Mengatasi Omicron dan Varian Masa Depan
Jangan terlalu senang dengan indikasi awal bahwa infeksi Omicron tak berakibat terlalu parah sehingga kapasitas rawat inap dan sistem kesehatan akan mampu mengatasinya. Risiko keseluruhan sesungguhnya sangat tinggi.
Jangan menganggap enteng Omicron. Dampak varian ini memang tak sedrastis varian Delta karena mayoritas bergejala ringan. Penularan Omicron sangat ”ngegas” dan negara kita mulai terganggu lejitan kasus Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri memasukkan Omicron (B.1.1.529) sebagai varian yang harus diwaspadai (variant of concern/VoC) sejak 26 November 2021.
Menginvasi ke seluruh dunia seperti ”perang kilat” (blitzkrieg), angka kasus Omicron sangat cepat menanjak. Bahkan, kini penambahan hariannya 4-5 kali lipat (sekitar 3 juta kasus) dari saat puncak varian Delta (sekitar 750.000). Tingkat kematian pun mengikuti. Kalau puncak Delta tingkat kematiannya 11.000-an per hari, kini Omicron sudah menewaskan sekitar 12.000-an per hari.
Data epidemiologi terbaru menunjukkan peningkatan infeksi pesat di Eropa, mayoritas akibat Omicron. Pada September 2021, lebih dari sejuta kasus penularan baru per minggu, tetapi pada minggu pertama Januari 2022 menjadi lebih dari tujuh juta kasus per minggu, meningkat tujuh kali lipat. Kini seluruh Eropa menderita penularan yang cepat, bahkan Perancis, Inggris, dan Rusia melampaui 100.000 kasus per hari.
Angka peningkatan kasus harian di Indonesia juga makin lama makin melejit. Pada 26 Desember 2021 hanya terdeteksi 92 kasus dan dua kematian. Tapi, sejak akhir Januari, dalam waktu kurang dari dua minggu kasus harian melesat dari ribuan, lalu belasan ribu, dan menjadi 40.000-an. Delta perlu waktu lebih dari bulan untuk sampai ke tingkat penularan seperti itu. Tenaga kesehatan (nakes) juga mulai terpapar massal. Sebanyak 521 residen (calon dokter spesialis) yang ikut turun di ”garis depan” terpapar (Kompas, 10/2/2022).
Penularan Omicron sangat ’ngegas’ dan negara kita mulai terganggu lejitan kasus Covid-19.
Pemerintah pun mulai mengetatkan lagi prokes, dengan memberlakukan pembatasan-pembatasan. PPKM level 3 diberlakukan di Jabodetabek. Jam operasional tempat umum dibatasi, dan pengunjung maksimal 60 persen. Tempat ibadah juga diimbau mengetatkan prokes dan mengurangi berjemaah.
Mestinya pengajaran tatap muka (PTM) juga dievaluasi lagi. Jangan sampai sekolah jadi pusat penularan yang akan terbawa sampai keluarga. Dan, kebijakan ”tak bijak” membuka penerbangan internasional demi turis mestinya tak dilakukan. Ingat, pemerintah pernah membuat ironi ketika di awal pandemi malah membuat diskon penerbangan untuk gencarkan wisata.
Sisi baiknya, kita pantas mensyukuri gencarnya vaksinasi. Indonesia tergolong sangat baik, nomor lima setelah China, India, AS, Brasil, dengan 307,13 juta dosis vaksin telah di suntikan. Ini patut diapresiasi di saat gelombang Omicron datang. Dampak Omicron ini sebagian besar telah diamati di negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi. Di sana tingkat rawat inap dan kematiannya relatif lebih rendah. Tingkat morbiditas dan mortalitas yang terkendali ini sejauh ini sebagian besar berkat vaksinasi, terutama dari kelompok rentan. Tanpa vaksinasi, lebih banyak orang kemungkinan akan berada di rumah sakit (RS), bahkan meninggal.
Sisi baik yang lain, serangan Omicron ini tetap ”dilawan”. Para ahli terus konsentrasi meneliti misteri karakter dan perilaku Omicron yang sangat cepat menular ini. Bersama para peneliti global, peneliti kita terus membuka mata mengasah otak menguak misteri keganasan Omicron. Para saintis berperang dengan Omicron di tengah situasi kesenjangan pengetahuan di publik sehingga muncul banyak asumsi, spekulasi, kesalahan informasi, bahkan hoaks tentang Omicron sehingga menyulitkan pihak yang berwenang ambil keputusan yang tepat.
Tanpa vaksinasi, lebih banyak orang kemungkinan akan berada di rumah sakit (RS), bahkan meninggal.
Rahasia kekuatan Omicron
Melalui analisis genomik, Omicron memiliki potensi kecepatan penularan lebih cepat dibandingkan dengan Delta dan ini terbukti di lapangan. Dalam waktu singkat Omicron menyebar dari ujung selatan Afrika ke Eropa, Asia, dan kemudian ke Australia dan Amerika. Negara-negara yang angka vaksinasinya sudah tinggi tetap terpapar. Jerman yang 75 persen warganya sudah divaksinasi dosis kedua tetap mengalami lonjakan kasus hingga 100.000 kematian.
Rahasia potensi kekuatan Omicron bisa dilihat dari pola spikeprotein-nya. Omicron memiliki 50 mutasi secara keseluruhan, dan 32 mutasi pada spike protein. Sementara Delta 13-17 mutasi pada spike protein. Setiap tonjolan (spike) pada permukaan SARS-CoV-2 terdiri dari tiga protein yang membentuk formasi menyerupai tangkai. Di dalamnya, terdapat tiga bagian penting yang memiliki fungsi tersendiri: Receptor-binding domain (RBD), N-terminal domain (NTD), dan Furin cleavage site (FCS). RBD berperan penting dalam transmisi virus, NTD berperan dalam pembentukan kekebalan terhadap virus, FCS berperan menentukan keparahan penyakit.
Omicron mengalami mutasi pada ketiga bagian ini, dengan jumlah terbanyak pada mutasi RBD. Ini mungkin mengapa laju penularan Omicron jauh lebih cepat dibandingkan dengan varian lain. Adapun mutasi pada NTD kemungkinan besar membuat Omicron mampu lolos dari hadangan sistem kekebalan tubuh yang telah terbentuk dari vaksinasi dan kekebalan alamiah karena pernah terinfeksi.
Menariknya, mutasi pada bagian FCS dilaporkan memiliki kemiripan dengan varian Alpha. Sama-sama mengindikasikan lebih rendahnya tingkat keparahan penyakit dibandingkan dengan Delta. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi ini. Dari penjelasan ini, jelas Omicron jauh lebih ganas penularannya dibandingkan dengan Delta sehingga WHO memasukkan ke daftar varian yang harus diwaspadai.
Para ahli masih terus mengeksplorasi perilaku dan karakter Omicron, dan risiko yang ditimbulkan pada sistem kesehatan. Jangan terlalu senang dengan indikasi awal bahwa infeksi Omicron tak berakibat terlalu parah sehingga kapasitas rawat inap dan sistem kesehatan akan mampu mengatasinya. Risiko keseluruhan sesungguhnya sangat tinggi.
Peningkatan penularan yang sangat cepat akan mengakibatkan jumlah kasus rawat inap naik, sementara pada saat bersamaan RS juga harus menangani pasien non Covid-19. Situasi ini sudah terjadi di banyak negara di Eropa. RS dipenuhi pasien yang mayoritas terinfeksi Omicron. Jika ini terjadi di Indonesia yang kapasitas layanan kesehatannya belum sebagus mereka, sistem layanan kesehatan kita bisa kolaps.
Baca juga : "Kekebalan Super" dan Akhir Pandemi
Antisipasi varian baru
Vaksinasi, apalagi sampai dosis ketiga, akan memberikan perlindungan terhadap Omicron. Saat ini tingkat rawat inap dan kematian rendah, sebagian besar karena sudah banyak orang divaksin. Kematian terjadi biasanya terpicu komorbid berat. Vaksinasi lengkap, apalagi ditambah vaksin penguat (booster), juga sangat berguna untuk tameng varian baru di masa mendatang. Omicron adalah varian ke-13 Covid-19. Melihat perilakunya yang terus bermutasi, dikhawatirkan masih akan ada varian berikutnya dengan perilaku berbeda.
Sejauh ini vaksinasi efektif meredam tingkat morbiditas dan mortalitas. Kita lihat dari gelombang-gelombang besar kasus yang diciptakan lima variants of concern (VoC) ganas: Alpha, Beta, Gamma, Delta, dan Omicron.
Di negara-negara yang sistem layanan kesehatannya belum maju, situasinya lebih mengkhawatirkan. Omicron menjadi penyebab dominan pasien dirawat inap, dan sebagian besar pasien adalah orang yang tak divaksinasi. Situasi ini diperparah lagi oleh belum adanya langkah-langkah efektif untuk menghentikan laju penularan. Akibatnya Omicron menyebar dengan kecepatan yang luar biasa, dan yang tidak divaksinasi akan terkena dampak paling parah.
Meski banyak gejala awal yang mirip, infeksi Omicron jauh lebih berbahaya dibanding flu biasa, dan akan membawa pasien untuk rawat inap di RS. Orang yang telah terinfeksi Omicron dan kemudian sembuh diperkirakan berisiko mengalami kondisi Covid panjang (long Covid). Omicron juga bisa menginfeksi kembali orang yang sebelumnya pernah terkena Covid-19, varian apa pun.
Ini menegaskan bahwa orang yang pernah terkena infeksi sebelumnya dan sudah memiliki kekebalan alamiah pun, kekebalan ini tak bisa menghadapi varian Omicron.
Ini menegaskan bahwa orang yang pernah terkena infeksi sebelumnya dan sudah memiliki kekebalan alamiah pun, kekebalan ini tak bisa menghadapi varian Omicron. Jika Anda pernah terpapar Covid-19 sebelumnya, Anda tetap harus divaksinasi, karena infeksi ulang dari Omicron masih mungkin terjadi, dengan risiko bisa sakit parah, menularkan virus ke orang lain, atau mengembangkan long Covid.
Vaksinasi booster sangat penting terutama bagi orang-orang dalam kelompok berisiko, seperti mereka yang berusia di atas 60 tahun dan orang-orang dengan kondisi kesehatan tertentu seperti kencing manis, penyakit ginjal kronis. Petugas kesehatan juga harus mendapatkan suntikan booster karena risiko tinggi mereka terpapar virus dan bisa menyebarkannya ke orang-orang rentan yang datang ke layanan kesehatan.
Jangan melonggarkan prokes
Mengenakan masker adalah tindakan perlindungan yang efektif untuk membantu mengurangi infeksi dan penyebaran Omicron. Berdasarkan bukti sejauh ini, semua tindakan pencegahan yang efektif untuk melawan varian Delta, pun juga efektif melawan Omicron. Ini termasuk penggunaan masker, sering cuci tangan, dan menerapkan etika saat batuk dengan menutupkan tisu ke mulut.
Beberapa negara di Eropa seperti Inggris, Swedia, Denmark, Norwegia, dan Perancis telah mengeluarkan kebijakan yang melonggarkan protokol kesehatan. Inggris, misalnya, sejak 27 Januari 2022 tak lagi mewajibkan penggunaan masker, baik di luar maupun di dalam ruangan, kecuali bila berada di ruangan yang ramai dan tertutup. Tapi kita harus hati-hati dan waspada, jangan terlena dengan contoh kebijakan di Eropa itu.
Baca juga : Mengendalikan Penularan Omicron
Berkaca pada studi tahun 2021 (Bauer et al, 2021. PLoS Comput Biol), pelonggaran prokes mengakibatkan peningkatan jumlah kasus baru di Eropa, dan hanya dengan cakupan vaksinasi yang tinggi, gelombang Covid-19 yang lebih parah bisa dibendung. Studi ini juga menekankan pentingnya upaya pencegahan penularan pada pelajar yang menjalani PTM agar mereka tak menjadi kluster baru penularan Covid-19.
Mempertahankan jumlah kasus tetap rendah, bisa mengurangi jumlah infeksi dan kematian. Menjaga agar jumlah kasus tetap rendah adalah strategi jangka panjang paling aman, karena sangat mengurangi jumlah pasien yang sakit dan meninggal, serta membentuk kesiapsiagaan yang lebih baik terhadap datangnya varian baru yang lebih menular.
Kapan pandemi berakhir?
Dengan perkembangan yang ada, tampaknya akhir dari pandemi masih remang-remang. Masifnya serangan Omicron sekarang ini, meskipun dampaknya dikatakan tidak terlalu parah, belum bisa dikatakan sebagai indikasi bahwa pandemi akan mendekati akhir.
Perlu ditekankan, meskipun Omicron menyebar sangat cepat dan bahkan mendominasi hingga menggeser varian Delta, sebagian besar kasus Covid-19 saat ini masih disebabkan oleh varian Delta yang sudah terbukti menyebabkan penyakit parah dan banyak kematian.
Ada prinsip epidemiologi, bahwa setiap yang terinfeksi akan berpotensi menghasilkan mutasi baru, yang akan berkembang menjadi ancaman baru, sehingga dapat memperlama pandemi. Baru-baru ini telah dilaporkan adanya penemuan kasus Omicron pada rusa ekor putih di New York, AS. Meski sampai saat ini belum ada bukti penularan balik dari hewan ke manusia, infeksi Omicron pada hewan bisa jadi salah satu sumber munculnya mutasi baru yang berpotensi jadi ancaman baru di masa mendatang.
Membendung penularan tetap merupakan jalan paling realistis untuk memenangi perang melawan pandemi ini. Dengan vaksinasi dan prokes yang makin disiplin dengan tetap menjaga kebugaran, serta upaya penemuan obat, maka jumlah mutasi baru juga berpotensi menurun, melemah, dan pandemi kiranya akan menuju akhir.
Tentunya harus diupayakan kesetaraan memperoleh program vaksinasi Covid-19 di seluruh belahan dunia sehingga bisa diminimalkan terbentuknya mutasi virus ini. Bukankah hadirnya Omicron sebenarnya merupakan akibat dari kesenjangan ketersediaan vaksin di sebagian negara di Afrika? Pada kondisi demikian, varian virus Covid-19 sebelumnya sangat mungkin bermutasi di individu rentan yang belum divaksin dan varian mutasi baru tersebut (misalnya Omicron) kemudian ditularkan pada individu yang telah tervaksinasi.
Kita semua memiliki harapan sama: semoga Covid-19 yang sudah menginfeksi 400 juta dan membunuh 5,8 juta warga planet Bumi ini akan menjadi penyakit ringan biasa. Atau bahkan sebisa mungkin lenyap dari muka Bumi.
Djoko Santoso,Guru Besar Kedokteran Unair, Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim