Konstitusionalisme Ruang Hidup
Pelaksanaan Proyek Strategi Nasional hendaknya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan salah satu elemen nilai yang harus ditegakkan adalah ruang hidup. Ruang hidup melampaui soal tanah dan obyek agraria.
“Desa Wadas mau diapakan Negara kok seperti ini?
Masyarakat Wadas hidup di negeri sendiri, kok dijajah Negara sendiri?
… Desa Wadas juga bagian Negara Indonesia, (kami) manusia juga. Minta tolong”
(Marsono, warga Wadas)
Pecah tangis warga Wadas tak terhindarkan. Pernyataan Marsono di atas, disampaikan dengan muka tertunduk, persis di hadapan Tim Kantor Staf Kepresidenan yang datang ke lapangan (13/2/2022). Betapa tidak? Peristiwa kekerasan yang terjadi oleh aparat kepolisian dan preman terjadi sebagai respon penolakan warga atas penambangan batu andesit di Wadas, Kabupaten Purworejo. Pihak pemerintah, berbekal aturan hukum, izin, dan pula putusan peradilan merasa berwenang untuk menambang, sekalipun ditentang warga sedari awal.
Sebagaimana diketahui, penambangan andesit terkait di Wadas dengan bahan baku rencana pembangunan Bendung Bener, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Baik pembangunan bendungan maupun penambangan andesit dibuat analisis dampak lingkungan (Amdal)-nya menjadi satu, tak terpisah. Dalih untuk kepentingan umum, menjadi tidak disyaratkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan di Wadas. Terlebih, Amdal itu sendiri pula tak libatkan partisipasi warga Wadas.
Baca juga: Harmoni di Wadas Buyar Saat Semua Merasa Paling Benar
Terlepas dari soal formalitas aturan dan mekanisme yang memang mengandung cacat prosedur hukum, hal yang lebih mendasar nan substantif adalah kegigihan penolakan warga terkait tambang yang diyakini mengancam ruang hidup mereka. Bagi mereka, ganti rugi jelaslah bukanlah opsi. Mereka meyakini, opsi ganti rugi ‘seuntung apapun’ tak menggantikan ruang hidup dan kehidupan mereka.
Dari sisi hukum, bagaimana sesungguhnya ekspresi penolakan mereka dikaitkan dengan hak dasar warga negara terkait ‘ruang hidup’? Bukankah, konstitusi menjamin, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Pasal 28A UUDNRI 1945)?
Ruang hidup
Jamak terjadi, proyek pembangunan dalam skala besar kerap mengorbankan warga. Penggusuran, penyingkiran, dan bahkan tak jarang berujung pada pemenjaraan, kekerasan, dan pula terbunuhnya warga akibat konflik-konflik pembangunan yang mengiringinya.
Tentu bukan hal baru, dan tak mengejutkan. Masalahnya, mengapa pembangunan berulang mengorbankan rakyat kecil di negara yang konstitusinya mendaku negara hukum? Makna “hukum” dalam negara hukum, seakan mengalami defisit kemanusiaan. Hukum merosot menjadi makna sebatas aturan formal, izin administratif, dan mekanisme prosedural. Pembentuk hingga penegak hukum tak lagi melihat elemen dasar kemanusiaan, yang berhak hidup dan kehidupannya dilindungi.
Hak atas ruang hidup dikonversi ‘ganti rugi’ tanah, tanaman, jelas tak akan mampu menyediakan konversi seimbang hak atas ruang hidup.
Konflik struktural, negara-warga kerap berujung kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kasus pembangunan Bendungan Kedungombo, Jatigede, atau Nipah Sampang, adalah sederet situasi yang sama. Hak atas ruang hidup dikonversi ‘ganti rugi’ tanah, tanaman, jelas tak akan mampu menyediakan konversi seimbang hak atas ruang hidup. Jarang, atau bahkan nyaris tak ada kebijakan relokasi dari pemerintah yang memikirkan penyediaan jaminan hak atas ruang hidup.
Ruang hidup, bukan sebatas tanah, yang kerap dianggap selesai dengan skema ganti rugi. Ruang hidup bukan pula sebatas ‘barang dagangan’ obyek agraria, seperti ganti tanaman, tanah subur-kering, produktif-tak produktif, bersertipikat atau tak ada dokumen legalnya.
