PM Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf kepada bangsa Indonesia atas kejahatan perang dan tindakan tak berperikemanusiaan. Kekerasan ekstrem dan struktural serta eksekusi ilegal itu fakta memalukan.
Oleh
FIDELIS REGI WATON
·4 menit baca
Atas nama Pemerintah Belanda, Perdana Menteri Mark Rutte, 17 Februari 2022, menyampaikan permintaan maaf kepada bangsa Indonesia atas kejahatan perang dan tindakan tak berperikemanusiaan tentara Belanda, 1945-1950. Rutte mengakui, kekerasan ekstrem dan struktural serta eksekusi ilegal itu fakta memalukan.
Tren meminta maaf secara publik atas kejahatan historis merebak sejak 1990-an. Paus meminta maaf atas inkuisisi, Bill Clinton untuk perdagangan budak, Swiss atas penyimpanan emas dari rezim Hitler, Ratu Inggris atas penindasan suku Maori di Selandia Baru, dan Jacques Chirac untuk skandal Dreyfus.
Pada 2008, PM Australia Kevin Rudd meminta maaf kepada penduduk asli Australia atas penyitaan tanah, penindasan, dan pemisahan paksa anak-anak suku asli dari orangtua demi membesut mereka jadi ”warga negara Australia yang beradab”.
Permintaan maaf itu boleh diapresiasi sebagai ekspresi kemajuan politik yang bermoral dan bermartabat serta langkah awal rekonsiliasi politik dan tatanan normatif berkaitan dengan tanggung jawab.
Tak lama setelah Perang Dunia (PD) II, tepatnya 1946, filsuf Jerman, Karl Jaspers, menghadirkan ulasan monumental, ”Die Schuldfrage” (Pertanyaan tentang Kesalahan). Ia memetakan empat kategori kesalahan: kesalahan kriminal, politik, moral, dan metafisik. Kesalahan kriminal terjadi karena pelanggaran hukum positif yang bisa dibuktikan secara obyektif. Pelanggaran diperiksa dan divonis instansi pengadilan. Hukuman ini bercorak individual. Kesalahan kriminal tidak berwarna kolektif.
Rutte mengakui, kekerasan ekstrem dan struktural serta eksekusi ilegal itu fakta memalukan.
Kesalahan politik berkaitan dengan negara dan aparatnya yang brutal. Setiap warga memikul tanggung jawab kolektif atas kejahatan rezim. Konsekuensinya, kewajiban ganti rugi dan reparasi. Kesalahan politik lazimnya dipatok pemenang untuk pecundang. Kesalahan moral ditanggung oleh siapa saja yang melakukan kejahatan, bahkan jika kebiadaban itu terjadi karena diperintahkan. Hati nurani jadi ajang yang mengadili. Rasa bersalah memunculkan penyesalan, pertobatan, serta pembaruan.
Kejahatan metafisik berhubungan erat dengan solidaritas kemanusiaan. Kesalahan jenis ini menyangkut tanggung jawab dan solidaritas bersama sebagai spesies manusia untuk semua ketidakadilan/kejahatan di dunia. Solidaritas ini dilanggar ketika seseorang hadir saat terjadi kebobrokan dan ia tak mencegah.
Di kancah politik internasional, kategori kesalahan politik sangat relevan. Lazimnya berlaku takaran pars pro toto. Secara kasatmata kesalahan politik berbau kolektif. Jaspers tegas menolak dakwaan kesalahan kolektif. Jika Pemerintah Belanda mengakui kesalahan sejarah bukan berarti semua warga Belanda bersalah. Generalisasi kesalahan berakibat penggelapan kesalahan dan tanggung jawab individu. Kesalahan, prinsipnya juga tak pernah diturun-temurunkan.
Yang diakui Jaspers dalam neraca kesalahan politik adalah tanggung jawab kolektif dan moril. Aspek ini bersasaran melahirkan kepedulian bersama dan kesadaran kemanusiaan.
Pekerjaan rumah
Dalam hubungan internasional telah digariskan beberapa format penetapan dan legitimasi kesalahan politik. Takaran klasiknya, yang kalah perang bertanggung jawab menuntaskan biaya konflik, kompensasi, dan reparasi. Di era kolonialisme, yang kalah harus melepas wilayah jajahan. Dewasa ini lebih populer embargo ekonomi dan militer.
Cara lain, digelar pengadilan militer internasional, seperti terjadi di Nuernberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II atau tribunal Den Haag untuk pidana kejahatan kemanusiaan dan perang dalam konteks genosida.
Modus tak kalah strategis, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi seperti di Afrika Selatan dan Amerika Latin. Sasarannya, mengidentifikasi pelaku dan korban secara benar dan definitif. Acap disusul konsekuensi hukum, tapi terpenting rekonsiliasi nasional berlanggam meminta maaf dan dimaafkan. Permintaan maaf keluar dari pengakuan adanya kesalahan dan rasa tanggung jawab.
Permintaan maaf keluar dari pengakuan adanya kesalahan dan rasa tanggung jawab.
Tata kramanya, akan lebih adekuat jika ditanggapi positif atau pengampunan oleh korban atau perwakilan. Namun, pengampunan bukanlah prasyarat untuk permintaan maaf dan permintaan maaf juga dilakukan dengan risiko tak dimaafkan.
Luka masa lalu memang tak pernah disembuhkan oleh permintaan maaf, tapi penyampaian maaf menggariskan bahwa masa lalu tak dinegasi. Sikap jujur pada masa lalu, khususnya sisi borok, sangat bernas untuk mengubah masa kini dan bersama merancang masa depan.
Dalam skala kesalahan historis nasional Indonesia masih ada selaksa utang dan pekerjaan rumah. Pengelolaan masa lalu secara berani dan tanpa rasa malu merupakan tanda kematangan dan kebanggaan otentik suatu bangsa. Dengan nada provokatif penulis AS, William Faulkner, menandaskan, ”The past is never dead. It’s not even past” (masa lalu tidak pernah mati. Ia bahkan belum berlalu).
Fidelis Regi WatonPengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman