Tindakan Represif Polisi pada Warga Wadas Menuai Kecaman
Komisi III DPR, Komnas HAM, dan sejumlah kelompok masyarakat sipil mengecam tindakan represif polisi terhadap warga Wadas di Purworejo. Polisi diminta kedepankan langkah dialog dan persuasif.
JAKARTA, KOMPAS — Terkait dengan peristiwa yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sejumlah anggota Komisi III DPR menyerukan penghentian pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional. Kepolisian pun diminta untuk menjaga keamanan warga, dan mengedepankan dialog dan langkah persuasif.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, dirinya menyayangkan terjadinya peristiwa di Desa Wadas saat dilakukan pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional pada Selasa (8/2/2022).
”Pendekatan represif dalam melakukan pengamanan terkait pelaksanaan pengukuran tersebut tidak sejalan dengan program Presisi dari Kapolri. Semestinya Polri menjaga agar warga merasa aman dan tidak diliputi rasa takut akibat tekanan yang terjadi. Karena itu, dialog dan langkah persusif yang harusnya dikedepankan,” kata Taufik dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/2/2022), di Jakarta.
Taufik mengingatkan, setiap upaya paksa yang dilakukan kepolisian seperti penangkapan, penyitaan, penahanan harus sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, kepolisian juga harus memberikan akses bantuan hukum bagi warga. Bantuan hukum merupakan hak asasi manusia dan tindakan menghalangi hak warga mendapatkan bantuan hukum merupakan pelanggaran hukum.
”Kami meminta kepolisian melakukan dialog dengan para tokoh masyarakat untuk memulihkan keadaan,” katanya.
Baca Juga: 23 Warga Wadas Ditangkap Saat Pengukuran Bakal Lahan Tambang
Untuk penanganan kasus tersebut, Taufik juga meminta Komnas HAM untuk turun ke tempat kejadian di Desa Wadas untuk mengumpulkan informasi dan meminta agar Mabes Polri membantu memfasilitasi dan mendukung kerja Komnas HAM di Desa Wadas.
”Komnas HAM bersama Mabes Polri perlu menjelaskan kepada publik hasil temuannya mengingat terdapat beberapa versi informasi yang beredar di publik sehingga publik mendapatkan informasi yang valid, lengkap, dan komprehensif,” kata Taufik.
Sementara itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, sejumlah informasi yang dikumpulkan menunjukkan ratusan aparat kepolisian sudah melakukan apel dan mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto, belakang Polsek Bener yang bertepatan dengan pintu masuk Desa Wadas, sejak Senin. Kondisi ini berbarengan pula dengan matinya lampu di Desa Wadas sedangkan desa lain tidak.
Pada Selasa, pasangan suami-istri dari Desa Wadas yang kebetulan akan ke Kota Purworejo melewati depan Polsek Bener dan mendapati bahwa kondisi jalan sudah dipenuhi dengan mobil polisi. Saat sedang sarapan di sekitaran lokasi tersebut, mereka didatangi polisi dan dibawa ke Polsek Bener. ”Istrinya kemudian melarikan diri dan sampai ke Desa Wadas, sedangkan suaminya hingga saat ini masih belum diketahui keberadaanya,” kata Isnur.
Sinyal telepon di Desa Wadas juga tiba-tiba hilang, berbarengan dengan apelnya ratusan polisi pada pukul 08.00 di Lapangan Kaliboto, Selasa. Polisi membawa alat lengkap (tameng, senjata, anjing polisi). Pada pukul 09.00, petugas dari Badan Pertanahan masuk ke Desa Wadas untuk melakukan pengukuran. Mereka dikawal oleh ribuan polisi yang masuk pada sekitar pukul 10.00. Polisi juga merobek seluruh banner dan poster perlawanan warga. Semua akses jalan ke Desa Wadas dipenuhi polisi dan warga terkepung.
”Kami mengecam keras polisi yang masuk kampung dan mengintimidasi warga Desa Wadas, serta mengecam penangkapan sewenang-wenang warga Wadas yang dilakukan kepolisian,” katanya.
Pengukuran tanah di Desa Wadas itu dilakukan untuk area penambangan pasir dan batu (quarry), yang dibutuhkan untuk pembangunan Bendungan Bener.
Secara terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga di Wadas.
”Komnas HAM menyesalkan adanya penangkapan terhadap sejumlah warga yang ditahan di Polres Purworejo,” kata komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, melalui keterangan tertulis, Rabu (9/2/2022).
Beka meminta Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS SO) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menunda pengukuran lahan milik warga Desa Wadas yang sudah setuju untuk pengukuran.
Polda Jawa Tengah juga diminta menarik aparat yang bertugas di Desa Wadas dan melakukan evaluasi total pendekatan yang dilakukan serta memberi sanksi kepada petugas yang terbukti melakukan kekerasan kepada warga. Beka meminta Polres Purworejo segera melepaskan warga yang ditahan di Kantor Polres Purworejo.
Beka juga meminta Gubernur Jawa Tengah, BBWS Serayu Opak, dan pihak terkait menyiapkan alternatif solusi terkait permasalahan penambangan batu andesit di Desa Wadas untuk disampaikan dalam dialog yang akan difasilitasi oleh Komnas HAM RI.
”Meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, menghormati hak orang lain, dan menciptakan suasana yang kondusif bagi terbangunnya dialog berbasis prinsip hak asasi manusia,” tegas Beka.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, pengerahan aparat keamanan secara besar-besaran dan bersenjata lengkap ke Desa Wadas merupakan bentuk intimidasi terhadap warga Wadas yang menolak tambang di sana. Menurut Wirya, warga Wadas memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan dan tanpa paksaan terhadap rencana penambangan di wilayah mereka.
”Mereka juga berhak untuk mengekspresikannya secara damai. Bagaimana mungkin persetujuan diberikan tanpa paksaan jika ratusan anggota TNI, Polri, dan Satpol PP datangi warga? Apalagi jika polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga yang menolak tambang,” ujar Wirya.
Menurut informasi yang diterima Amnesty, ada setidaknya 25 warga Wadas yang ditangkap oleh aparat keamanan dan dibawa ke Polsek Bener. Amnesty juga mendapatkan informasi bahwa polisi tidak mengizinkan pendamping warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk masuk ke Desa Wadas.
Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang 2021 ada setidaknya 44 orang pembela hak masyarakat adat dan aktivis lingkungan di Indonesia yang menjadi korban serangan, baik berupa penangkapan, kekerasan fisik, hingga intimidasi.
Wirya mengatakan, pemerintah dan aparat di Indonesia harus paham bahwa kebanyakan masyarakat di perdesaan akan kesulitan untuk memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal tanpa akses atas tanah. Bahkan, hak untuk budaya di atas tanah leluhur mereka.
”Pemerintah harus memenuhi hak-hak warga lokal dalam pembangunan dengan melibatkan mereka secara signifikan dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan,” kata Wirya.
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid mengingatkan, apa yang dilakukan oleh warga adalah hak yang sah. Penolakan itu adalah bagian dari perjuangan mereka membela hak atas lingkungan hidup yang sehat di Desa Wadas. Pengerahan personel yang masif dan penggunaan kekuatan yang eksesif adalah cermin pemolisian yang tidak demokratis. Itu juga mencederai demokrasi dan keadilan sosio-ekologis,
Usman menambahkan, praktik kekerasan seperti kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan yang dianggap vokal dapat memperburuk situasi demokrasi yang sudah mengalami kemunduran di Indonesia. ”Salah satu ciri-ciri kemunduran demokrasi di Indonesia adalah perluasan kekuasaan dan kekuatan alat-alat negara untuk menekan dan membatasi kritik,” kata Usman.
Menurut Koordinator Badan Pekerja Kontras Fatia Maulidiyanti, banyaknya aparat yang turun dan menyisir Desa Wadas sebagai langkah intimidatif dan eksesif kepolisian dalam menyikapi penolakan warga terhadap keberadaan pertambangan. Penangkapan terhadap sejumlah warga tanpa alasan yang jelas menunjukkan watak aparat yang represif dan sewenang-wenang, terlebih jika berkaitan dengan kepentingan pembangunan atau investasi.
”Upaya yang dilakukan pihak kepolisian jelas-jelas menunjukkan adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan. Langkah penyerbuan, penangkapan sewenang-wenang, teror, dan pengejaran terhadap masyarakat menggambarkan peliknya permasalahan pelanggaran HAM di Desa Wadas. Padahal, konflik agraria semacam ini seharusnya didekati lewat mekanisme hukum dan sipil yang berlaku. Pendekatan keamanan berbasis kekerasan hanya akan menimbulkan rasa traumatik bagi masyarakat,” kata Fatia.
Kepala Polda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi mengatakan, dalam peristiwa itu, pihaknya mengamankan sebanyak 64 orang. Warga yang diamankan tersebut saat ini ada di Polres Purworejo. ”Hari ini akan kita kembalikan kepada masyarakat agar tidak terjadi ketegangan antara masyarakat yang menerima dan yang tidak,” katanya.
Ahmad menegaskan, tidak ada upaya penangkapan dan penahanan. Pihaknya hanya mengamankan masyarakat agar tidak terjadi kericuhan. Sebab, saat pengukuran dilakukan, antara warga yang setuju dan kontra bergesekan. Mereka yang kontra dikejar-kejar oleh masyarakat yang menginginkan tanahnya dilakukan pengukuran.
Baca Juga: Warga Wadas yang Ditangkap Dijamin Bebas Hari Ini
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta maaf kepada seluruh masyarakat di Purworejo, khususnya di Wadas. Atas kejadian tersebut, ia sudah berkomunikasi dengan Kepala Polda Jawa Tengah untuk memantau perkembangan yang ada di Wadas. Ia meminta masyarakat yang diamankan oleh pihak kepolisian agar dilepaskan.
Ganjar mengungkapkan, ia juga sudah berkomunikasi secara intens dengan Komnas HAM. Sebagai institusi yang netral, Komnas HAM hadir untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait dengan proyek Bendungan Bener.
”Masyarakat yang sepakat minta segera diukur. Kita mencoba komunikasi dengan pemda, masyarakat, dan tokoh agama di Wadas untuk kita melakukan pengukuran terhadap mereka yang sudah sepakat. Kita sangat hati-hati,” kata Ganjar.
Ia mengungkapkan, proses pembuatan Bendungan Bener sudah berjalan sejak 2013. Bendungan ini dibuat untuk membantu petani agar bisa mendapatkan akses air yang jauh lebih baik. Khusus di Purworejo, bendungan ini akan menjadi jaringan irigasi yang bermanfaat untuk mengairi lahan sekitar 15.519 hektar. Selain itu, bendungan ini bisa menjadi sumber air bersih, sumber energi listrik, pariwisata, dan sebagainya.
Ganjar sudah datang langsung ke Desa Wadas pada Rabu (9/2). Dari rilis yang diterima Kompas, saat Ganjar tiba di lokasi tidak terlihat ketegangan atau suasana mencekam. Di sejumlah titik, terlihat aparat kepolisian yang mayoritas polisi wanita (polwan) berjaga-jaga dan berbaur dengan masyarakat. Ganjar pun berkomunikasi dengan sejumlah masyarakat yang setuju dengan penambangan batu andesit di wilayahnya.
Ia juga menghormati masyarakat Desa Wadas yang masih menolak bekerja sama dalam proses pengadaan tanah quarry untuk proyek Bendungan Bener. Ganjar menyatakan siap membuka ruang dialog bersama Komnas HAM.