Ibu Kota Negara, Tjilik Riwut, dan "Megathrust"
Rencana pemindahan ibu kota negara sudah sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, waktu itu, rencana pemindahan ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalimantan Timur, dibatalkan karena kondisi geografis.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini menegaskan bahwa ibu kota negara atau IKN di Jakarta harus pindah ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Bahkan, namanya pun sudah diberikan, yaitu Nusantara. Dengan suara mayoritas mutlak, DPR juga telah menyetujui Rancangan Undang-Undang IKN menjadi UU IKN. Selanjutnya, Presiden memberikan target seluruh jajaran pemerintahan sudah harus pindah ke IKN yang baru pada 2024.
Terbayang di benak kita bagaimana hebohnya pindah-pindahan tersebut, dan yang pasti tidak akan ”setenang” ketika pemerintahan RI harus hijrah ke Yogyakarta pada 1946 silam. Kehebohan proses pindahan waktu itu hanya sedikit terjadi ketika harus memasukkan dua mobil kepresidenan RI-1 ke gerbong kereta api luar biasa secara diam-diam di tengah keremangan senja. Kereta api yang berangkat saat matahari tenggelam dari halaman belakang rumah kediaman Presiden Soekarno beserta keluarga di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta dengan selamat esoknya di pagi hari.
Penulis yang kala itu masih berumur dua tahun belum dapat mengingat bagaimana kejadiannya. Namun, mendapat cerita saat remaja dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Mangil Martowidjojo saat bertugas mengawal Bung Karno. Penulis juga membaca buku biografinya, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (Grasindo, 1999).
Namun, ketika kolonialis Belanda tekuk lutut dan mengakui kedaulatan RI pada 1949, pemerintahan RI kembali lagi ke Jakarta. Selain Presiden beserta keluarganya, juga Wapres Mohammad Hatta dan jajaran pemerintah kembali ke Jakarta.
Baca juga: Isu Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Perdebatan hingga Pengalihan
Ibu kota gagasan Bung Karno
Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan berlaku Demokrasi Terpimpin, Indonesia saat itu akan menggelar pesta olahraga Asian Games 1962. Menopang pesta olahraga se-Asia tersebut, Bung Karno menggelar pembangunan besar-besaran ibu kota Jakarta mulai dari Patung Selamat Datang, Tugu Monas, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, dan Kompleks Olahraga Bung Karno, bahkan proyek Conefo (sekarang Gedung MPR/DPR) di Senayan. Pembangunan sarana olahraga itu bukan hanya untuk fasilitas atlet-atlet bertanding, tetapi juga untuk membangun watak dan jiwa bangsa agar bangsa Indonesia tidak lagi memiliki rasa rendah diri di hadapan bangsa-bangsa di dunia.
Meskipun Asian Games 1962 berhasil digelar dengan sukses dan para atletnya meraih banyak prestasi olahraga, masih saja ada sebagian kalangan mencibir tonggak sejarah olahraga tersebut sebagai proyek ”mercusuar” Soekarno. Namun, Presiden Soekarno yang memiliki kecintaan yang tinggi dan perspektif jauh ke depan terhadap bangsa Indonesia, jalan terus. Terbukti, pesta Asian Games 1962 menjadi catatan sejarah prestasi olahraga dan keberhasilan agenda nasional pasca-KTT Asia Afrika di Bandung pada April 1955.
Dengan pisau analisis ”historis materialisme” yang dapat memprediksi perkembangan masyarakat 20-30 tahun mendatang, Bung Karno telah melihat ibu kota Jakarta yang akan over loaded, penuh sesak dengan penduduk, pembangunan dan kepentingan-kepentingan politik-ekonomi-sosial-keamanan yang saling bertabrakan. Karena itu, Bung Karno mengambil suatu keputusan mendasar, yaitu memindahkan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa.
Dari hasil pengamatan Bung Karno ketika melakukan perjalanan ke daerah-daerah, dipilihlah Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah sebagai lokasi ibu kota negara yang baru. Setiap melakukan kunjungan ke daerah, Bung Karno menyempatkan pula beberapa kali meninjau kawasan Palangkaraya dan sekitarnya, bahkan berdialog dengan tokoh-tokoh dan komunitas-komunitas suku Dayak di Kalimantan.
Dengan pisau analisis ”historis materialisme ” yang dapat memprediksi perkembangan masyarakat 20-30 tahun mendatang, Bung Karno telah melihat ibu kota Jakarta yang akan over loaded.
Dalam setiap pertemuan, ide Bung Karno mendapat sambutan yang positif dari seluruh elemen masyarakat di Kalimantan, terutama dari komunitas suku Dayak. Untuk mempersiapkan rencana pembangunan ibu kota negara yang baru, Kementerian Pekerjaan Umum diperintahkan membuat perencanaan ibu kota negara yang baru. Salah seorang pakar konstruksi dan ahli beton Indonesia yang dilibatkan adalah Insinyur Rooseno.
Penulis masih ingat, hampir setiap bulan perwakilan suku Dayak mengirimkan delegasinya ke Istana Merdeka untuk bertukar pikiran dengan Presiden Soekarno mengenai rencana perpindahan ibu kota negara di Palangkaraya tersebut. Salah seorang yang menarik perhatian penulis, di antaranya, seorang perempuan asli Dayak yang cantik jelita dan cepat menjadi akrab dengan putri-putri Bung Karno, bernama Laura. Entah sekarang ini, bagaimana sosok Laura di Palangkaraya itu.
Baca juga: Ibu kota Baru Berbasis ”Smart City”
Tjilik Riwut, tokoh Kalimantan Tengah
Ketika proses pembahasan dan perencanaan ibu kota negara yang baru, tokoh kuat yang saat itu disebut-sebut akan memimpin dan menjadi Gubernur Ibu Kota Palangkaraya adalah seorang putra daerah dan tokoh di Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut. Gubernur pertama Kalimantan Tengah dan pejuang asal Kalimantan itu sering datang ke Istana Merdeka dan berbincang dengan Bung Karno. Topiknya, selain membahas mengenai pembangunan daerah Kalimantan pada umumnya, juga secara khusus mengenai gagasan perpindahan ibu kota negara. Gagasan Presiden Soekarno sejalan dengan usulan Tjilik Riwut yang juga mengusulkan Palangkaraya dijadikan IKN pada waktu itu.
Penulis pernah juga makan malam bersama Bung Karno dan Tjilik Riwut di ruang makan keluarga di Istana Merdeka serta pernah juga diajak Bung Karno menonton film di paviliun Istana Negara yang direnovasi menjadi layaknya ruang bioskop. Dari pertemuan tersebut, penulis mengenal sebagian karakter Tjilik Riwut yang diperkirakan bakal memimpin ibu kota negara yang baru di Kalimantan Tengah. Meskipun tokoh daerah, tetapi berjiwa kebangsaan dan nasionalis sejati.
Di era Demokrasi Terpimpin, pro dan kontra mengenai pemindahan ibu kota negara tidak sehebat seperti saat ini. Di era praktik demokrasi 50 persen plus 1 di mana semua orang boleh bebas bicara dan menolak segala sesuatu yang dirasakan berbeda dengan yang dikehendaki dan kepentingannya menjadi sesuatu yang wajar. Karena itu, rencana Bung Karno untuk memindahkan ibu kota negara saat itu mengalir wajar tanpa ada protes-protes dan lainnya, seperti saat pembahasan RUU Cipta Kerja pada tahun lalu.
Bahwa ada kalangan-kalangan yang tidak setuju dengan gagasan Bung Karno saat itu memang ada. Namun, setelah diajak bicara dan bermusyawarah dengan pemerintah, mereka langsung menganggukkan kepala tanda mengerti betapa pentingnya perpindahan ibu kota negara. Singkat kata, ide Bung Karno relatif berjalan mulus.
Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Harus Menjadi Milik Publik
Perpindahan ibu kota negara, sesuai pemikiran Bung Karno, bertujuan agar pusat-pusat kegiatan sosial politik dan pemerintahan terpisah dengan pusat-pusat kegiatan perdagangan dan ekonomi atau niaga. Untuk itu, pusat kegiatan sosial politik dan pemerintahan ada di ibu kota negara yang dipindah ke luar Jawa. Adapun pusat-pusat kegiatan perdagangan dan ekonomi dipusatkan di kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan di wilayah Indonesia timur.
Sayang, rencana besar dari Presiden Soekarno terpaksa dibatalkan oleh Presiden Soekarno sendiri. Gagasan besar itu tak bisa terlaksana karena pada kajian terakhir dan survei geologi tanah oleh Insinyur Rooseno dan Departemen Pekerjaan Umum, jenis tanah di Palangkaraya ternyata terdiri atas lahan-lahan gambut yang sarat mengandung air. Jika di atas lahan gambut itu didirikan gedung-gedung bertingkat atau bangunan pencakar langit, lahan gambut tidak dapat menahan beban gedung tersebut.
Jika di atas lahan gambut itu didirikan gedung-gedung bertingkat atau bangunan pencakar langit, lahan gambut tidak dapat menahan beban gedung tersebut.
Kondisi tersebut memang masih dapat diatasi secara teknis, yaitu dengan membuat fondasi beton yang sangat kuat. Namun, risikonya harus merogoh anggaran negara yang biayanya berlipat-lipat. Konon, infonya waktu itu, jika dipaksanakan, anggarannya dapat bisa naik hingga sekitar 300 persen dari anggaran awal.
Bung Karno yang insinyur sipil jebolan ITB, Bandung, tentu mengerti benar masalah ini. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk tidak jadi membangun ibu kota negara yang baru di Palangkaraya. Melalui Penetapan Presiden Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang diteken Presiden Soekarno pada 28 Agustus 1962, Presiden Soekarno memutuskan Jakarta tetap menjadi ibu kota NKRI.
Penetapan presiden itu diperkuat kembali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibukota Negara RI dengan Nama Jakarta. UU tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 31 Agustus 1964.
Opsi tempat lain bisa saja dicari Bung Karno selain di Palangkaraya. Namun, sejalan dengan waktu dan perkembangan politik, Presiden Soekarno telanjur dilengserkan sehingga gagasan refleksi tentang Indonesia di masa datang tak bisa dilanjutkan.
”Nusantara” versus ”megathrust”
Pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah mengapa Presiden Jokowi memiliki rencana memindahkan IKN yang baru ke Kalimantan Timur? Apalagi sekarang ini di tengah pandemi Covid-19? Apakah rencana Presiden itu terinspirasi dengan gagasan pertama kali Bung Karno, yang kemudian dilanjutkan idenya oleh Presiden Soeharto dengan rencana perpindahan ibu kota negara ke Jonggol, Jawa Barat, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga memiliki kehendak untuk melanjutkan perpindahan ibu kota negara?
Melihat pertimbangan Presiden Jokowi selama ini, yang akan memindahkan IKN ke Kalimantan, tampaknya realistis. Jawabannya, Jakarta memang sudah sumpek, pembangunan dan kekumuhan kadang menjadi satu. Berbagai aktivitas penduduk, birokrat, dan aktivitas lainnya berjubelan. Kepadatan lalu lintasnya, gedung-gedung yang menjulang tinggi dan kerapatan gedung dan rumah-rumah penduduk terkadang juga berimpitan dan berdesakan, ”merusak” tata kota. Keruwetan masalah politik, sosial, ekonomi, keamanan, dan pariwisata, berbaur, tumplek dalam kubangan yang sama menjadikan IKN Jakarta menjadi sarat masalah dan riuh serta kompleks.
Jakarta di mata Presiden Jokowi akan dibiarkan terus berkembang pesat sebagai kota industri dan niaga yang terbatas karena tak bisa lagi ekspansi ke kota-kota satelitnya, seperti Bekasi atau Tangerang.
Karena itu, Jakarta di mata Presiden Jokowi akan dibiarkan terus berkembang pesat sebagai kota industri dan niaga yang terbatas karena tak bisa lagi ekspansi ke kota-kota satelitnya, seperti Bekasi atau Tangerang. Namun, Jakarta juga kota yang rawan bencana. Kalau banjir adalah biasa, tetapi rawan gempa besar di bawah laut yang disebut megathrust bermagnitudo 8,9 hingga M 9,0 dengan tinggi gelombang mencapai 20 meter, tak bisa dicegah. Jakarta, menurut para ahli baru-baru ini, memang hanya tunggu waktu saja.
Bencana alam memang tak bisa dicegah, tetapi pemerintah hanya bisa mengantisipasi seminimal mungkin risiko yang terjadi. Sebagai negara yang dilalui oleh ring of fire, rawan bencana, sekarang ini tinggal bagaimana Jakarta mengantisipasinya. Sebab, disebut-sebut berdasarkan rekaman data global navigation satellite system (GNSS), tercatat adanya akumulasi energi di bagian megathrust Selat Sunda hingga Palabuhanratu dan selatan Parangtritis hingga selatan pantai Jawa Timur.
Gempa bumi yang baru saja terjadi di selatan Banten justru mengingatkan dan menunjukkan bahwa ancaman itu belum hilang. Sebagai kepala negara yang menjalankan amanat rakyat, Presiden Jokowi tentu harus mengingatkan soal kerawanan Jakarta, tanpa harus membuat warga Jakarta menjadi cemas dan waswas dengan alasan perpindahan IKN.
Baca juga: Ibu Kota Baru, Mimpi Bung Karno sampai Jokowi
Sebaliknya Nusantara, ibu kota negara yang baru tentu juga harus didorong terus tumbuh dan pesat sebagai pusat pemerintahan, kota masa depan dengan rujukan modernitas teknologi dan informasi. Nusantara juga harus menjadi kota yang menerapkan ekonomi hijau, berkonservasi lingkungan, tetapi tetap menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi bagi wilayah di timur dan kawasan sekitarnya, selain juga alternatif baru pariwisata di Indonesia tengah dan timur.
Menghadapi hal-hal tersebut tampaknya Presiden Jokowi tetap teguh berpendirian untuk melanjutkan pemindahan IKN yang sesuai rencana dan masa datang Indonesia. Tampaknya itulah jawaban mengapa Jakarta harus pindah ke Kalimantan. Penulis juga mendengar Presiden Jokowi akan segera melakukan peletakan batu pertama di titik nol IKN di Penajam Paser Utara pasca-RUU IKN ditetapkan menjadi UU. Apa pun, tampaknya gagasan Presiden Jokowi sudah menyambung (inline) dengan gagasan awal Bung Karno yang melihat Indonesia secara ”historis materialisme” serta diikuti oleh Presiden Soeharto dan Presiden SBY.
Mencari sosok ”Tjilik Riwut”
Tentu, melengkapi IKN baru, Presiden Jokowi juga harus memilih sosok yang paling tepat untuk mewujudkan mimpinya Penajam Paser menjadi IKN baru yang akan membawa citra berbeda Indonesia di mata dunia, selain juga dapat mempercepat keadilan dan pemerataan ekonomi di Tanah Air.
Perjalanan mewujudkan IKN yang baru memang masih sangat panjang. Setelah UU, tentu masalah siapa yang akan menjabat sebagai Ketua Otoritas IKN Nusantara mengemuka. Belum lagi pasca-groundbreaking pembangunan awalnya, perpindahan lembaga dan perangkat serta jajarannya. Lalu, elemen dan komponen lainnya yang menjadi pendukung sebuah IKN yang baru, juga harus dapat berjalan.
Baca juga: ”Petehku Isen Mulang”, Pesan 100 Tahun Mengenang Tjilik Riwut
Berbagai nama pun bermunculan di bursa calon pencalonan kepala Badan Otorita IKN, seperti sosok ”Tjilik Riwut” di era Bung Karno walau Presiden sebagai pemegang hak prerogatif belum menentukan siapa yang akan menjadi ketua otoritasnya. Beberapa nama selintas disebut-sebut, mulai dari mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki ”Ahok” Tjahja Purnama; Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil; ataupun mantan Wali Kota Surabaya yang kini Menteri Sosial Tri Rismaharini; atau lainnya.
Ini jelas baru awal saja dari perjalanan panjang obsesi sebuah IKN baru. Bukan hanya tiga tahun ke depan hingga 2024 saja, menurut rencana ketika ”Detik-detik Proklamasi 17 Agustus” akan dilakukan di depan istana baru di kota Nusantara, tetapi bisa saja 5, 10, atau 15 tahun mendatang baru tuntas Nusantara menjadi sebuah IKN yang baru di Indonesia.
Guntur Soekarno, Putra Sulung Presiden Pertama RI dan Pemerhati Sosial