Resolusi Konflik Berperikemanusiaan
Agar pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang terhindar dari pelanggaran HAM, baik di Wadas maupun tempat lain, pemerintah harus mengembangkan kebijakan berbasis resolusi konflik berperi-kemanusiaan.
Negara perlu sebuah resolusi konflik berperikemanusiaan untuk mengakhiri konflik sumber daya alam. Menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan asas-asas negara hukum. Tanpa itu, yang terjadi adalah pemaksaan kebijakan yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Resolusi konflik berperikemanusiaan artinya upaya penyelesaian terbaik dalam mengakhiri sengketa para pihak, berdasarkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Sengketa di sini adalah konflik vertikal antara negara--pemerintah pusat dan daerah yang hendak menambang kekayaan alam sebuah wilayah—melawan warga setempat yang menolaknya.
Dari beragam literatur hak asasi manusia, ada berbagai situasi di mana warga lokal, minoritas, masyarakat adat, dan pemegang hak lainnya terdampak oleh keputusan/kebijakan pemerintah.
Baca juga: Memori Kelam Orde Baru Saat Aparat Eksesif di Desa Wadas
Hak prosedural dan substansial
Dalam konteks kebijakan, ada dua pelanggaran HAM yang dapat terjadi, tetapi dapat dicegah. Pertama, pelanggaran prosedural. Ini tentang kepatuhan atau ketidakpatuhan negara pada tiga kewajiban, yaitu menginformasikan, berkonsultasi, dan meminta persetujuan warga terdampak. Kedua, pelanggaran substansial terhadap hak-hak masyarakat, baik atas lingkungan hidup yang sehat, kesehatan, pangan, atau hak-hak lainnya.
Untuk mencegah pelanggaran prosedural, pemerintah memiliki tiga kewajiban. Pertama, duty to inform, yaitu kewajiban memberitahukan kepada warga tentang keputusan yang diambil dan dampaknya kepada mereka. Di sini, tidak harus ada proses khusus untuk meminta persetujuan masyarakat.
Kedua, duty to consult, yaitu mengundang warga untuk dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, dan menjelaskan segala upaya mengatasi semua dampak kebijakan, misalnya dampak penambangan terhadap kehidupan warga.
Ketiga, duty to obtain, yaitu memperoleh Free and Prior Informed Consent (FPIC). FPIC adalah konsep global yang diadopsi oleh sejumlah lembaga pemerintah dan perusahaan berwawasan lingkungan sebagai Persetujuan dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa). Ini adalah hal terpenting yang harus diraih pemerintah (atau korporasi) dari warga terdampak.
Pelanggaran hak prosedural
Berdasarkan ketiga hal itu, kita bisa menganalisis konflik pemerintah pusat dan daerah Jawa Tengah dengan warga Desa Wadas yang menolak tambang untuk pembangunan Bendungan di Bener, Purworejo.
Pertama, sejauh mana negara sudah menginformasikan kebijakannya? Sudahkah dijelaskan bahwa tambang itu dibutuhkan untuk melaksanakan Perpres No 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, khususnya proyek Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Perpres di atas menjadi dasar dua kementerian meminta pengerahan aparat: Surat Kementerian PUPR (No UM 0401.AG.3.4./45) tertanggal 3 Februari 2022 tentang Permohonan Pengamanan Pelaksanaan Pengukuran di Desa Wadas Kabupaten Purworejo; dan Surat Kementerian ATR/BPN (No AT.02.02/344-33.06/II/2022) tertanggal 4 Februari 2022 perihal Permohonan Personel Pengamanan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo.
Seorang staf Kantor Presiden menyangkal keterkaitan apa pun antara tambang Wadas dengan kebijakan Presiden. Sebuah sikap kurang cermat.
Perpres di atas dan dua surat tersebut jelas mengikat pemerintah pusat untuk bertanggungjawab atas dampak yang terjadi. Meski terlambat, Menkopolhukam menjelaskan hal ini secara terbuka. Tetapi seorang staf Kantor Presiden menyangkal keterkaitan apa pun antara tambang Wadas dengan kebijakan Presiden. Sebuah sikap kurang cermat.
Kedua, apakah pemerintah telah mengundang warga untuk berkonsultasi? Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengklaim telah mengundang warga. Namun faktanya masih banyak warga menolak hadir karena menilai tambang merusak keasrian alam, perbukitan tanaman sumber kehidupan mereka, dan ketentraman masyarakat desa.
Ketiga, apakah pemerintah telah memperoleh Persetujuan dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa)? Pemerintah mengklaim warga telah setuju dengan penambangan di Wadas demi membangun Bendungan Bener, tetapi sebenarnya baru sebagian warga.
Baca juga: Menimbang Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Bendungan Bener di Purworejo
Selama belum memperoleh FPIC/Padiatapa, pemerintah tetap wajib menjamin hak warga untuk menyatakan keberatan melalui poster, spanduk, atau alat komunikasi lain. Mengalihkan isu konflik vertikal seolah konflik horisontal sesama warga hanya mengecilkan peluang pemerintah mendapat dukungan warga.
Jadi, selama belum memenuhi tiga hal tersebut, pemerintah dilarang memaksakan pelaksanaan kebijakan melalui pengerahan aparat berjumlah besar dan koersif, karena ada risiko kerugian signifikan bagi hak-hak substansial warga, termasuk hak berkumpul, menyatakan tidak setuju, tidak ditangkap sewenang-wenang, dan hak lainnya.
Pelanggaran hak substansial
Untuk mencegah pelanggaran hak substansial, negara wajib menggunakan pemolisian yang demokratis. Dalam penggunaan kekuatan polisi juga dikenal syarat prosedural dan substansial. Peraturan Kapolri No 1/2009 mewajibkan penggunaan kekuatan aparat memenuhi syarat prosedural: aparat wajib memakai seragam, rompi atau jaket yang bertuliskan Polisi; kendaraan dengan tanda Polri; lencana kewenangan Polisi; dan pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “Polisi“ ketika menindak warga.
Berbagai peraturan Kapolri juga mewajibkan penghormatan hak-hak substansial saat aparat menjalankan tugas-tugas pemolisian. Salah satunya adalah Perkapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan ini melarang penyiksaan dan perlakuan buruk lain yang kejam dan merendahkan martabat.
Sayangnya, yang terjadi di Wadas baru-baru ini adalah sebagian aparat justru mengabaikan aturan prosedural dan substansial: tidak semua memakai seragam dan menunjukkan lencana terutama saat menangkap, bahkan ada yang memukul, menjemput paksa puluhan warga, dan mengerahkan anjing pelacak layaknya mencari kriminal. Banyak pihak menyayangkan.
Sayangnya, yang terjadi di Wadas baru-baru ini adalah sebagian aparat justru mengabaikan aturan prosedural dan substansial.
Resolusi ke depan
Sekarang mari kita fokus pada penyelesaian. Agar pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang terhindar dari pelanggaran HAM, baik di Wadas maupun tempat lain seperti yang baru terjadi di Parigi Mautong, Sulawesi Tengah, maka pemerintah harus mengembangkan kebijakan berbasis resolusi konflik berperi-kemanusiaan.
Pertama, kebijakan pembangunan harus memenuhi tiga prosedur partisipasi masyarakat: menginformasikan kebijakan dan dampaknya, mengajak partisipasi efektif dan konsultasi warga, dan meminta persetujuan tanpa paksaan. Perbaiki saja tiga syarat prosedural tersebut.
Kedua, pembangunan harus berorientasi pada pemenuhan hak-hak substansial warga: hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan yang mengabaikan hak-hak ini bukanlah cermin negara hukum berdasarkan penghormatan pada sila Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Foto Cerita: Perdebatan di Tembok-tembok Desa Wadas
Ketiga, pengamanan kebijakan harus ditempuh melalui pemolisian demokratis. Ini tak berarti pemerintah dilarang menurunkan aparat keamanan ke lapangan. Tetapi, pemerintah tidak boleh melupakan tugas utama aparat, yaitu melayani dan melindungi masyarakat.
Tugas itu termasuk memelihara keamanan dan ketertiban umum serta menegakkan hukum. “Umum” artinya semua pihak, pemerintah dan masyarakat. “Hukum” artinya undang-undang, bukan sekadar peraturan presiden, surat menteri atau aturan lebih rendah. Sebab polisi adalah alat negara, bukan alat penguasa.
Di atas semua itu, pemimpin negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, perlu mengambil tanggungjawab dengan bersikap terbuka dan tidak menyangkal. Soal dugaan penyimpangan hak-hak substansial, laksanakan saja investigasi yang independen sesuai hukum dan standar baku pemolisian. Yang salah dihukum, yang benar diberi apresiasi.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia