Bung Karno, Negara, dan Ketuhanan
Sebagai seorang nasionalis, Soekarno tidak pernah memisahkan dirinya dari dimensi ketuhanan yang diyakini oleh diri dan bangsanya dalam menjalani kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Tulisan Saudara Sukidi, intelektual Muhammadiyah dan alumni Havard Unversity, yang dimuat Kompas (20/1/2022), berjudul “Negara, Tuhan dan Kesetaraan”, cukup bernas dan mencerahkan. Di tengah kehidupan kebangsaan dan keagamaan yang sering diwarnai kelompok intoleran untuk mendominasi kehidupan publik, pemikiran Saudara Sukidi cukup menyentak kesadaran kita bersama. Narasinya mampu memberikan”penerangan untuk merawat jiwa bangsa”.
Pemikiran tersebut kongruen dengan cita-cita dan perjuangan para “pendiri dan pembentuk negara” Republik Indonesia, yaitu negara bangsa modern yang inklusif dan setara.
Dengan mengambil contoh pemikiran Soekarno dan Agus Salim, narasinya tidak hanya memiliki data dukung sumber primer yang otentik, tetapi juga memberikan “leitstar dinamis”, yang dapat menjadi “arah perjalanan” kehidupan berbangsa dan beragama masyarakat Indonesia di abad ke-21 ini.
Baca juga: Negara, Tuhan, dan Kesetaraan
Sukidi membuktikan bahwa pemikiran Agus Salim yang dimuat dalam majalah Mimbar Agama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama pada tanggal 1 Agustus 1950, tepat dengan hari kembalinya “Negara Kesatuan Republik Indonesia” dari “Negara Serikat Indonesia”, sudah sangat maju dan iklusif. Pemikiran Agus Salim tentang “prinsip kesetaraan” melampaui pemikiran “toleransi” pemikir Inggris, John Locke, yang sering menjadi rujukan para sarjana politik dunia dan Indonesia.
Narasi pemikiran Agus Salim makin bertambah gamblang dan mudah dipahami tatkala saudara Hamid Basyaib memberikan konfirmasi tulisan Sukidi di online dari facebook, mediacom.id, ngopibareng.id, geotimes.id, sampai IB Times id, dengan judul Toleransi Total Haji Agus Salim (1/2/22). Pemikiran dan perjuangan Agus Salim mencerminkan “laku hidup negarawan” yang penuh kebajikan dan kesetaraan dalam mengamalkan ajaran Islam yang inklusif dan universal, “rahmatan lil’alamin”. Suatu pemikiran dan keteladaan yang layak jadi referensi dalam merawat “jiwa bangsa”. Sesanti Bhineka Tunggal Ika tidak hanya indah dalam untaian kata tetapi juga terasa hadir dalam praksis kehidupan kebangsaan yang damai, setara dan saling menghormati.
Sebagai seorang nasionalis, Soekarno tidak pernah memisahkan dirinya dari dimensi ketuhanan yang diyakini oleh diri dan bangsanya dalam menjalani kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Melalui tulisan ini, saya terstimulasi dengan pemikiran Soekarno tentang ketuhanan yang juga disitir oleh Sukidi di awal tulisannya namun belum sempat dielaborasi secara luas. Sebagai seorang nasionalis, Soekarno tidak pernah memisahkan dirinya dari dimensi ketuhanan yang diyakini oleh diri dan bangsanya dalam menjalani kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Ketuhanan Bung Karno tidak terpisahkan dari posisinya sebagai negarawan dan ideolog. Salah satu penanda tersebut terlihat dalam komitmennya terhadap kehidupan yang juga menjadi warisan luhur “Dedication of Life”. Beliau menyatakan keberadaannya sebagai manusia tidak sempurna. Kebahagiaan hidupnya adalah untuk mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa.

Mural Bhineka Tunggal Ika
Tiga dimensi kehidupan hidup Bung Karno
Bung Karno di tahun 1926 mengalami semacam “lompatan eksistensial” dalam memahami Tuhan. Beliau menyatakan bahwa “Tahun 1926 adalah tahun di mana aku memperoleh kematangan dalam tiga dimensi. Dimensi yang kedua dari tiga hal itu adalah ketuhanan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negara kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalaan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama” (Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2014; 88)
Proses pemahaman Bung Karno tentang “kemerdekaan beragama” dan prinsip kehidupan berketuhanan bangsa Indonesia digali dari rentang periode waktu yang panjang dan mendalam. Ditelusuri saf-saf (lapisan) kehidupan bangsa secara teliti. Dalam ceramahnya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa di tahun 1958 beliau menyatakan, “Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu”.
Baca juga: Pancasila dan Sosialisme Soekarno
Menurut Bung Karno, proses sejarah pergaulan hidup manusia sejak zaman pra Hindu hingga masa industri membuktikan bahwa nenek moyang bangsa Nusantara adalah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. “Berkultur sudah, bercita-cita sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang” demikian katanya, dengan mengutip tulisan arkeolog Prof Brandes.
Alam Pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya. Cara hidup berburu, beternak, bercocok tanam, kerajinan, dan industri mempengaruhi pemahaman manusia tentang sosok Tuhan yang berbeda-beda. “Kalau saudara tanya kepada saya, persoonlijk, apakah Bung Karno percaya pada Tuhan? Ya, saya ini percaya, dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam, bahkan betul-betul percaya pada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho lha kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubah ubah? Tidak! Bukannya Tuhan yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tapi yang berubah ubah adalah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah ubah, tergantung pada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada” demikian penjelasan Bung Karno.
Bung Karno dalam beberapa pidatonya sering menyatakan tentang tiga dimensi dalam prinsip kehidupannya.
Bung Karno dalam beberapa pidatonya sering menyatakan tentang tiga dimensi dalam prinsip kehidupannya. “Dalam bidang politik, aku seorang nasionalis. Dalam bidang keagamaan, aku percaya pada Tuhan. Dalam bidang ideologi, aku seorang sosialis. Kuulangi, aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi komunis. Aku tidak akan menjadi simpatisan komunis.”
Menurut Bung Karno, dimensi ketuhanan sebagai salah satu elemen jiwa bangsa tidak boleh dipisahkan dari Pancasila. Ketuhanan dapat menjadi pengikat keseluruhan elemen bangsa. “Sebaliknya kalau saya tidak memakai ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat, salah satu elemen, dari meja statis dan leistar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang elemen yang bindend, bahkan masuk akal betul betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia”.
Pemikiran Bung Karno tentang ketuhanan dalam kenegaraan salah satunya dapat dilacak pada proses kelahiran, perumusan, dan pengesahan Pancasila sebagai dasar negara. Pada pidato di depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni, saat memimpin panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni dan saat memimpin sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, sila Ketuhanan terus diperjuangkan menjadi salah satu sila dari Pancasila.

Spirit Soekarno
Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan sila yang kelima adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pidatonya disebutkan “Prinsip yang kelima hendaknya, Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Bagi Bung Karno, kesetaraan dalam berkeyakinan dan atau beragama harus diberikan pada setiap warga negara. Prinsip ketuhanan menyangkut dimensi kesadaran dan spiritual yang sangat persona. Setiap orang memiliki kebebasan beribadah pada sang Khalik yang disembahnya. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak boleh dipaksakan oleh kekuatan eksternal, termasuk kekuasaan negara. “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Dengan demikian setiap warga negara dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Bagi Bung Karno, kesetaraan dalam berkeyakinan dan atau beragama harus diberikan pada setiap warga negara.
Para penyelenggara negara dan warga negara sama-sama berkewajiban mengamalkan “ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain”.
Bagi Bung Karno prinsip ketuhanan selain bersifat personal juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kenegaraan di Indonesia. Dalam mengakhiri pidatonya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa pada 16 Juni 1958 di Istana Negara Bung Karno menegaskan kembali tentang pentingnya “prinsip beragama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi leitstar kita yang utama, untuk menjadi bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Dan itulah sebabnya di dalam Pancasila elemen ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas”.
Baca juga: Bung Karno sebagai Aset
Tidak berlebihan kalau Bung Hatta dalam Pancasila Jalan Lurus (1966) menyatakan bahwa posisi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral sarat dengan nilai-nilai keluhuran. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi dipahami sebagai dasar yang sekedar hormat menghormati antar pemeluk agama. Ketuhanan juga harus menjadi dasar memimpin “kejalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya”.

Patung mantan Presiden RI pertama, Soekarno, duduk sambil merenung sila-sila Pancasila di Kota Ende, Nusa tenggara Timur.
Manusia yang percaya dengan Tuhan menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah. Alam semesta dengan segala isinya ini adalah ciptaan Allah, termasuk orang lain yang memiliki keyakinan keagamaan berbeda. Antar manusia dalam berkeyakinan perlu saling menghormati.
Tentu nilai-nilai keilahian ini masih relevan dalam mengantisipasi kehidupan berbangsa dan bernegara masa kini. Misalnya untuk meminimalisir tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nilai-nilai keilahian yang otentik akan terpancar dalam “laku kehidupan” penyelenggara negara dan warga negara yang penuh integritas dan tanggung jawab. Penyelenggara negara tidak tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Mereka sadar bahwaTuhan maha mengetahui. Gusti Allah mboten sare.
Demikian pula sikap intoleran hingga radikalisme terhadap sesama anak bangsa dihindari bagi seseorang yang ber-Tuhan secara otentik. Orang lain, walaupun berbeda ras, etnis, dan keyakinan adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang wajib dihormati.
Bung Karno menyatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme”, Pernyataan itu pun menurut penulis tidak hanya menjelaskan relasi sila kebangsaan dan kemanusiaan semata. Kondisi ini juga terkait dengan prinsip kesetaraan ber-ketuhanan yang diyakini Bung Karno. Bangsa lain dihormati selama tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena juga bagian dari makhluk Tuhan.
Baca juga: Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno
Konsekuensinya, kebangsaan Indonesia dalam pemikiran Bung Karno, bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan “chauvinisme”. Kebangsaan (nasionalisme) bukan sesuatu yang terisolasi dan saling menegasi dengan tatanan global (internasionalisme). Nasionalisme dan internasionalisme saling berelasi, bermediasi dan bersinergi dalam membangun peradaban dan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Manusia sebagai wakil Tuhan, khalifatullah fil ardhi, memiliki tanggungjawab bersama dalam membangun dan merawat peradaban yang inklusif dan humanis.
Meminjam istilah Mateus Soares de Azevedo (2010), Ketuhanan dalam pemikiran Bung Karno tidak dilihat dalam perspektif “Men of a Single Book” yang berangkat dari pemikiran dangkal dan wawasan yang sempit. Bagi Bung Karno, Ketuhanan lebih berkonotasi sebagai sosok Tuhan yang sarat kebajikan dan kasih sayang (Benevolent God). Ketuhanan tidak diasosiakan dengan kekerasan dan ketakutan yang penuh paksaan (Authoritarian God).

Hariyono, Staf Pengajar Departement Sejarah Universitas Negeri Malang; Wakil Kepala BPIP