Pemulihan Ekonomi Berlanjut
Pemulihan ekonomi yang kuat mempersyaratkan keberhasilan dalam mengatasi penyebaran Covid-19. Dengan keterbatasan pasokan vaksin dan disiplin pembatasan sosial yang masih belum cukup kuat,
Pemulihan ekonomi di tingkat global dipelopori oleh dua negara dengan perekonomian terbesar, yaitu AS dan China.
Pertumbuhan AS 7,4 persen dan China 18,3 persen pada triwulan I-2021. Keduanya sangat agresif dalam kebijakan fiskal dan moneter untuk menstimulasi ekonomi. Namun dengan harga komoditas yang tinggi dan likuiditas yang melimpah dengan pemulihan ekonomi yang kuat, menyebabkan inflasi mengalami peningkatan.
Inflasi di AS di April mencapai 4,2 persen, jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan banyak pihak. Sekalipun demikian bank sentral AS, The Fed, berpendapat inflasi ini bersifat sementara (transitory) dan akan turun lagi, sehingga tidak perlu menaikkan suku bunga.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Menjelang Berakhirnya Pandemi Covid-19
Namun, banyak investor berpendapat berbeda bahwa inflasi akan tetap tinggi dan permanen, sehingga The Fed akan mulai mengurangi pembelian obligasi (tapering) dan menaikkan suku bunga lebih awal dari perkiraan semula.
Sementara, China harus berusaha keras mengatasi permasalahan kemungkinan gagal bayar (default) perusahaan-perusahaan besarnya. Inflasi juga menunjukkan kecenderungan peningkatan.
Dua negara ini juga berhasil mengatasi pandemi dengan baik, dan ini memberikan kepercayaan tinggi pada konsumen dan produsen.
Dua negara ini juga berhasil mengatasi pandemi dengan baik, dan ini memberikan kepercayaan tinggi pada konsumen dan produsen. China sebagai tempat awal pandemi Covid-19 melakukan langkah agresif dalam pembatasan sosial pada awalnya. AS sekalipun sempat mengalami pandemi terburuk, namun dengan vaksinasi yang agresif dapat mengendalikan pandemi.
Seberapa kuat pemulihan?
Perkembangan dua ekonomi terbesar itu besar pengaruhnya pada negara lain termasuk Indonesia. Pemulihan ekonomi terjadi secara tidak merata di banyak negara. Ekonomi Indonesia sendiri pada triwulan I masih mengalami kontraksi dengan pertumbuhan minus 0,74 persen dan diharapkan tumbuh positif cukup tinggi di triwulan II, apalagi pada triwulan kedua tahun lalu kontraksi ekonominya terdalam. Perkiraan pada umumnya tahun ini pertumbuhan sekitar 4 persen, sekalipun pemerintah masih berharap sekitar 5 persen.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi cukup kuat. Indeks kepercayaan konsumen sudah 101, PMI sebagai ukuran aktivitas Industri manufaktur sudah tinggi 56,3. Konsumsi listrik pada akhir April juga sudah meningkat lebih tinggi daripada di 2020 dan 2019.
Baca juga: Mendorong Pemulihan Ekonomi
Hanya sayangnya pertumbuhan kredit masih terkontraksi sebesar minus 3,7 persen secara tahunan pada April, walaupun positif secara bulanan. Kredit bank sangat menentukan pertumbuhan ekonomi. Harapannya mulai Mei pertumbuhan kredit mulai positif, kemudian dapat tumbuh cukup tinggi untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.
Namun, bank masih harus menghadapi restrukturisasi kredit yang cukup serius. Beberapa bank, khususnya di Buku III, mulai membukukan kredit macet cukup tinggi di atas 4 persen.
Dengan neraca keuangan debitor yang masih lemah maka bank masih akan ekstra hati-hati untuk menyalurkan kredit lebih besar. Ini merupakan penghambat utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa pemulihan, Dengan kata lain keterkaitan (entanglement) antara kreditor dan debitor belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi.
Konsumsi sebagai pendorong
Sekalipun pertumbuhan konsumsi masih terkontraksi pada triwulan I, kecenderungannya membaik. Insentif pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBm) untuk penjualan mobil mendorong permintaan yang tinggi. Langkah pembebasan PPnBM sampai Agustus, masih belum kuat terasa pengaruhnya pada penjualan rumah.
Sementara, konsumen berharap pembebasan PPnBM dapat berlanjut, dan semakin mendorong pembelian rumah. Pembebasan PPnBM ini juga membantu perbaikan aliran kas perusahaan debitor bank. Namun, dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk menutupi kekurangan penerimaan negara menjadi perhatian yang cukup serius bagi pemulihan konsumsi masyarakat.
Permasalahannya tentunya adalah utang yang semakin besar untuk menutupi defisit.
Menaikkan pajak atau utang
Di satu sisi, upaya untuk menaikkan penerimaan pajak harus dilakukan untuk menutupi defisit anggaran, namun di sisi lain stimulasi untuk meningkatkan konsumsi melalui pengurangan atau pembebasan PPN masih diharapkan konsumen dan juga produsen yang dapat memperbaiki keadaan keuangannya dengan meningkatknya penjualan.
Ini berpulang pada bagaimana pemerintah harus membiayai defisitnya yang lebih dari 5 persen PDB. Apalagi pemerintah berencana untuk menurunkan defisit kembali pada tingkatan di bawah 3 persen pada 2023. Sebenarnya dengan pemulihan ekonomi yang kelihatannya tak sekuat seperti diperkirakan, stimulus masih dibutuhkan lebih lama dengan defisit anggaran di sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto.
Baca juga: Ruang Fiskal untuk Stimulus
Permasalahannya tentunya adalah utang yang semakin besar untuk menutupi defisit. Dengan rasio utang sekitar 41 persen terhadap PDB, sebenarnya masih terkendali. Begitu pula minat terhadap obligasi dan imbal hasil (yield) masih terjaga. Hanya manajemen utang yang harus lebih baik untuk membuat harga obligasi terjaga dan pembayaran cicilan serta pokok utang terjaga baik. BI semestinya juga tak lagi diminta “mencetak uang” untuk membiayai defisit untuk menjaga kredibilitasnya.
Kemungkinan The Fed akan melakukan pengurangan pembelian obligasi (tapering) dan menaikkan suku bunga lebih awal, akan berimplikasi serius terhadap ekonomi Indonesia.
Dengan kecenderungan inflasi domestik yang juga meningkat maka BI kemungkinan akan menyesuaikan suku bunga kebijakan. Implikasinya tentu cukup serius, pada saat debitor harus membayar bunga dan cicilan pinjaman lebih tinggi, sedangkan pemulihan ekonomi belum cukup kuat terjadi.
Bagi BI pilihannya adalah mengantisipsi inflasi dengan menaikkan suku bunga lebih awal, yang berarti menahan laju pemulihan ekonomi, atau menaikkan suku bunga setelah inflasi naik secara signifikan dengan risiko lebih sulit untuk mengatasinya.
Investasi sebagai tumpuan
Sekalipun pertumbuhan investasi tahunan masih negatif di triwulan I, kecenderungannya membaik. Pelaksanaan UU Cipta Kerja juga memfasilitasi peningkatan investasi ini, sekalipun tantangan di pelaksanaan cukup berat. Misalnya, penolakan terhadap masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA). Penolakan dari beberapa pihak terjadi terhadap masuknya TKA China, sekalipun mereka yang paling semangat berinvestasi.
Daerah juga kelihatan enggan mengimplementasikan UU Cipta Kerja lebih lanjut karena indikasi resentralisasi.
Perusahaan asing juga masih kesulitan dalam mendatangkan tenaga ahli mereka pada saat pembatasan TKA pada masa pandemi ini. Serikat pekerja menolak keras UU Cipta Kerja ini, khususnya untuk bagian ketenagakerjaan.
Daerah juga kelihatan enggan mengimplementasikan UU Cipta Kerja lebih lanjut karena indikasi resentralisasi. Sementara rencana investasi mengharapkan insentif pajak yang lebih baik, isu kenaikan pajak dan agresivitas aparat pajak, jadi pertimbangan serius bagi peningkatan investasi.
Optimalisasi vaksinasi
Indonesia sejak semula tidak mau melakulan penutupan (lockdown) untuk mengatasi pandemi. Pembatasan sosial dilakukan secara terbatas dengan berusaha melakukan vaksinasi secara luas. Namun karena sulitnya mendapatkan pasokan vaksin, program vaksinasi sekalipun berjalan cukup baik, kemungkinan tidak dapat menjangkau target 70 persen penduduk tahun ini. Hal ini tentu berpengaruh pada seberapa kuat pemulihan ekonomi terjadi.
Baca juga: Jebakan Euforia Pemulihan
Pemulihan ekonomi yang kuat mempersyaratkan keberhasilan dalam mengatasi penyebaran Covid-19. Dengan keterbatasan pasokan vaksin dan disiplin pembatasan sosial yang masih belum cukup kuat, kemungkinan pandemi bergelombang masih mungkin terjadi. Tentu saja ini berpengaruh pada seberapa kuat pemulihan ekonomi terjadi.
Pemulihan ekonomi sedang terjadi. Pertanyaannya, seberapa kuat. Di tingkat makro kecenderungan pemulihan terlihat cukup kuat. Namun di tingkat mikro perusahaan dan konsumen lah yang lebih menentukan seberapa kuat pemulihan terjadi. Konsumen, terutama yang berpendapatan tinggi dan menengah, siap membelanjakan tabungannya. Konsumen golongan bawah dapat bantuan tunai yang berarti dari pemerintah untuk menjaga konsumsi mereka.
Bagi perusahaan, secara formal masih menghadapi lemahnya neraca keuangan yang menyulitkan mendapatkan kredit perbankan. Peningkatan permintaan akan sangat membantu perbaikan arus kas perusahaan yang memperbesar akses pada kredit perbankan.
Perbankan, sekalipun masih harus menghadapi restrukturisasi kredit akibat pandemi ini, dengan likuiditas yang besar, sebenarnya siap menyalurkan kredit dalam jumlah besar selama debitor memperlihatkan perbaikan dalam neraca keuangan mereka. Inilah dinamika ekonomi dan bisnis yang lebih menentukan seberapa kuat pemulihan ekonomi terjadi.
Umar Juoro Senior Fellow the Habibie Center