Isu Strategis G-20, Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak akan berdampak pada perekonomian negara dan hilangnya masa pendidikan anak sebagai penerus bangsa ke depan. Indonesia bisa mendorong perlindungan perempuan di G-20.
Oleh
YULIANTI MUTHMAINNAH
·5 menit baca
Indonesia sedang berbinar-binar. Dua posisi penting tingkat dunia diemban saat ini: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) dan Presidensi G-20. Keduanya sangat strategis, Indonesia bisa menjadi contoh baik dan mendorong penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tingkat dunia, lintas negara.
Sebagai forum kerja sama multilateral 19 negara utama dan Uni Eropa (EU), G-20 diisi negara-negara yang memiliki pendapatan menengah hingga tinggi, negara berkembang hingga negara maju. Indonesia menjadi satu-satunya anggota ASEAN dalam keanggotaan G-20. Laporan Bank Dunia, PDB Indonesia bernilai 1,058 triliun dollar AS pada 2020. Salah satu industri utama Indonesia adalah tekstil dan pakaian jadi.
Dua forum utama dalam G-20, finance track dan sherpa track. Finance track berfokus isu keuangan, misalnya perpajakan. Adapun sherpa track sebagai jalur pembahasan dalam bidang-bidang yang lebih luas di luar isu keuangan, tetapi dapat terkait isu keuangan, seperti lapangan kerja, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan.
Persentase tenaga kerja formal perempuan pada 2021 sebesar 36,20 dan pada 2020 sebesar 34,65, sedangkan laki-laki pada 2020 adalah 42,71 dan pada 2021 mencapai 43,39 (BPS, 2021). Adapun tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan 53,13 persen, sedangkan laki-laki 82,41 persen. Data ini menunjukkan partisipasi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki.
Walau begitu, perempuan berada di garda terdepan dan menempati empat ruang-ruang strategis dalam perekonomian Indonesia, bahkan dunia (Muthmainnah, Redefinisi ’Tafsir Nafkah’ Perjuangan Perempuan di Akar Rumput, Ekofeminisme V, 2020). Pertama, wilayah produksi. Adalah pekerja perempuan, terbanyak berada di sektor produksi, misalnya tekstil dan pakaian jadi, yang mencapai 15,08 persen, menempati urutan pertumbuhan tertinggi triwulan III-2019. Situasi ini membalap pertumbuhan ekonomi 5,02 persen pada periode sama. Di produksi sektor industri hasil tembakau (IHT), perempuan juga mendominasi, yakni 86 persen pekerja dari total pekerja IHT (BPS, 2017). Demikian pula pada industri makanan dan minuman, mayoritas dilakukan perempuan.
Kedua, perempuan ditempatkan pada garda depan untuk bidang administrasi dan keuangan. Stereotip perempuan penyabar, teliti, jujur, rajin, dan ulet telah menempatkan banyak perempuan di dua bidang ini.
Ketiga, dalam bidang pemasaran, perempuan berkontribusi besar. Melalui kerja-kerja sales promotion girl (SPG), penjualan produk perusahaan meningkat pesat. Sebagaimana diketahui, SPG, profesi yang bertujuan pemasaran, promosi suatu produk yang umumnya dilakukan oleh perempuan untuk menarik minat konsumen membeli produk (Poerwodarminto, 1991; Retnasih, 2001; dan Nitisemito, 2001).
Terakhir, keempat, perempuan berada di front office. Misalnya industri perhotelan, restoran, perkantoran, wisata, dan kesehatan. Rata-rata perempuan ditempatkan sebagai penyambut tamu, waitress, customer service, call center, bagian pendaftaran, dan mungkin juga perawat/suster perempuan.
Empat bidang tersebut tidak bisa disepelekan. Ini adalah kontribusi nyata perempuan dalam bidang ekonomi. Mayoritas dari mereka juga tulang punggung atau perempuan pencari nafkah utama dalam keluarga/rumah tangganya.
Sekalipun kontribusi perempuan demikian besar, perlindungan bagi perempuan belum menjadi hal yang utama. Dua dari tiga perempuan di dunia adalah korban kekerasan seksual atau pernah mengalami pelecehan seksual, baik di wilayah publik ataupun privat (pelaku keluarga atau orang dekat korban). Jumlah kasus Kekerasan terhadap perempuan pada 2020 sebanyak 299.911 kasus (Komnas Perempuan, 2021).
Ketika perempuan menjadi korban kekerasan, misalnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tentu akan berdampak pada situasi bekerjanya. Sementara pada kasus perkosaan, kekerasan seksual di tempat kerja, kendaraan umum, atau ruang publik lainnya, dampak kepada perempuan, mereka bisa kehilangan akses sumber daya ekonomi.
Umumnya perusahaan bukan menghukum pelaku, melainkan justru ”memaksa” perempuan korban memaafkan dan menolerir perbuatan pelaku yang hanya dianggap iseng, cuma sekali, atau bahkan menganggap perempuanlebai atau melebih-lebihkan cerita. Padahal, perempuan korban mengalami depresi, luka fisik psikis yang membutuhkan waktu lama untuk pemulihan, berdampak pada rusaknya organ dan alat-alat reproduksi perempuan atau berdampak kematian.
Sekalipun kontribusi perempuan demikian besar, perlindungan bagi perempuan belum menjadi hal yang utama.
Maka, bayangkan, apabila empat bidang penting yang dilakukan perempuan, tetapi para pekerja perempuan menjadi korban, lalu perusahaan, masyarakat dan negara diam. Bagaimana roda ekonomi?
Selain perempuan, anak-anak juga kerap menjadi korban. Kementerian PPPA melaporkan kekerasan terhadap anak pada 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga November 2021. Anak-anak korban akan mengalami trauma jangka panjang sebagaimana perempuan korban, hingga kematian. Kasus terbaru, anak usia 5 tahun diperkosa ayahnya hingga meninggal (ditangani Polsek Namrole, Kabupaten Buru Selatan, Maluku).
Kontribusi Indonesia untuk G-20
Kita tidak bisa menutup mata. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak akan berdampak pada perekonomian negara dan hilangnya masa pendidikan anak sebagai penerus bangsa ke depan, apalagi anak-anak hari ini dipersiapkan untuk Indonesia Emas 2045.
Maka, Indonesia bisa mengusulkan tiga hal dalam G-20. Pertama, pencapaian ekonomi negara harus memperhatikan lingkungan kerja yang antipelecehan atau kekerasan seksual kepada pekerja perempuannya dengan mengedepankan penghormatan kepada hak-hak perempuan. Kedua, memastikan lingkungan pendidikan bebas dari kekerasan seksual karena anak-anak hari ini adalah pemimpin masa depan.
Ketiga, peran serta masyarakat, dalam SDGs disebut sebagai kemitraan global (Goals 17). Penghapusan kekerasan seksual harus melibatkan masyarakat, misalnya dukungan pemulihan jangka panjang bagi korban melalui dana zakat yang dialokasikan bagi perempuan dan anak korban serta mendorong penguatan ekonomi perempuan korban melalui dana wakaf uang.
Potensi zakat Indonesia mencapai Rp 234 triliun per tahun (Festival Literasi Zakat Wakaf, 2021). Terobosan Indonesia melalui dana zakat dan wakaf uang untuk korban harus mulai diusulkan dalam pembahasan G-20 ataupun DK PBB. Termasuk dana zakat perusahaan ataupun dana corporate social responsibility harus juga dialokasikan bagi korban.
Dengan begitu, tidak ada ruang pemaafan bagi pelaku. Kontribusi ekonomi perempuan dapat berbanding lurus dengan manfaat dan perlindungan yang diterima perempuan. Karena tidaklah manusiawi apabila ekonomi maju, tetapi penopang ekonominya korban-korban terpuruk.
Yulianti Muthmainnah, Penulis Buku ”Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”; Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB-Ahmad Dahlan, Jakarta