda yang dinilai berakar pada ”mentalitas kolonial”.
Direktur Institut Veteran Belanda Paul Hoefsloot mengkritik hasil penelitian itu. Menurut dia, hasil penyidikan menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengkhawatirkan. ”Para veteran yang bertugas di bekas Hindia Belanda itu secara kolektif ditempatkan sebagai tersangka berkat kesimpulan yang tidak berdasar,” kata Hoefsloot dalam satu pernyataan tertulis.
Baca juga: Pameran Seni dan Luka Sejarah Dua Bangsa
[/caption]