Merawat Kesanggupan Belajar
Aktivitas mengajar belajar di sekolah dan perguruan tinggi akan punya alasan untuk ditekuni kalau memberi kebermaknaan baik bagi siswa/mahasiswa maupun guru/dosen.
Saya memang tidak pintar, tetapi saya mau belajar.
Itulah yang penulis ungkapkan dalam hati ketika penulis mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang dosen karena penulis dianggap tidak mampu menjawab soal ujian lisan dengan benar. Padahal, untuk ujian itu penulis telah belajar mati-matian.
Pasti banyak pelajar dan mahasiswa yang punya pengalaman seperti itu. Ada banyak hal yang membuat seorang pelajar atau mahasiswa tidak mampu menjawab soal ujian dengan memuaskan meskipun mereka telah melakukan persiapan sebaik mungkin, bukan hanya untuk ujian itu, tetapi sejak awal masuk sekolah atau perkuliahan.
Ujian sebagai peristiwa
Barangkali hari ini para guru atau dosen masih akan menemukan kondisi seperti yang penulis alami. Dalam filosofi belajar adalah hidup, mungkin baik bila ujian dihayati sebagai peristiwa. Barangkali berguna untuk murid/mahasiswa, tetapi mungkin baik juga untuk guru/dosen, ketika pada proses ujian dijadikan saat untuk mengapresiasi proses pembelajaran. Yang diapresiasi bukan hanya proses yang dialami murid atau mahasiswa. Proses yang dialami guru/dosen juga harus diapresiasi.
Baca juga : Harapan pada Pendidikan
Aktivitas mengajar belajar di sekolah dan perguruan tinggi akan punya alasan untuk ditekuni kalau memberi kebermaknaan baik bagi siswa/mahasiswa maupun guru/dosen. Salah satu hal yang bisa memberi makna dari aktivitas mengajar belajar adalah mengalami proses. Catatan pentingnya, khususnya dalam dunia pendidikan, ujung suatu proses tidak selalu menghasilkan kondisi seperti yang kita idealkan.
Pada fakta ujung suatu proses mengajar belajar yang tidak memuaskan itu, sebenarnya bisa dihayati sebagai suatu kesempatan berahmat. Itulah kesempatan untuk bukan hanya mengevaluasi diri yang sering berujung menghakimi, melainkan juga untuk mensyukuri proses yang sudah terjadi, dan berujung pada kemampuan menghargai diri dan hidup yang dijalani.
Pada fakta ujung suatu proses mengajar belajar yang tidak memuaskan itu, sebenarnya bisa dihayati sebagai suatu kesempatan berahmat.
Ujung aktivitas mengajar belajar yang tidak menunjukkan hasil ideal tidak selalu berarti tidak ada proses, tidak ada jerih payah, juga tiadanya kreativitas. Kisah-kisah penemuan penting di dunia menunjukkan bahwa tidak semua aktivitas kreatif yang dilakukan dengan setia, tekun, serta berjerih payah selalu membuahkan hasil yang ideal.
Yang menarik dan penting adalah fakta bahwa meskipun berulang kali mengalami ujung proses yang tidak ideal, para penemu itu tetap memiliki kesanggupan untuk terus berproses. Ya, barangkali mereka lebih fokus pada proses ketimbang hasil. Nah, barangkali pada fakta inilah entah guru/dosen atau murid/mahasiswa perlu meniru, yaitu fokus dan mengapresiasi proses. Itulah yang akan melahirkan kesanggupan untuk terus belajar dan melakukan aktivitas mengajar belajar.
Contoh menghargai proses
Ini pengalaman penulis semasa kuliah. Menyadari kelemahan penulis untuk menghafalkan pasal-pasal hukum, maka sejak awal perkuliahan Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik, penulis membuat indeks setiap pasal dengan merumuskan kata-kata kunci di setiap pasal KHK. Saat ujian dalam bentuk lisan, penulis meminta izin kepada dosen penguji untuk menggunakan indeks pasal KHK yang penulis buat. Awalnya dosen penguji keberatan. Penulis berusaha meyakinkan bahwa inilah usaha penulis sejak awal perkuliahan untuk menguasai materi KHK. Agaknya, dari semua mahasiswa yang mengikuti ujian, hanya penulislah yang membuat indeks setiap pasal KHK sebagai sarana untuk memahami materi perkuliahan.
Syukurlah dosen penguji akhirnya mengizinkan penulis menggunakan indeks pasal KHK yang penulis susun untuk menjalani ujian lisan. Buahnya adalah kami bisa membicarakan panjang lebar kasus hukum yang menjadi materi ujian dengan memuaskan dan berdasarkan pasal-pasal KHK tersebut.
Baca juga: Merdeka Belajar dan Kampus Tanpa Imajinasi
Itu salah satu ujian yang memuaskan dan amat bermakna dalam sejarah studi penulis. Entah apa yang menjadi alasan dosen penguji hingga akhirnya memberi izin penulis menggunakan indeks pasal KHK yang penulis susun pada ujian itu. Apakah dosen melihat, menghargai, mengapresiasi jerih payah penulis yang tidak pintar menghafal itu? Dan, apakah pada bentuk usaha si mahasiswa yang tidak pintar menghafal itu juga dosen sudah mempersiapkan nilai untuk penulis? Apakah dosen juga mengalami syukur karena menemukan mahasiswanya yang bertekun dan menghargai jerih payah dosen selama memberi kuliah?
Yang pasti, dari pengalaman studi KHK dan pengalaman ujian itu penulis mendapat wahyu bahwa memang penulis tidak memiliki kemampuan brilian dalam sejumlah hal, tetapi penulis dianugerahi kesanggupan untuk bertekun dan belajar.
Sidharta Susila, Peminat Masalah Pendidikan