Etik Kesehatan dalam Pandemi
Nilai etik memang tidak harus kaku. Ia bisa berubah sesuai perubahan ruang dan waktu. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah bersikap searif dan seseimbang mungkin saat mempertimbangkan nilai-nilai moral yang ada.

Heryunanto
Pandemi memang melahirkan isu kompleks di berbagai bidang, termasuk etik. Selama pandemi Covid-19, konflik terkait etik makin marak. Makin sering terjadi pertentangan antara ahli etik (ethicist) satu dengan lainnya terkait beragam isu pandemi Covid-19.
Saat awal-awal pandemi, Rusia pernah memberikan vaksin Covid-19 kepada sekelompok penduduknya, padahal vaksin tersebut belum melewati fase 2 uji klinis. Sebagian ahli etik menganggap hal tersebut tidak etis karena menabrak etika studi vaksin. Namun ahli etik lain membenarkan program tersebut.
Alasannya, Rusia hendak memberi perlindungan secepatnya kepada rakyatnya. Di sini terjadi benturan etik; antara keinginan menyelamatkan penduduk sesegera mungkin dengan keharusan melengkapi syarat uji vaksin.
Pada setting lain, akhir 2020 lalu sejumlah negara maju berlomba memborong vaksin Covid-19 yang baru akan diproduksi. Mereka memesan dalam jumlah banyak, bahkan hingga tiga kali lipat jumlah penduduknya. Sebagian ahli etik menganggap tindakan ini tidak etis karena mengurangi peluang negara lain mendapat jatah. Ahli etik lain menganggap hal ini tidak keliru karena negara bersangkutan berupaya melindungi rakyatnya semaksimal mungkin.
Kasus lain, saat ini sejumlah negara cenderung ‘memaksakan’ program vaksinasi. Meski tidak menggunakan istilah ‘mandatory vaccine’, mereka melakukan pembatasan kegiatan dan sosial terhadap orang yang tidak divaksin. No vaccine, no mall and travel. Sebagian ahli etik menganggap ‘pemaksaan’ ini sebagai pelanggaran etika individu. Sebagian lainnya dapat menerima karena mandatory vaccine dianggap satu-satunya cara untuk dapat keluar dari pandemi.
Pada setiap individu melekat nilai-nilai moral yang harus dihormati dan dipertimbangkan dalam setiap program kesehatan.
Etik saat normal
Pada setiap individu melekat nilai-nilai moral yang harus dihormati dan dipertimbangkan dalam setiap program kesehatan. Tidak boleh ditabrak. Nilai-nilai tersebut adalah beneficence, non-maleficence, autonomy dan justice.
Beneficence artinya setiap program kesehatan harus memiliki manfaat jelas bagi individu. Bukan bermanfaat bagi pemerintah atau kelompok lain.
Non-maleficence merujuk kepada tidak adanya bahaya yang timbul pada individu akibat suatu program. Sebuah program dapat saja memberi manfaat besar namun saat yang sama juga menimbulkan efek samping serius. Program seperti ini tidak dapat diterima.
Autonomy mengingatkan bahwa individu memiliki hak atas dirinya. Termasuk hak menentukan pengobatan yang diterima. Individu dapat menolak sebuah tindakan sekalipun tindakan itu dianggap terbaik baginya.
Sedangkan justice merujuk pada hak individu untuk memperoleh pelayanan adil dan merata tanpa melihat latar belakang sosial, ras maupun agama. Sebuah program kesehatan dianggap etis jika tak melanggar nilai-nilai moral itu.

Warga Kota Bandar Lampung mengikuti kegiatan vaksinasi massal yang digelar di lapangan terbuka di pusat Kota Bandar Lampung pada Senin (11/10/2021)
Dalam keadaan normal, setiap program kesehatan harus mempertimbangkan secara maksimal keempat nilai moral tersebut. Tidak boleh ada reduksi signifikan. Misalnya, sebelum diberikan kepada masyarakat, vaksin harus melewati semua fase dan prosedur standar uji klinik. Tidak boleh ada fase yang dilangkahi. Karena ini merupakan pemenuhan prinsip beneficence dan non-maleficence pada individu.
Pembelian vaksin harus proporsional dengan kebutuhan. Tak dibenarkan ada kelompok yang memborong vaksin berlebihan karena ini bertentangan dengan prinsip justice bagi individu. Dalam keadaan normal, tak dibenarkan pemaksaan vaksinasi. Individu berhak menerima atau menolak vaksin yang ditawarkan. Ini bagian dari hak autonomy.
Baca juga : Gelombang Ketiga Pandemi, Ancaman atau Ilusi
Etik saat krisis
Pandemi adalah sebuah krisis. Dalam krisis, standar pelayanan yang berlaku bukan standar normal (normal standard of care). Artinya, tidak bisa diharapkan standar-standar normatif berlaku maksimal, termasuk nilai-nilai moral individu. Kondisi krisis memicu konflik antara nilai moral individu dengan kepentingan masyarakat (individual values versus public goods). Akibatnya, terjadi pergeseran standar etis. Hal-hal yang dianggap tidak etis saat kondisi normal dapat menjadi etis saat pandemi. Demikian pula sebaliknya.
Dalam keadaan normal, tindakan Rusia menggunakan vaksin yang belum menyelesaikan fase 2 tentu tindakan tak etis. Bertentangan dengan prinsip non-maleficence dan autonomy. Namun ketika ini dilakukan saat pandemi mengganas, sebagian ahli etik dapat menerima. Alasannya, tindakan ini dilakukan saat angka kasus dan kematian Covid-19 sangat tinggi dan obat belum tersedia.
Artinya ada urgensi bagi Rusia untuk segera menyelamatkan penduduknya dan ini dianggap memenuhi prinsip beneficience, non-maleficience dan justice.
Sejumlah negara maju memesan vaksin dalam jumlah banyak saat awal pandemi. Padahal saat itu vaksin belum selesai dibuat. Bagi sebagian ahli etik, ini tak etis. Namun tindakan ini bukan tanpa justifikasi. Saat itu, vaksin Covid-19 belum diproduksi.
Hal-hal yang dianggap tidak etis saat kondisi normal dapat menjadi etis saat pandemi.
Belum ada informasi terkait efektivitas, dosis, dan kemanjurannya. Jadi bagi sebagian ahli etik, tindakan memborong dapat diterima. Dengan memborong, negara ingin menyediakan vaksin yang efektif dan cukup bagi masyarakatnya. Tindakan mereka dianggap sejalan dengan prinsip beneficence, non-maleficence dan justice bagi masyarakatnya.
Hingga kini, belum ada negara yang mewajibkan vaksinasi Covid-19 bagi penduduknya. Tetapi sebagian negara membatasi akses kegiatan bagi penduduk yang tidak divaksin. Sebagian ahli etik menganggap ini melanggar autonomy. Sebagian lainnya menerima.
Alasannya, hingga saat ini belum ada obat efektif melawan virus dan vaksin dianggap satu-satunya modalitas yang dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Efeknyapun bukan hanya pada proteksi individu tetapi juga proteksi komunitas. Jadi wajar bila hal ini ‘setengah dipaksakan’. Program ini dianggap memenuhi prinsip-prinsip beneficence, non-maleficence dan justice.
Dalam krisis, memang terjadi trade-off antara berbagai nilai moral.
"Trade-off" prinsip etik
Dalam krisis, memang terjadi trade-off antara berbagai nilai moral. Nilai-nilai moral individu harus disesuaikan dengan nilai kepentingan masyarakat. Bahkan bila terjadi konflik, nilai-nilai masyarakat harus didahulukan.
Seberapa jauh nilai moral individu harus dinomorduakan demi kepentingan masyarakat? Apakah nilai individu harus dinegasi total? Terkait ini, ahli etis berbeda pendapat. Sebagian mengambil jalan ekstrem dan berpendapat bahwa nilai individu harus diabaikan demi kepentingan kesehatan masyarakat.
Alasannya, pandemi memiliki risiko sangat berbahaya bagi masyarakat. Karenanya, keselamatan masyarakat harus didahulukan dan nilai lain harus dibelakangkan. Di AS, negara memiliki ‘police power’ untuk ‘memaksakan’ program kesehatan masyarakat bila keselamatan masyarakat dalam bahaya.
Dalam konsep hukum, ini dikenal dengan prinsip salus populi suprema lex (kesejahteraan dan kepentingan orang banyak harus menjadi hukum tertinggi). Bila berpegang pada prinsip ini, orang dengan mudah setuju bahwa vaksin Covid-19 bisa diberikan kepada masyarakat walau uji klinisnya belum lengkap.
Alasannya, ini kondisi krisis dan masyarakat butuh pengobatan secepatnya. Orang juga mudah setuju bila sebuah negara memborong vaksin karena negara bersangkutan ingin memproteksi penduduknya. Dengan alasan ini pulalah, masyarakat dapat mudah menerima program mandatory vaccine karena ini terkait keselamatan orang banyak. Tak boleh ada penolakan dan tawar-menawar.

Suasana kesibukan para petugas di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah, Rabu (17/2/2021). Di ruangan berbeda, pada area yang sama, juga terdapat laboratorium uji Covid-19 dengan kapasitas 300-400 pemeriksaan per hari. Selain itu, juga terdapat ruangan untuk penelitian dan pengembangan vaksin nusantara.
Sebagian ahli etik lain berpendapat bahwa dalam keadaan krisis sekalipun, hak-hak individu harus tetap diperhatikan dan dihormati. Tak boleh ada pengabaian mutlak. Jadi walau kepentingan masyarakat didahulukan, nilai-nilai moral individu harus tetap diakomodasi. Prinsip ini dianut berbagai organisasi dunia seperti WHO, Hasting Centers dan Konsil Bioetik Eropa.
Merujuk pada prinsip ini, program kesehatan masyarakat dapat diterima sepanjang nilai-nilai individu diakomodasi. Misalnya, program mandatory vaccination bisa dilakukan tetapi targetnya bukan seluruh masyarakat. Cukup kelompok masyarakat berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan, polisi dan petugas publik.
Pelaksanaannyapun mesti bijak. Individu perlu diberi informed consent dan dijelaskan jenis vaksin yang akan diberikan, manfaatnya dan efek sampingnya. Juga diidentifikasi komorbiditas dan aspek kontraindikasi yang membuat individu tak layak untuk vaksinasi. Jadi bukan langsung jab dan mengabaikan nilai-nilai moral individu.
Baca juga : Cara Uji Klinis yang Baik
Pandemi yang masih berjalan ini akan terus memunculkan beragam konflik etik. Orang akan makin sering berdebat tentang apakah sebuah program kesehatan bersifat etis atau tidak, baik atau buruk, dapat diterima atau tidak.

Iqbal Mochtar
Tak mudah untuk mengklaim sebuah keputusan etik sudah tepat atau tidak. Banyak faktor determinannya. Apalagi nilai etik memang tidak harus kaku. Ia bisa berubah sesuai perubahan ruang dan waktu. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah bersikap searif dan seseimbang mungkin saat mempertimbangkan nilai-nilai moral yang ada sesuai ruang waktu dan kondisi.
Iqbal Mochtar Dokter dan Doktor Bidang Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah.