Harmoni di Wadas Buyar Saat Semua Merasa Paling Benar
Perbedaan pendapat tentang rencana penambangan menimbulkan perpecahan warga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jateng. Hal itu berujung panjang dan merusak kehangatan harmoni pun silaturahmi.
Pro dan kontra terhadap suatu rencana adalah hal yang biasa terjadi. Namun, di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, perbedaan itu pendapat berujung konflik yang merusak kehangatan ikatan silaturahmi antartetangga dan keluarga. Atas nama pembangunan, setiap warga merasa menjadi yang paling benar.
Memasuki Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, tulisan seperti ”Wadas Lestari Tanpa Eksploitasi”, ”Wadas Melawan”, dan ”Bukan Generasi Penjual Tanah Orang Tua”, menjadi penyambut alih-alih salam hangat warga kampung. Tulisan itu terpampang di tembok rumah, dinding jembatan, dan pos ronda di antara pepohonan durian dan petai yang sebagian mulai berbuah rindang. Suasana perdesaan yang biasanya adem dan harmonis seolah terasa lebih ”panas”.
Suasana panas ini berawal dari rencana penambangan batu andesit di desa yang berjarak sekitar 16 kilometer sebelah timur laut pusat kota Purworejo tersebut. Batuan tersebut rencananya akan menyuplai material bagi pembangunan Bendungan Bener. Adapun Bendungan Bener adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan dibangun dengan dana APBN sebesar Rp 2,060 triliun.
Cholifah (45), salah seorang warga Desa Wadas, mengatakan, rencana pembangunan lokasi penambangan dan pembangunan Bendungan Bener sudah mulai disosialisasikan kepada warga sejak tiga tahun silam. Tidak hanya memicu perbedaan pendapat, rencana pembangunan tersebut hingga kini berdampak pada hubungan kekerabatan dan silaturahmi antarwarga.
Tinggal berdekatan dengan sejumlah kerabat yang menentang pembangunan, Cholifah, yang setuju menjual tanahnya, langsung merasakan dampak tersebut. Dia mulai dijauhi dan puncaknya terjadi ketika salah satu kerabatnya menggelar pernikahan bagi putrinya. ”Karena tidak ingin (pesta) berdekatan dengan rumah saya, lokasi pernikahan pun akhirnya dipindahkan di rumah anaknya yang lain itu yang sebenarnya lebih jauh,” ujarnya.
Pada umumnya tradisi yang dilakukan di desa-desa, pelaksanaan pesta pernikahan biasanya melibatkan hampir semua anggota keluarga dan tetangga. Cholifah mengaku sebenarnya juga ingin membantu. Namun, menyadari kondisi perpecahan tersebut, dia pun mengurungkan niat. ”Kalau saya datang membantu, maka anggota keluarga yang lain pasti bubar dan tidak mau terlibat di dalamnya,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Cholifah, sempat membuat gelisah seorang kerabatnya yang lain yang masih bersikap baik padanya. Kerabat tersebut bahkan sedih dan sempat menangis karena acara hajatan pernikahan ternyata tidak cukup mampu memupus perselisihan dan kebencian antaranggota keluarga akibat kehadiran sebuah proyek.
”Dia sangat sedih karena acara pernikahan semestinya menjadi acara gembira yang menjadi kesempatan bagi keluarga kami untuk berkumpul,” ujarnya.
Perbedaan pendapat tentang rencana pembangunan lokasi penambangan juga membuat hidup Ahmad Supri (43) tidak mudah. Tinggal dalam lingkup satu RT di mana 47 keluarga di antaranya menolak rencana pembangunan penambangan, Ahmad bersama empat keluarga lainnya yang mendukung penambangan harus membiasakan diri dijauhi tetangga lainnya.
Puncak sikap permusuhan tersebut langsung terlihat ketika ada acara pengajian digelar di rumah Ahmad. Kala itu, pengajian hanya dihadiri lima warga saja. ”Dari lima warga tersebut, tiga orang di antaranya keluarga saya yang mendukung pembangunan dan dua orang lainnya adalah pihak yang netral karena tidak memiliki tanah yang akan dipakai sebagai lokasi penambangan,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dialami Siti Rodiyah (48), warga pro-penambangan yang lain. Dia pernah terjebak pada situasi di mana banyak warga yang menolak penambangan, beramai-ramai turun ke jalan desa dan bentrok dengan aparat keamanan, April 2021. Ketika itu, warga yang menolak penambangan berusaha menutup jalan desa dan menghalau sejumlah petugas ataupun aparat keamanan yang saat itu berencana memasang patok pada bidang tanah yang akan diukur. Adapun areal lahan yang akan menjadi lokasi penambangan berada di wilayah perbukitan, yang sebagian besar terpisah dari permukiman.
Dikenali oleh sebagian orang sebagai warga yang pro-penambangan, Rodiyah saat itu takut setengah mati saat melihat banyak orang mendekatinya dengan senjata tajam dan melemparinya dengan batu. Di tengah kekacauan tersebut, dia sebenarnya sempat melihat beberapa anggota keluarganya menjadi bagian dari massa yang bentrok tadi. Namun, karena merasa tidak mendapatkan sinyal pertolongan dari mereka, dia akhirnya berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan berlari sekuat tenaga menghindari kerumunan. ”Karena panik, saya justru terpeleset dan jatuh terguling-guling dari perbukitan,” ujarnya.
Awalnya damai
Di tahap awal sosialiasi rencana penambangan, Rodiyah mengatakan, situasi desa sebenarnya baik-baik saja. Namun, perlahan, dia merasa situasi mulai memanas karena ada pihak luar desa yang mencoba memprovokasi. ”Saya pernah didatangi seseorang dari suatu lembaga yang menerangkan bahwa penambangan tersebut nantinya akan merusak lingkungan dan mengancam ketersediaan air. Namun, saya mengabaikan penjelasan itu,” ujarnya.
Baca juga: Warga Wadas yang Ditangkap Dijamin Bebas Hari Ini
Rodiyah tetap bersikukuh akan menjual tanah seluas 1.982 meter persegi miliknya. Karena tahu bahwa pembangunan penambangan dan bendungan adalah proyek pemerintah, dia pun yakin akan mendapatkan ganti rugi yang sepadan. ”Dari ganti rugi tersebut, saya berencana kembali membeli tanah dan menyisihkan sebagian untuk modal usaha dua anak saya,” tuturnya.
Adapun lahan miliknya yang akan dijual tersebut kini ditanami beragam tanaman, antara lain kelapa, bambu, dan petai. Hasil tanah tersebut bukan sumber penghasilan utamanya. Sehari-hari, Rodiyah menjalankan usaha dagang bahan pangan di mana banyak barang-barangnya dibeli dari petani lain.
Ingin mewariskan
Sih (bukan nama sebenarnya), warga lainnya yang menolak pembangunan penambangan, mengatakan, dia akan tetap bersikukuh mempertahankan tanah miliknya. ”Saya akan tetap mempertahankannya karena tanah ini adalah warisan keluarga,” ujarnya.
Sebelum meninggal, kedua orangtuanya sudah membagi-bagikan bidang tanah warisan kepada anak-anaknya. Ketika itu, mereka pun juga berpesan agar tanah tersebut dijaga dan dikelola sebaik-baiknya. Seturut pesan tersebut, Sih dan saudara-saudaranya ingin menjaga dan mewariskan tanah itu untuk keturunan mereka di masa mendatang.
Ketika itu, orangtua saya berpesan agar tanah tersebut dijaga dan dikelola sebaik-baiknya. Seturut pesan tersebut, saya dan saudara-saudara ingin menjaga dan mewariskan tanah itu untuk keturunan mereka di masa mendatang. (Sih)
Mengaku tidak pernah terlibat dalam demonstrasi apa pun, Sih mengaku dirinya memang ikut dalam shalat mujahadah di masjid yang digelar kelompok warga kontra tambang, Selasa (8/2/2022). Ketika itulah, dia sangat terkejut karena aparat sangat represif dan menangkap banyak orang dalam masjid. ”Kakak, adik, bahkan keponakan saya yang sebenarnya cuma duduk-duduk dan bermain-main di masjid ikut diciduk,” ujar Sih yang enggan disebutkan nama aslinya.
Saat ditemui, Rabu siang sekitar pukul 13.00, dia mengaku anggota keluarganya yang diamankan polisi belum pulang ke rumah. Situasi tersebut membuat sebagian warga trauma. Salah seorang kerabat Sih lainnya, yang juga enggan disebut namanya, mengaku dirinya saat ini masih takut pulang ke rumah.
”Ketika sendirian di rumah, saya khawatir tiba-tiba didatangi dan ikut diamankan polisi,” ujarnya, Dia sangat khawatir karena hingga Rabu siang, banyak polisi masih bersiaga di sepanjang jalan di Desa Wadas. Masjid yang sebelumnya menjadi lokasi penangkapan warga juga masih dijaga ketat oleh polisi yang membawa tameng antihuru-hara.
Baca juga: Tindakan Represif Polisi pada Warga Wadas Menuai Kecaman
Meski demikian, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi mengatakan, informasi di sejumlah akun media sosial yang menyebutkan bahwa polisi berlaku represif pada Selasa (8/2/2022) sama sekali tidak benar. Saat di masjid, personel polisi menyebar untuk melindungi warga pro-penambangan yang berlari menyelamatkan diri dari amuk kelompok kontra. Dia mengatakan, pihaknya memang mengamankan 64 warga. Namun, semuanya sebatas dimintai keterangan dan pada Rabu (9/2/2022) sore sudah dilepaskan.
Menurut Ahmad, pihaknya mengerahkan 250 polisi untuk membantu mengamankan kegiatan pengukuran tanah, sesuai permintaan dari Badan Pertanahan Negara (BPN). Pada Selasa itu, BPN memang berencana mengukur tanah warga yang sudah bersedia untuk menjual tanahnya untuk pertambangan pasir dan batu (quarry) untuk pembangunan Bendungan Bener.
Camat Bener Agus Widiyanto mengatakan, pengukuran tanah juga melibatkan petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo yang bertugas melakukan identifikasi tanaman yang tumbuh di atas lahan. ”Identifikasi tanaman dilakukan sebagai bagian dari perhitungan ganti rugi lahan yang nantinya akan diterima warga,” ujarnya.
Masalah pembebasan tanah ini, menurut Agus, diakuinya menimbulkan perpecahan di kalangan warga. Sebagian warga yang pro-pembangunan ingin agar pengukuran pembayaran ganti rugi dipercepat, sedangkan warga yang kontra beralasan pembangunan kawasan penambangan akan merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan warga.
Pembangunan kawasan penambangan akan dilakukan pada 617 bidang tanah. Adapun pemilik dari 353 bidang tanah setuju terhadap pembangunan, sedangkan 264 bidang tanah sisanya adalah milik warga yang menentang pembangunan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang meminta maaf kepada warga Desa Bener terkait kericuhan yang terjadi Selasa kemarin, mengatakan, kendati menghadapi berbagai kendala terkait penolakan warga, rencana pembangunan areal penambangan akan tetap diteruskan. ”Kami akan terus mencoba berkomunikasi dengan warga yang hingga saat ini masih menolak,” ujarnya.
Sementara itu, komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, mengatakan, pihaknya sangat menyesalkan tindakan polisi yang represif dengan melakukan penangkapan warga.
Terkait masalah ini, dia meminta kegiatan pengukuran tanah ditunda dulu hingga situasi kondusif. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah beserta pihak terkait juga diharapkan segera menyiapkan solusi alternatif untuk menyikapi aksi penolakan ini. ”Kami juga meminta semua pihak menahan diri, menciptakan suasana yang kondusif untuk membangun dialog satu sama lain, berbasis prinsip hak asasi manusia,” ujarnya.
Berbeda itu boleh saja, terlebih di alam demokrasi. Namun, sering kali hal itu dilupakan demi pembenaran tujuan sendiri sehingga akhirnya muncul dampak berkepanjangan. Desa Wadas telah menjadi korbannya.