Soal Keterbatasan Pilihan Obat di Indonesia
Banyak obat baru yang canggih tidak tersedia di Indonesia dan hal ini dirasakan merugikan masyarakat. Namun, sebenarnya ia sudah punya “saudara” di Indonesia dengan struktur kimia dan indikasi penggunaannya hampir sama,
Salah satu alasan mengapa masyarakat kelas atas Indonesia gemar berobat ke Singapura adalah karena pilihan obat yang ada di sana dianggap lebih lengkap daripada di Indonesia.
Berbagai obat baru yang belum beredar di Indonesia dengan cepat sudah bisa diresepkan oleh dokter-dokter di negara jiran itu. Tak heran banyak orang mengomel bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia itu selain terlalu kaku dalam memberikan izin edar, juga kerjanya terlalu lamban.
Akibatnya banyak obat baru yang canggih tidak tersedia di Indonesia dan hal ini dirasakan merugikan masyarakat. Sebagai contoh ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja BPOM, di pertengahan 2015 pernah terjadi sekelompok orang berdemonstrasi di BPOM, mendesak agar BPOM segera memberi izin edar bagi obat baru sofosbuvir untuk pengobatan hepatitis C. Ketidaksabaran sebagian anggota masyarakat ini dapat dipahami, namun perlu juga dibahas untuk mendudukkan persoalan ini dalam proporsi yang benar.
Ketidaksabaran sebagian anggota masyarakat ini dapat dipahami, namun perlu juga dibahas untuk mendudukkan persoalan ini dalam proporsi yang benar.
Alasan obat tak tersedia
Apa saja yang menyebabkan beberapa obat baru tidak atau belum tersedia di Indonesia?
Pertama, seperti di negara lain, obat yang didaftarkan harus dibuktikan memenuhi syarat aman, efektif, dan dibuat dengan mutu yang baik, baru boleh diberi izin edar. Semua ini harus didukung dengan data ilmiah yang memenuhi syarat.
Apa yang dimaksud dengan data ilmiah yang memenuhi syarat itu? Kelengkapan dan mutu data yang disampaikan pemohon izin edar mencakup data penelitian pada hewan (uji toksisitas akut, subakut, dan kronik, uji teratogenisitas, uji karsinogenisitas, dan lain-lain).
Selain itu diperlukan data hasil uji klinik pada manusia yang meliputi data hasil uji klinik fase 1, yaitu ketika suatu obat baru dicobakan pertama kali pada manusia sehat. Fase 2, yaitu ketika obat baru ini dicobakan pertama kali pada sejumlah kecil orang sakit. Kemudian, uji klinik fase 3, ketika obat baru itu dicobakan pada sejumlah besar orang sakit.
Izin edar tidak akan diberikan oleh BPOM bila data uji klinik fase 1,2, dan 3 ini tak bisa memberikan keyakinan bahwa obat baru itu aman dan efektif.
Baca juga : Etik Kesehatan dalam Pandemi
Risiko dan manfaat
Kedua, pertimbangan risiko dan manfaatnya harus menguntungkan. Ini berarti walaupun suatu obat bisa dibuktikan efektif untuk penyakit tertentu, tapi jika dinilai bahayanya melebihi manfaatnya, maka pemberian izin edar untuk obat itu tidak dapat diberikan.
Terfenadin adalah contoh obat yang efektif untuk mengatasi berbagai gejala alergi, namun izin edarnya terpaksa ditarik kembali di banyak negara, termasuk Indonesia, ketika terbukti obat ini menimbulkan gangguan irama bilik jantung yang dapat berakibat fatal.
Dewasa ini zat aktif dari ganja, tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD yang berasal dari ganja (Cannabis sativa), telah diberi izin edar di beberapa negara untuk pengobatan epilepsi, cerebral palsy, stroke, dan lain-lain.
Orang mempertanyakan, mengapa pemerintah Indonesia belum juga mengambil langkah yang sama untuk obat yang berasal dari ganja ini? Jawabannya adalah sama, bahwa walaupun ada beberapa penelitian yang menunjukkan adanya potensi efektivitas, potensi untuk disalahgunakan dinilai lebih besar dari manfaatnya. Selain itu sudah tersedia banyak obat lain yang lebih aman dan efektif untuk indikasi terkait. Jadi tidak ada kondisi urgensi di sini.
Tragedi talidomid ini memberi pelajaran berharga untuk tak tergesa-gesa memberi izin edar suatu obat dengan mempertaruhkan keselamatan masyarakat.
Sekitar tahun 1960, perusahaan obat Grunenthal di Jerman memasarkan talidomid sebagai obat penenang yang bisa dibeli bebas. Dalam waktu singkat obat ini digunakan juga sebagai obat flu dan juga untuk mengurangi mual dan muntah pada perempuan hamil.
Akibatnya, lahir sekitar 10.000 bayi dengan fokomelia (cacat dengan kaki dan tangan yang kecil sekali). Separuh dari bayi-bayi ini mati, sisanya bisa hidup tapi cacat berat seumur hidup. Seorang pejabat di Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) bernama Dr Frances Kelsey, menentang keras pemberian izin edar obat ini di Amerika karena ia melihat data keamanan obat ini tidak meyakinkan.
Kelsey kemudian mendapat penghargaan luar biasa di Amerika karena ia telah berjasa menyelamatkan Amerika sehingga tak ikut mengalami tragedi talidomid seperti Eropa. Tragedi talidomid ini memberi pelajaran berharga untuk tak tergesa-gesa memberi izin edar suatu obat dengan mempertaruhkan keselamatan masyarakat.
Siapa yang mempertimbangkan keamanan dan efektivitas obat baru itu? Bukan hanya pejabat BPOM, tapi juga perhimpunan profesi terkait, akademisi, instansi pemerintah terkait, dan lain-lain. Semuanya harus independen dan tidak boleh punya konflik kepentingan.
Kondisi darurat
Dalam kondisi darurat di mana ada kebutuhan mendesak untuk mengobati penyakit tertentu di masyarakat, sementara obat yang terbukti aman dan efektif belum ada, maka otoritas regulasi bisa memberikan kelonggaran. Artinya, walaupun bukti efektivitas dan keamanan suatu obat masih sedikit, tetapi dapat diberikan suatu izin penggunaan obat itu dalam keadaan darurat (emergency use authorization/EUA).
Pemberian EUA ini biasanya disertai kewajiban industri terkait untuk melanjutkan penelitian guna melengkapi data keamanan dan efektivitas setelah ia mendapatkan EUA. EUA ini bukan izin edar yang biasa. Ia segera berakhir bila kondisi kedaruratan berakhir.
Ketiga, tingkat ketaatan terhadap peraturan dan hukum bisa bervariasi antar masyarakat yang berbeda. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana perilaku masyarakat kita menyerbu ivermektin, plasma konvalesens, remdesivir, dan lain-lain, untuk pengobatan dan pencegahan Covid-19.
Padahal, BPOM sudah memberi lebih dari cukup penjelasan bagi masyarakat bahwa obat-obat ini baru dalam tahap penelitian dan jangan digunakan dulu untuk pengobatan. Semuanya ini diabaikan oleh sebagian masyarakat, bahkan juga oleh sebagian dokter. Malah ada pejabat tinggi negara yang membagi-bagikan ivermektin gratis ke masyarakat untuk mencegah Covid-19.
Bahkan ada pejabat tinggi negara yang sampai mengirim surat ke BPOM dan mendesak agar segera dikeluarkan izin edar untuk ivermektin.
Sekarang mata kita terbuka, kebijakan BPOM itu benar karena Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum lama ini dengan jelas menyatakan bahwa ivermektin sama sekali tidak punya tempat untuk pengobatan maupun pencegahan Covid-19. Ia hanya boleh digunakan untuk penelitian.
Baca juga : Vaksin Merah Putih untuk Penguat, Anak 3-6 Tahun, dan Donasi Luar Negeri
Keempat, faktor lain yang menyebabkan suatu obat tak tersedia di Indonesia ialah karena tak ada industri farmasi yang mengajukan permohonan izin edar untuk produk itu. Mungkin ini karena dianggap kurang memberi keuntungan yang memadai. Jadi ketiadaan obat tertentu di Indonesia juga bisa terjadi karena strategi pemasaran pabrik pembuat obat.
Kelima, kecepatan evaluasi obat di Indonesia juga sangat dipengaruhi karakteristik obat yang dimintakan izin edarnya. Obat yang dikembangkan di negara lain yang tak diketahui kualitas sistem evaluasi obatnya akan masuk ke jalur evaluasi biasa yang membutuhkan waktu evaluasi 300 hari. Namun, bila produk itu hasil pengembangan baru oleh industri farmasi yang berinvestasi di Indonesia, ia bisa masuk dalam jalur evaluasi 100 atau 50 hari.
Faktor-faktor lain yang bisa mempercepat evaluasi obat ialah apabila obat yang didaftarkan itu tergolong obat yang sangat diperlukan untuk penyakit langka (orphan drug), obat yang tergolong penyelamat jiwa (live saving drugs), obat untuk penyakit yang mudah menular, obat dikembangkan di negara yang telah dikenal punya sistem evaluasi obat yang baik.
Obat-obat anti Covid-19 adalah contoh obat yang masuk dalam jalur cepat karena amat dibutuhkan untuk penyakit yang belum ada obatnya.
Organisasi profesi dokter, program, dan pemangku kepentingan lainnya selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.
Prioritas pada keselamatan masyarakat
Pertanyaannya, mengapa perlu waktu demikian lama untuk mengevaluasi efektivitas, keamanan dan mutu suatu obat? Jawabnya: karena BPOM bertanggung jawab menjaga keselamatan 275 juta penduduk Indonesia terkait penggunaan obat yang didaftarkan untuk dapat izin edar.
Selain itu, perlu diketahui bahwa dalam membuat keputusan terpenting terkait penggunaan obat, BPOM tak pernah membuat keputusan sendiri. Organisasi profesi dokter, program, dan pemangku kepentingan lainnya selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.
Semuanya ini membutuhkan waktu yang cukup panjang. Waktu untuk evaluasi akan bertambah panjang bila pemohon izin edar tidak segera memberi respons ketika BPOM minta penjelasan atau tambahan data. Terhadap keputusan BPOM, pendaftar juga diberi kesempatan untuk hearing di mana mereka boleh mengajukan bantahan atau keberatan. Semuanya ini juga menyebabkan waktu yang diperlukan BPOM untuk melakukan evaluasi menjadi lebih panjang.
Lalu bagaimana jalan keluarnya untuk pasien-pasien yang sangat membutuhkan obat tertentu yang belum punya izin edar di Indonesia? Untuk ini disediakan jalur khusus yang dikenal dengan nama special access scheme (SAS).
Dengan skema ini kebutuhan pasien perorangan untuk pengobatan dirinya dapat dipenuhi. Untuk ini diperlukan rekomendasi dari dokter yang mengobati pasien bersangkutan, informed consent, penjelasan mengenai status peredaran obat itu di negara lain, dan pernyataan bahwa pemohon mempunyai sarana atau prasarana penyimpanan yang memadai terutama terkait suhu (cold chain).
Dengan demikian, keberadaan obat baru itu sebenarnya tak terlalu dibutuhkan, malah sering kali hanya ikut meramaikan pasar saja (me too drugs).
Faktor penting lainnya yang sangat menentukan untuk mendapatkan izin edar secara cepat dari BPOM adalah kualitas dan kelengkapan data penunjang yang disampaikan oleh industri farmasi ke BPOM.
Data uji klinik yang melibatkan subjek yang terlalu sedikit, hasil yang tidak konsisten, kriteria keberhasilan pengobatan yang tak sesuai dengan klaim indikasi, tidak ada kelompok kontrol, tidak ada penyamaran (blinding), masa observasi terlalu pendek, kesimpulannya tak sesuai dengan klaim indikasi— merupakan contoh kualitas data yang tidak memuaskan yang dapat menyebabkan ditolaknya pemberian izin edar.
Akhirnya masyarakat juga perlu memahami bahwa apabila suatu obat baru belum tersedia di Indonesia, itu tak selalu berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat kita.
Ada banyak obat baru yang belum dijual di Indonesia, tapi sebenarnya ia sudah punya “saudara” di Indonesia dengan struktur kimia hampir sama, indikasi penggunaannya sama, keamanan dan kemanjurannya juga sering kali sama saja. Dengan demikian, keberadaan obat baru itu sebenarnya tak terlalu dibutuhkan, malah sering kali hanya ikut meramaikan pasar saja (me too drugs).
Keinginan masyarakat untuk bisa segera mengakses obat baru dapat dimengerti. Untuk ini BPOM dituntut bekerja cepat dan efisien dalam pemrosesan izin edar. Namun upaya peningkatan kecepatan kerja ini tidak boleh sampai mengorbankan kualitas perlindungan bagi masyarakat, karena di atas berbagai macam kepentingan, keselamatan masyarakat harus diletakkan pada tempat tertinggi.
Rianto SetiabudyGuru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia