Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan hasil pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021, yakni sebesar 3,69 persen. Angka ini lebih baik jika dibandingkan pada 2020 yang mengalami kontraksi 2,07 persen. Namun, angka ini masih jauh di bawah proyeksi besar Menteri Keuangan Sri Mulyani, yakni sebesar 4 persen. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV tahun lalu dihitung berdasarkan harga dasar yang berlaku mencapai kisaran Rp 4.498 triliun, sedangkan jika dihitung berdasarkan harga dasar konstan adalah sebesar Rp 2. 845,9 triliun (BPS, 2022)
Dalam studinya, BPS (2022) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV tumbuh 1,06 persen dibandingkan kuartal sebelumnya, atau 5,02 persen dibandingkan kuartal IV 2021. Potret Ini jelas menunjukkan jika kumulatif, ekonomi Indonesia selama 2021 tumbuh 3,96 persen. Pada posisi ini kinerja perekonomian Indonesia ditopang perekonomian global pada kuartal IV menunjukkan perbaikan. Hal ini ditandai dengan purchasing managers index (PMI) global pada Oktober hingga Desember 2021 berada di atas level 50 yang menunjukkan gerak perekonomian global mengalami peningkatan.
Dalam hubungan relasi bisnis, berdasarkan data Kementerian Keuangan (2022) pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif pada kuartal IV 2021. Ekonomi China tumbuh 4 persen, Amerika Serikat tumbuh 5,5 persen, Korea Selatan 4,1 persen, Singapura 5,9 persen, Vietnam 5,2 persen, Hongkong 4,8 persen, dan Uni Eropa 4,8 persen. Secara global, perumbuhan relasi mitra dagang Indonesia mengalami kenaikan.
Baca juga: Refleksi Pertumbuhan Ekonomi
Faktor utama yang mendorong tumbuhnya ekonomi pada kuartal IV karena ada kegiatan vaksinasi yang massif di seluruh negara, terjadi kenaikan konsumsi yang sangat tinggi setelah tertahan akibat pembatasan sosial secara ketat. Hadirnya insentif fiskal dan pelonggaran moneter berbagai negara turut mempercepat proses kegiatan ekonomi. Hanya saja, momentum pemulihan tertahan akibat masalah kenaikan energi yang mengakibatkan inflasi yang tinggi; terjadinya outbreak gelombang baru akibat munculnya varian baru Covid-19, yakni virus Omicorn, pada banyak negara; serta sumbatan rantai pasok (supply chain) dalam kelangkaan transportasi angkutan barang dan turunnya pasokan tenaga kerja di sektor logistik.
Kinerja rasional
Secara rasional, pemerintah harus terus mengevaluasi banyak kinerja yang dilakukan selama ini. Pengaruh inflasi komoditas menyebabkan ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi nasional, berkaca dari kinerja perekonomian Indonesia yang terjadi tahun lalu karena ditopang oleh masalah harga komoditas yang melambung tinggi. Seperti yang diungkap data BPS, terjadinya perubahan nilai volatilitas yang menjadi ukuran risiko instrumen pasar keuangan dan dicatat sebagai kisaran perubahan harga (selisih harga maksimum dan minimum) telah membuat kondisi ekonomi masyarakat menjadi mudah terganggu karena ketidakpastian selisih harga yang menjadi patokan dasar perdagangan.
BPS mencontohkan perubahan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) pada akhir 2021 naik 42,41 persen secara tahunan atau 15,8 persen per kuartalan, batubara naik 168,01 persen secara tahunan dan 8,75 persen per kuartal, dan nikel naik 23,9 persen secara tahunan dan 3,4 persen secara kuartalan. Semua itu mempengaruhi kestabilan ekonomi nasional.
Kenaikan harga komoditas sejatinya telah mendorong gerak aktivitas ekspor nasional, dan hal ini berkontribusi pada angka pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga komoditas sejatinya telah mendorong gerak aktivitas ekspor nasional, dan hal ini berkontribusi pada angka pertumbuhan ekonomi. Ekspansi ekonomi pada kuartal IV juga menunjukkan mobilitas masyarakat yang meningkat seiring kasus Covid-19 yang menurun.
Perbaikan mobilitas sangat berpengaruh pada aktivitas ekonomi domestik, terutama pada sektor transportasi domestik dan internasional. Mobilitas masyarakat yang membaik mendorong terjadi perbaikan penjualan eceran pada kuartal keempat yang tumbuh 5,8 persen secara kuartalan atau 8,7 persen secara tahunan.
Aktivitas penjualan mobil mampu tumbuh melesat sebesar 10,93 persen secara kuartalan atau 62,31 persen per tahunan. Tumbuhnya manufaktur menunjukkan jika selama kuartal IV berada di level 50,17 persen atau mengalami ekspansi. Selain didukung ekspor dan konsumsi masyarakat, realisasi belanja pemerintah meningkat pada kuartal IV.
Belanja pegawai turun 0,9 persen secara kuartalan tetapi naik 2,7 persen per tahunan, belanja barang dan jasa secara kuartal naik 72,8 persen atau 25,1 persen secara tahunan, sedangkan belanja modal naik 133,7 persen secara kuartalan atau 10,6 persen per tahunan. Adapun belanja bantuan sosial naik 43,5 persen secara kuartalan atau 23,5 persen secara tahunan.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Berlanjut
Untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), secara kuartalan meningkat 55,2 persen, tetapi secara tahunan turun 10,1 persen. Investasi asing dan domestik pada kuartal IV juga mendukung pertumbuhan ekonomi kuartal IV. Penanaman Modal Asing (PMA) naik 18,5 persen secara kuartalan atau 10,1 persen per tahunan, sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) naik 5,1 persen secara kuartalan atau 15,2 persen per tahunan.
Jika melihat tren pertumbuhan ekonomi nasional selama tujuh tahun, yakni 2015 hingga 2021, angka pertumbuhan ekonomi nasional selalu melenceng dari target. Meski pada 2021 konsumsi rumah tangga sudah meningkat, namun pemerintah harus tetap menjaga pengeluaran konsumsi rumah tangga, mengingat konsumsi rumah tangga memiliki bobot paling besar dalam pertumbuhan ekonomi karena saat konsumsinya turun hal itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Langkah produktif
Peran sektor swasta jelas memiliki peran penting dalam menstabilkan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya melalui kebijakan investasi produktif dan pengembangan sektor swasta yang membuat nilai hilirisasi mampu meningkat secara tajam. Faktual ini jelas mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Karena selama ini struktur belanja pemerintah yang hadir pada PDB hanyalah berkisar 8-9 persen. Sisanya merupakan konsumsi kegiatan perdagangan, perindustrian, dan investasi yang berkontribusi 82 persen dari seluruh kegiatan ekonomi Indonesia.
Jika melihat data perkembangan tiga tahun masa Covid-19, kinerja ekspor nasional sesungguhnya lumayan bagus, namun sayang angka impornya juga ikut naik. Hal ini jelas mengganggu efektivitas stimulus yang dijalankan melalui kredit. Kita dapat berkaca pada pertumbuhan ekonomi pada 2021 berkisar 3,5-4 prsen. Bandingkan 2020 yang minus 2,01 persen. Penyaluran kredit tumbuh 4,8 persen pada 2021, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan kondisi yang terjadi pada 2020 yang minus 2,41 persen. (Kemenkeu, 2021)
Jika melihat data perkembangan tiga tahun masa Covid-19, kinerja ekspor nasional sesungguhnya lumayan bagus, namun sayang angka impornya juga ikut naik.
Selain persoalan kredit, masalah kinerja pasar modal pada 2022 menjadi hal yang tak dapat diremehkan. Apalagi membaca perkembangan ekonomi tahun ketiga Covid-19, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia naik 10,85 ke posisi 6.581 sehingga termasuk sebagai kategori terbaik di Asia. Tetapi hal ini tak linear dengan kondisi ketahanan masyarakat pada kelompok ekonomi kecil yang sangat mengkhawatirkan karena kebutuhan barang pokok yang sering naik drastis. Hal ini menunjukkan jika penataan kebijakan hulu dan hilir pemulihan ekonomi selama pandemi Covid-19 belum terkoneksi secara maksimal.
Memasuki tahun ketiga Covid-19, di luar dari tantangan besar pemulihan ekonomi nasional, program vaksinasi harus dituntaskan pada taraf yang maksimum. Harapannya, tingkat imunitas masyarakat meningkat secara merata. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, masih terdapat tiga provinsi yang capaian pemberian vaksin dosis pertama di bawah 70 persen, yaitu Maluku, Papua Barat, dan Papua. Tentu hal ini menjadi persoalan serius karena aturan Kemenkes mengharuskan syarat wilayah memulai vaksinasi dosis lanjutan jika daerah telah mencapai vaksinasi minimal 70 persen untuk dosis pertama. (Kemenkes, 2022)
Baca juga: Memperluas Opsi Bank Biayai UMKM
Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pemerintah, salah satu PR pemulihan yang sangat berat adalah menata sektor ekonomi mikro, dalam hal ini Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang justru paling terkena dampak besar pandemi dan paling tertinggal dalam ruang pemulihannya. Jumlah total para pelaku UMKM di Indonesia adalah 64,2 juta atau 99,9 persen dari seluruh pelaku usaha Indonesia. Berdasarkan data BPS (2022), kontribusi UMKM terhadap PDB adalah 61 persen dan lapangan kerja proporsi sumbangannya mencapai 89 persen. Dari total UMKM, yang menjadi pelaku mikro berjumlah 63,35 juta atau 98,68 persen. Besarnya UMKM terhadap ruang kestabilan ekonomi jelas menuntut kesadaran penuh pemerintah Indonesia untuk bergerak cepat memulihkan UMKM nasional.
Di sinilah, peran besar pemerintah agar mampu membangun efektivitas kebijakan moneter secara tepat, serta membangun kombinasi kerja sama pemerintah dan masyarakat jelas membantu akselerasi ekonomi nasional. Pemerintah harus terus memberikan prioritas target, termasuk melalui stimulus ekonomi, seperti dalam alokasi anggaran Rp 225,23 triliun untuk mendukung UMKM, korporasi, serta insentif usaha. Melalui langkah ini diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional akan dapat terus tumbuh berkembang secara positif.
Haris Zaky Mubarak, Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia