Kadet AURI Nekat, Bom Pun Dipangku
Peringatan Hari Bakti TNI AU mengingatkan pada semangat kadet-kadet muda di Pangkalan Udara Maguwo (Adisutjipto kini) yang tanpa rasa takut menyerang Belanda pada 29 Juli 1947, meski dengan alutsista seadanya
Empat orang kadet Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) --sekarang TNI AU-- kesal mendengar desingan peluru dan bom yang dijatuhkan tentara Belanda. Tidak terima Indonesia merdeka, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda I yang dimulai 21 Juli 1947. Kekuatan AURI pun dihancurkan satu per satu.
Pesawat-pesawat tempur P-51 Mustang, P-40 Kitty Hawk, dan B 25/B 26 menyerang pangkalan-pangkalan udara AURI yang baru saja dibangun. Pesawat-pesawat tempur bekas dari Jepang yang berhasil diklaim tentara RI dihabisi. Harapannya, tidak saja mencegah republik yang masih muda ini untuk melawan dari udara, tetapi juga menjatuhkan mental rakyat Indonesia.
Keempat kadet, alias siswa sekolah penerbang di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adisutjipto), Yogyakarta, bukannya jatuh semangatnya. Amarah mereka justru semakin membara. Belum genap dua tahun mereka, yaitu Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoadji, masuk sekolah Penerbang Maguwo yang didirikan Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto pada 15 November 1946.
Keempat kadet, alias siswa sekolah penerbang di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adisutjipto), Yogyakarta, bukannya jatuh semangatnya. Amarah mereka justru semakin membara
Di sela-sela sekolah, mereka mendengar kabar kalau beberapa pangkalan udara di Pulau Jawa sudah diduduki, seperti Pangkalan Udara Bugis (Malang) dan Kalijati (Subang). Selain itu pesawat yang ada di Pangkalan Udara Maospati, Panasan, dan Cibeureum banyak yang dihancurkan oleh Belanda. Sedang diluar Jawa, yang diserang Belanda yaitu Pangkalan Udara Gadut Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pangkalan Udara Maguwo pun tidak luput dari serangan. Buku Sejarah TNI AU I mencatat, pada awal agresi militer Belanda itu, selama 40 menit, Belanda menjatuhkan bom bertubi-tubi. Serangan berlanjut pada 25 Juli. Akibatnya, Maguwo dan Wonocatur terbakar di berbagai lokasi. Beberapa pesawat berhasil diselamatkan karena disembunyikan di sekitar pangkalan. Masyarakat juga ikut membantu.
Serangan itu membakar semangat dan amarat para kadet yang berusia 20 tahunan itu. “Kurang ajar. Harus kita balas,” kata salah satu kadet.
Pada awal agresi militer Belanda itu, selama 40 menit, Belanda menjatuhkan bom bertubi-tubi.
Pemuda-pemuda yang berusia sekitar 20 tahun ini lalu mengajukan usulan ke Asisten Operasi AURI yang saat itu dijabat oleh Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. “Yang penting kami dapat ijin untuk membawa pesawat dan bom,” kata anak-anak muda itu.
Halim tahu, sulit membendung semangat perlawanan anak-anak muda ini. Ia lalu melapor ke Kepala Staf AURI Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma. Ijin pun diberikan. Soerjadarma mengatakan, walau tidak memberikan keuntungan secara taktis, serangan ini akan memberikan efek psikologis. Tidak saja meningkatakan moral perjuangan rakyat Indonesia tetapi juga menjatuhkan citra Belanda dan memberikan efek kejut bahwa republik Indonesia masih melawan.
[video width="640" height="416" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/07/WhatsApp-Video-2020-07-30-at-12.28.05.mp4"][/video]
Peristiwa yang diawali kenekadan ini dicatat sejarah sebagai operasi udara AURI yang pertama. Menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut tentang pengambilan keputusan yang dilakukan Soerjadarma pada saat itu. Pasalnya, pada saat itu, tengah ada misi strategis terkait dengan transportasi obat-obatan yang tengah berjalan dan rencananya akan tiba dalam waktu dekat. Studi ini akan meletakkan sejarah sebagai pelajaran untuk masa depan.
Soerjadarma memerintahkan teknisi Basir Surya untuk mencari pesawat yang masih bisa digunakan di Maguwo. Basir bukan orang sembarangan. Ia adalah orang yang dalam waktu sehari bisa memperbaiki pesawat Cureng yang pada 27 Oktober 1945 menjadi pesawat AURI pertama yang terbang dengan bendera Indonesia.
Siang-malam Basir dan timnya bekerja mempersenjatai Hayabusha, Guntei, dan Cureng. Hayabusha dan Guntei masih mudah diutak-utik karena keduanya jenis pesawat tempur dan pembom.
Siang-malam Basir dan timnya bekerja mempersenjatai Hayabusha, Guntei, dan Cureng. Hayabusha dan Guntei masih mudah diutak-utik karena keduanya jenis pesawat tempur dan pembom. Masalahnya, dua pesawat yang lain adalah Yokosuka K5Y1 yang terkenal dengan nama si Capung Merah alias Cureng.
“Cureng ini pesawat latih. Bagaimana mereka pasang bom dan senjata,” kata Kasubdisjarah TNI AU Kolonel Kolonel Sus Maylina Saragih
Walau akhirnya bisa membekali Guntei dengan 400 kg bom dan dua Cureng dengan 50 kg bom, kondisi pesawat jauh dari mumpuni. Bisa dikatakan, pesawat hanya bisa terbang. Tidak ada radio komunikasi dan tidak ada lampu. Mereka hanya dilengkapi senter untuk komunikasi darurat. Padahal, mereka harus terbang sebelum mentari bersinar penuh agar memberikan efek pendadakan.
Akhirnya, navigasi hanya mengandalkan peta dan pengamatan visual dari udara. Salah satu pesawat Cureng bahkan tidak bisa dipasang senapan mesin karena tidak ada dudukannya. Bisa dikatakan pesawat ini jadi sasaran empuk jika ada serangan, karena tidak bisa membela diri. Bom-bom bakar yang dibungkus kain belacu akhirnya dibawa.
“Peti-peti berisi bom bakar ini dipangku air gunner. Jadi nanti bisa dilempar. Sesederhana itu,” kata Maylina.
Bisa dikatakan, pesawat hanya bisa terbang. Tidak ada radio komunikasi dan tidak ada lampu. Mereka hanya dilengkapi senter untuk komunikasi darurat.
Di tengah keterbatasan itu, semangat tetap membara. Tidak heran, ketika empat jam sebelum keberangkatan, Kadet Bambang Saptoadji yang tidak bisa terbang karena Hayabusha mengalami masalah teknis, hatinya rasanya patah. Hayabusha juga punya peran penting sebagai air cover atau pengawal Guntei sekiranya ada serangan musuh. Akan tetapi, misi tetap berlanjut. Para pimpinan yaitu Soerjadarma dan Halim Perdanakusuma memutuskan taktik serangan.
Baca juga: Pertama Kali, TNI AU Punya Perempuan Penerbang Pesawat Tempur
Berhasil Walau Kesasar
Halim pada pertemuan tanggal 28 Juli menyampaikan pembagian serangan, yaitu Kadet Udara I Mulyono ditugaskan menyerang Semarang yang disertai penembak udara Sersan Udara Dulrachman menggunakan pembom tukik Guntei. Sementara Kadet Udara I Sutardjo Sigit bersama penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Kaput menyerang Salatiga menggunakan pesawat cureng.
Setelah dua jam beristirahat, pukul 04.00 pagi, semua telah bersiap. Jam 05.00 pesawat take off. Karena pesawat tidak memiliki lampu, sebuah lampu sorot dipakai untuk menerangi landasan. Operasi dilaksanakan dalam waktu satu jam.
Salah satu yang menarik, ternyata satu pesawat kesasar. Harbani dan Kaput seharusnya mengikuti Cureng Sutardjo yang telah terbang duluan. Tapi karena masalah navigasi, mereka kehilangan jejak. Padahal, waktu sudah ditentukan.
“Tiba-tiba mereka lihat ke bawah, eh ada danau. Wah ini Rawa Pening. Kan ada Belanda juga di Ambarawa. Serangan pun dilancarkan, walau salah alamat tapi ada benarnya,” cerita Maylina.
Seluruh pesawat bisa melaksanakan misi dan menghancurkan tangsi militer Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang.
Seluruh pesawat bisa melaksanakan misi dan menghancurkan tangsi militer Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Mereka mendarat dengan selamat pada pukul 06.00. Pesawat pun segera disembunyikan kembali di bawah pohon. Semua bersuka cita dan bangga serta haru.
Duka Cita
Akan tetapi, suka cita itu berbalik menjadi duka ketika sorenya Belanda membalaskan kemarahannya. Amarah dilampiaskan pada Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia dari Singapura yang masih menjadi bagian Malaya saat itu. Dakota yang merupakan pesawat sipil yang disewa untuk misi kemanusiaan itu ditembak dua pesawat P40 Kitty Hawk Belanda saat tengah bersiap mendarat di Maguwo. Tembakan yang mengenai mesin kiri membuat pesawat terbakar dan jatuh di wilayah Bantul, Yogyakarta.
Dua peristiwa yang terjadi pada 29 Juli 1947 itu lalu diperingati sebagai Hari Berkabung TNI AU sejak 1955. Namun sejak 1962, 29 Juli diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU
Hanya satu orang yang selamat yaitu A. Gani Handonotjokro. Korban-korban yang gugur adalah para perintis AURI yaitu Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo, Ex Wing Commander Alexander Noel Constantine (Australia) dan istrinya Ex Squadron Leader Roy Huzelhurst (Inggris), Bhidaram (India) dan Zainal Arifin (Indonesia). Ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi AURI bahkan bangsa Indonesia.
Dua peristiwa yang terjadi pada 29 Juli 1947 itu lalu diperingati sebagai Hari Berkabung TNI AU sejak 1955. Namun sejak 1962, 29 Juli diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU. Biasanya, acara diadakan di Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Tahun 2020, karena ada pandemi Covid-19 acara diperingati dalam bentuk yang berbeda.
Baca juga: TNI AU Turunkan Paksa ”Pesawat Asing”
Atas peristiwa bersejarah ini, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Fajar Adriyanto memiliki kesan tersendiri khususnya terhadap para kadet yang menjalankan misi.
"Sebenarnya ilmu mereka belum lengkap, tapi mereka berani dan nekad,” kata Fajar yang pernah menjadi komandan skuadron F16.
Semangat para kadet itu tetap dipelihara seluruh jajaran TNI AU.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo mengingatkan agar semangat para kadet itu tetap dipelihara seluruh jajaran TNI AU.
Dalam konteks wabah yang tengah melanda ini, Fadjar mengatakan wabah ini mengajarkan kita untuk bersatu dan berjuang bersama untuk saling meringankan beban sesama bangsa.
“Kerelaan untuk berkorban, menjadi contoh bagi masyarakat. Ini nilai-nilai dari peristiwa 29 Juli 1947,” kata Fadjar.