Hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan dalam upaya menghilangkan kemiskinan ekstrem di desa adalah sinkronisasi data orang miskin ekstrem tersebut. Konsep ”one village one data” sangat dibutuhkan.
Oleh
RILUS A KINSENG
·5 menit baca
Kemiskinan ekstrem merupakan tingkat kemiskinan yang paling parah. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional yang baru, yakni tingkat pendapatan 1,90 dollar AS per orang per hari (World Bank, 2015). Berdasarkan garis kemiskinan ini, maka penduduk miskin ekstrem adalah penduduk yang mempunyai pendapatan kurang dari 1,90 dollar AS per orang per hari.
Sementara itu, informasi terakhir yang saya miliki pada akhir tahun lalu, pemerintah telah menetapkan indikator garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan, yakni sebesar Rp 345.355 per kapita per bulan (angka ini mungkin belum final). Dengan demikian, penduduk miskin ekstrem adalah mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 345.355 per orang per bulan.
Sesuai dengan pidato pengantar yang dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas Strategi Percepatan Pengentasan Kemiskinan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 4 Maret 2020, pemerintah menargetkan untuk menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada tahun 2024, lebih cepat daripada target SDGs. Ini merupakan sebuah target yang mulia dan ambisius, tetapi sama sekali tidak mudah untuk dicapai. Berikut ini diuraikan sebagian tantangan yang dihadapi dalam upaya melenyapkan kemiskinan ekstrem di desa-desa di Indonesia.
Program penanggulangan kemiskinan ekstrem tentu memerlukan ketersediaan data orang-orang miskin ekstrem tersebut by name by address secara akurat. Dari pengalaman kami berkunjung ke desa pada tahun 2021, tidak semua desa memiliki data dasar tersebut. Bahkan, kadangkala masih ada perdebatan tentang data (dari instansi) mana yang dipakai. Pihak desa juga tidak leluasa untuk merevisi data orang miskin yang berasal dari instansi supradesa walau data tersebut kurang akurat.
Hingga saat ini memang ada beberapa instansi supradesa yang mengumpulkan dan memiliki data tentang orang miskin di desa. Oleh sebab itu, maka hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan dalam upaya menghilangkan kemiskinan ekstrem di desa adalah sinkronisasi data orang miskin ekstrem tersebut. Konsep one village one data itu sangat dibutuhkan. Untuk itu, ego sektoral perlu dihilangkan.
Kesimpangsiuran data orang miskin di desa juga rawan memicu konflik antara warga desa dan pemerintah desa. Staf pemerintah desa sering kali menjadi sasaran kemarahan warga terkait bantuan akibat data yang tidak akurat. Perlu ditambahkan bahwa sebenarnya, di tingkat daerah dan desa, ternyata indikator miskin ekstrem itu sendiri pun hingga kini masih belum jelas-tuntas dan bervariasi.
Dalam proses penanggulangan kemiskinan ekstrem, data siapa orang miskin ekstrem by name by address itu barulah merupakan data awal. Untuk tahap selanjutnya, perlu data yang akurat juga tentang beberapa hal dari orang miskin ekstrem tersebut.
Dalam proses penanggulangan kemiskinan ekstrem, data siapa orang miskin ekstrem by name by address itu barulah merupakan data awal.
Jika kita menggunakan sustainable rural livelihood (SRL) sebagai kerangka diagnosis, misalnya, maka kita memerlukan data yang akurat tentang lima aset nafkah yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga (bisa juga individu pada kasus-kasus tertentu) miskin ekstrem tersebut, yakni aset alam, fisik, finansial, manusia, dan sosial. Data lima aset nafkah di level rumah tangga atau individu ini sangat penting, mengingat penguasaan lima aset nafkah ini bisa berbeda-beda antara rumah tangga atau individu satu dan yang lain. Dengan demikian, maka di tingkat mikro, program penanggulangan kemiskinan itu bisa dirancang sesuai dengan penguasaan aset nafkah dari masing-masing rumah tangga atau individu tersebut.
Dari pengalaman kami turun desa tahun lalu, data penguasaan aset nafkah rumah tangga atau individu miskin ekstrem masih banyak yang belum lengkap. Kita patut bersyukur bahwa data SDGs Desa yang dibangun oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sudah mencakup sebagian dari lima aset nafkah di tingkat individu ataupun rumah tangga. Dengan demikian, maka pengumpulan data mengenai lima aset nafkah di tingkat rumah tangga/individu miskin ekstrem ini masih perlu dilakukan.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Potret kemiskinan di NTT. Mayoritas warga di desa-desa masih hidup dalam kemiskinan, seperti dialami keluarga Ny Maria di Desa Ponu, Timor Tengah Utara.
Program pengentasan
Tersedianya data, baik orang miskin ekstrem by name by address maupun penguasaan aset nafkah oleh setiap orang miskin tersebut baru merupakan tahap awal. Tahap berikutnya adalah merancang dan melaksanakan program pengentasan rakyat miskin itu sendiri. Tahap ini jauh lebih rumit dan sulit.
Sebagai contoh, dari hasil analisis lima aset nafkah yang dimiliki Bapak A, program peningkatan pendapatan Bapak A adalah dengan mengembangkan aktivitas nonbudidaya pertanian, seperti berdagang dan mengembangkan industri mikro pengolahan hasil pertanian. Untuk mendukung dua jenis usaha tersebut perlu dilakukan beberapa aktivitas, seperti pelatihan usaha pengolahan, pelatihan pemasaran, pemberian modal usaha, dan pendampingan.
Dari sini saja kita dapat melihat betapa kompleksnya kegiatan pengentasan rakyat miskin kasus Bapak A ini. Ada berbagai pertanyaan yang perlu dijawab, misalnya, berapa lama pelatihannya? Siapa yang memberikan pelatihan? Jenis pengolahan apa yang dilatih? Dari mana bahan bakunya? Bagaimana prospek dan cara pemasarannya? Bagaimana skim bantuan permodalannya? Siapa yang berperan sebagai pendamping? Berapa lama dibutuhkan pendampingan? Dan sebagainya.
Keseriusan penanggulangan kemiskinan di desa itu sangat dipengaruhi oleh dinamika politik.
Pertanyaan-pertanyaan menyangkut sumber dan aksesibilitas terhadap bahan baku, pemasaran, dan bantuan permodalan; juga yang menyangkut aset nafkah fisik, seperti listrik, jaringan informasi dan transportasi, serta lain-lain sering kali membawa penyelesaian kemiskinan di desa ke level makro supradesa, baik nasional maupun global. Dalam FGD kami, terungkap juga bahwa keseriusan penanggulangan kemiskinan di desa itu sangat dipengaruhi oleh dinamika politik.
Dari contoh kasus ini kita bisa menghayati betapa rumitnya mengentaskan penduduk miskin ekstrem di desa itu dari kemiskinan. Apalagi kalau kasus itu adalah seorang mantan nelayan buruh (anak buah kapal/ABK) yang tidak punya keterampilan lain, dengan pendidikan tidak tamat sekolah dasar.
Kemiskinan ekstrem ini dapat dikatakan sebagai sebuah wicked problem yang penyelesaiannya bersifat multidimensi dan multilevel serta tidak selalu dapat diprediksi berapa lama waktu yang diperlukan. Dari sini kita juga bisa melihat bahwa tersedianya data orang miskin ekstrem secara akurat, baik nama dan alamat maupun aset yang dimiliki, masih jauh dari penyelesaian proses penanggulanga kemiskinan ekstrem itu. Perjalanan masih panjang dan kadang berliku tajam serta terjal pula.
Semoga uraian singkat di atas tidak men-discourage siapa pun yang tengah berjuang untuk melenyapkan kemiskinan ekstrem dari negeri tercinta Indonesia ini. Sebaliknya, realitas tersebut hendaknya memacu semua pihak untuk bekerja sama, menghilangkan ego sektoral, dan dengan penuh kesungguhan mengimplementasikan setiap program yang dirancang dengan cermat berbasis data yang akurat, baik di level mikro, meso, maupun makro. Selain itu, kita juga perlu menetapkan target yang realistis dengan mempertimbangkan kompleksitas kemiskinan ekstrem yang merupakan sebuah wicked problem ini.
Rilus A Kinseng, Guru Besar Sosiologi Perdesaan dan Kepala Divisi Knowledge Production CTSS IPB, Bogor