Ruang hidup itu melampaui soal tanah dan obyek agraria. Batuan andesit yang hendak ditambang, merupakan bagian dari eko-spiritualitas warga Wadas. Ada ritual dan ritus keagamaan terkait. Ruang hidup menjelaskan relasi sejarah sosial budaya masyarakat Wadas dan lingkungannya, baik nilai-nilai kearifan yang tumbuh di tengah masyarakatnya, pengetahuan, serta basis religiusitasnya.
Baca juga: Kritik Menyelamatkan Pembangunan
Kehidupan pertaniannya, bukan dimaknai sebatas punya tanah yang bisa digunakan bercocok tanam, melainkan keterhubungan manusia dengan nilai-nilai kearifan sosial, yang karakternya tak tertulis, tersimpan dalam memori kolektif warga yang pembelajarannya turun temurun, generasi ke generasi. Itu sebab, tambang di kampung mereka merupakan simbol ketidakadilan lintas generasi.
Dalam politik hukum pengadaan tanah, ruang hidup jarang atau tak pernah difikirkan sebagai dasar pertimbangan hukum dan hak dasar dalam penyusunan kebijakan, Andal/analisis dampak lingkungan, maupun keputusan administratif. Terlebih, tanpa memperhatikan secara serius dampak dari kegiatan pertambangan, justru berpotensi terhadap perampasan ruang hidup. Tak terkecuali, dampaknya bagi perempuan dan anak-anak, karena kehilangan relasi sosial yang membentuk kehidupan sekaligus ruang bermain bagi tumbuh kembangnya anak-anak.
Hak konstitutional
Kini seharusnya, kembali mempertimbangkan hak atas ruang hidup merupakan hak konstitusional. Sebagai hak konstitusional, maka legitimasi hukumnya memandatkan penyelenggara pemerintahan untuk tunduk pada sistem konstitusional. Maknanya adalah, terkandung kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUDNRI 1945.
Upaya kekuasaan, perampasan ruang hidup maupun dampak ikutannya terkait kekerasan, haruslah dihentikan. Negara harus hadir dengan kebijakan yang lebih menegaskan pemartabatan manusia dalam berhukum.
Negara harus hadir dengan kebijakan yang lebih menegaskan pemartabatan manusia dalam berhukum.
Konstitusionalisme hak atas ruang hidup dimungkinkan jaminannya dengan dignitas. Pertama, kebijakan perlindungan hak atas ruang hidup mencakup meminimalkan dampak nyata terhadap hidup dan penghidupan warga. Ini memerlukan negara untuk mencegah perampasan atau hilangnya hak tersebut.
Kedua, ruang hidup berkaitan dengan hubungan sosial dan alamnya. Maka pemaknaan penyelesaian kasus atau konflik agraria, tak sekadar selesai seiring dengan opsi-opsi formal seperti ganti rugi. Menurut William J Chambliss dan Robert B Seidman, dalam bukunya Law, Order, and Power (1971), mengingatkan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak hanya dimonopoli oleh aturan hukum dan pelaksana hukum saja, tetapi juga sosial dan budaya masyarakat. Hal sama dimaknakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto (2002) sebagai social significance of law, hukum (pula kebijakan) harus diupayakan mendapati kebermaknaan di tengah masyarakatnya.
Baca juga: Konflik Agraria Tak Kunjung Usai
Ketiga, kebijakan terkait ruang hidup sungguh diperlukan dialog. Landasan dialog adalah keadaban, partisipasi, dan keadilan sosial, yang bermakna menghadirkan warga sebagai manusia. Dialog jelas tidak tepat ditempatkan sebagai instrumental formalisme hukum syarat untuk sekadar memaksakan proyek pembangunan semata.
Ratusan PSN yang dijadikan kebijakan pemerintah hari ini, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang kini terbilang defisit dalam penegakan hukum. Ruang hidup adalah salah satu elemen nilai-nilai yang harus ditegakkan. Tanpa itu, kita tak bisa membayangkan potret kecil Wadas akan mengulang kekeliruan negara dalam berhukum, gagal mewujudkan fungsinya sekaligus hilang maknanya di tengah warga bangsanya.
Herlambang P Wiratraman, Wakil Ketua Sains dan Masyarakat Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Dosen Fakultas Hukum UGM