"Kekebalan Super" dan Akhir Pandemi
Kecil kemungkinan pandemi dapat berakhir di tahun ini. Kemungkinan potensial adalah penyebaran dan kasus Covid-19 masih tetap fluktuatif namun tingkat kefatalannya sangat rendah. Mendekati tingkat kefatalan flu biasa.

-
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom baru-baru ini menarasikan prediksi optimistik; pandemi bisa berakhir tahun ini. Alasannya, saat ini telah terdapat beragam penatalaksanaan efektif pandemi. Salah satunya, yaitu vaksin, bahkan telah diberikan kepada lebih dari setengah penduduk Bumi.
Target selanjutnya adalah memberikan paling tidak satu dosis vaksin penguat kepada 70 persen populasi Bumi pertengahan tahun ini. Bila target ini tercapai, prospek akhir pandemi Covid-19 makin nyata di depan mata. Ini narasi WHO.
Sebagian ahli setuju pandangan ini. Sebagian lainnya pesimistis. Alasannya, di tengah badai varian Omicron saat ini, terlalu prematur memprediksi pandemi dapat selesai. Apalagi, meski vaksinasi telah diberikan kepada sebagian besar penduduk, masih terdapat ketimpangan global akses dan distribusi vaksin. Asimetritas cakupan vaksin masih besar. Ini menjadi kendala berakhirnya pandemi.
Apalagi, meski vaksinasi telah diberikan kepada sebagian besar penduduk, masih terdapat ketimpangan global akses dan distribusi vaksin.
Omicron: berkah tersembunyi?
Sejumlah ahli sependapat dengan Dirjen WHO bahwa pandemi akan berakhir tahun ini. Alasannya, cakupan vaksin yang luas saat ini jelas meminimalkan magnitudo pandemi. Program vaksinasi memang sangat masif. Per 18 Januari, hampir 10 miliar dosis vaksin telah diberikan di 180 negara. Sekitar 60 persen penduduk Bumi telah ter-cover vaksin.
Walau masih terdapat asimetritas cakupan antara satu negara dengan negara lain, cakupan global saat ini dianggap telah mendekati kekebalan komunitas (herd immunity). Dengan level ini, secara langsung maupun tidak, transmisi dan kefatalan Covid-19 tereduksi. Bila reduksi ini terus terjadi, pandemi secara gradual akan menghilang.
Alasan lain, kemunculan varian Omicron. Sebagian ahli menganggap varian ini sebagai blessing in disguise. Sesuatu yang tidak diharapkan namun membawa keuntungan. Beragam argumennya.
Pertama, berbagai studi awal (preliminary study) secara konsisten melaporkan bahwa varian ini bertransmisi sangat cepat, namun kefatalannya lebih rendah dibanding varian-varian sebelumnya. Keluhan klinisnya umumnya ringan dan proporsi pasien yang dirawat di rumah sakit dan meninggal tidak sebesar varian Delta. Bila varian ini terus meluas dan mendominasi, terjadilah fenomena penyebaran kasus yang luas tapi ringan (widespread but mild).
Kemunculan varian ‘ringan’ di tengah pandemi dianggap transisi yang landai sebelum pandemi mereda. Selain itu, fenomena widespread but mild ini dinilai menguntungkan karena dapat mengambil alih dominasi varian Delta yang lebih fatal. Bila fenomena widespread but mild ini terus berlanjut, Covid-19 akhirnya akan menyerupai flu biasa. Menyebar tetapi tidak terlalu mematikan.
Baca juga : Mencegat Gelombang Ketiga
Kedua, akhir-akhir ini berkembang sebuah konsep baru yang disebut super-immunity atau kekebalan super. Beberapa kajian awal (preliminary study) melaporkan bahwa orang yang telah mendapat vaksinasi lengkap dan terinfeksi Covid-19 lagi, maka dalam tubuhnya terbangun antibodi yang sangat kuat (super-immunity).
Fenomena kekebalan super ini juga dianggap terjadi pada orang yang terinfeksi varian Omicron. Dengan kekebalan super ini, orang menjadi kebal dan resisten terdapat infeksi Covid-19 dari varian apapun. Mereka tidak akan terinfeksi lagi untuk periode yang lama. Semakin banyak orang yang sudah divaksin dan terinfeksi lagi, semakin besar prevalensi kekebalan super di populasi.
Bila pada akhirnya mayoritas manusia telah memiliki kekebalan ini, transmisi Covid-19 akan sangat terhambat dan pandemi akhirnya menghilang. Banyak berharap hipotesis ini benar. Jika benar, fenomena kekebalan super ini akan menjadi pintu keluar dari pandemi.
Menariknya, terlepas dari hubungannya dengan hipotesis di atas, berbagai negara saat ini melonggarkan aturan karantina dan isolasinya. Padahal dunia sementara tengah diterpa badai Omicron. Di Amerika dan Inggris, masa isolasi penderita dikurangi dari 10 hari menjadi masing-masing lima dan tujuh hari. Di Jepang, masa karantina direduksi dari 14 hari menjadi 10 hari.
Relaksasi ini merupakan respons terhadap bukti ilmiah bahwa masa infeksi Omicron lebih rendah dibanding varian sebelumnya, yakni berkisar 3-5 hari saja. Bahkan di Inggris, relaksasi lebih longgar mulai dilakukan. Di mata sebagian ahli dan masyarakat, pelonggaran ini menjadi sinyal meredanya pandemi.

Morbiditas vs mortalitas
Evaluasi perkembangan pandemi menggunakan berbagai parameter, di antaranya adalah tren morbiditas (tingkat kesakitan) dan mortalitas (tingkat kematian). Terkait morbiditas, banyak parameter yang dapat digunakan; di antaranya adalah tingkat kasus (case rate) dan tingkat terkonfirmasi positif (positive rate). Pada aspek mortalitas, parameter yang umum digunakan adalah tingkat kematian (death rate) dan tingkat kefatalan penyakit (case fatality rate).
Hingga kini, tingkat kasus pada tingkat global masih terus berfluktuasi. Belum ada tren penurunan; bahkan terjadi peningkatan tajam akhir-akhir ini. Pada Januari 2021, tingkat kasus global adalah 94 per satu juta penduduk; saat ini menjadi 250 per satu juta penduduk. Tren fluktuasi ini mengisyaratkan bahwa perkembangan kasus baru masih sangat sulit diprediksikan. Jumlah kasus dapat naik atau turun setiap saat.
India dan Jepang adalah contoh negara yang sempat mengontrol kasus mereka pada titik rendah selama beberapa bulan. Namun beberapa waktu lalu, kasus Covid-19 mereka melonjak kembali. Banyak alasan terkait ini; salah satunya adalah kemunculan varian. Varian memiliki potensi meningkatkan kasus dan menjadi game changer. Pesan yang ditoreh jelas: sepanjang varian masih bermunculan, jangan euforia dengan jumlah kasus yang tampak rendah.
Pesan yang ditoreh jelas: sepanjang varian masih bermunculan, jangan euforia dengan jumlah kasus yang tampak rendah.
Bukan hanya tingkat kasus, tingkat terkonfirmasi positif juga masih sulit diprediksi hingga kini. Vietnam dan Singapura adalah contoh negara yang berhasil menekan tingkat terkonfirmasi positif di bawah 5 persen selama lebih dari setahun. Namun baru-baru, tingkat terkonfirmasi positif negara-negara ini kem -bali meroket, bahkan jauh di atas angka terkonfirmasi positif sebelumnya.
Berbeda dengan morbiditas yang polanya masih sulit diprediksikan, profil mortalitas mengalami tren penurunan signifikan dalam dua tahun pandemi. Setelah mencapai puncak tahun lalu dengan tingkat kematian (death rate) 1,8 per satu juta penduduk, tingkat kematian terus menurun dan saat ini berada di level 0,8 per satu juta penduduk.
Pada saat yang sama, tingkat kefatalan penyakit juga menurun dari puncak 7,3 persen menjadi 0,3 persen. Bahkan beberapa negara telah mencapai level di bawah 0,1 persen. Ini penurunan yang sangat signifikan. Ini mengisyaratkan bahwa dari hari ke hari tingkat kefatalan penyakit atau letalitas Covid-19 menjadi semakin berkurang.
Profil-profil di atas mengindikasikan bahwa meski tingkat kasus dan angka terkonfirmasi positif masih fluktuatif dan belum bisa diprediksi trennya, angka kematian dan tingkat kefatalan penyakit mengalami perbaikan signifikan. Artinya, transmisi infeksi masih terus bermunculan tapi kefatalannya berkurang.
Multimodalitas penanganan
Saat awal pandemi, strategi penanganan pandemi masih terbatas. Yang tersedia hanya pembatasan pergerakan orang dan barang, protokol kesehatan 3M serta 3T. Strategi konvensional ini diimplementasikan secara luas di berbagai negara dengan kualitas dan intensitas berbeda. Sebagian dilaksanakan dengan baik dan sebagian lagi seadanya.
Menariknya, meski dengan segala keterbatasannya, penatalaksanaan ini ternyata memberi efek kondusif signifikan. Dalam satu tahun penatalaksanaan, tigkat kefatalan penyakit global menurun dari 7,2 persen menjadi 2,2 persen pada akhir Desember 2020. Artinya, meski tanpa vaksinasi, penatalaksanaan konvensional ini bisa menurunkan tingkat kefatalan penyakit berkali-kali lipat.
Berbagai hal dihubungkan dengan penurunan ini; di antaranya, luasnya implementasi program dan partisipasi masyarakat serta meningkatnya cakupan tes dan penelusuran. Juga digunakannya beberapa obat meski dengan keterbatasan kemanjuran, seperti dexamethasone, tocilizumab dan sarilumab.
Vaksin Covid-19 pertama kali digunakan akhir Desember 2020. Dalam setahun, berbagai jenis vaksin Covid-19 telah disuntikkan kepada 4,7 miliar penduduk. Kombinasi penatalaksanaan konvensional dan program vaksinasi membuat tingkat kefatalan penyakit dan angka kematian menurun lebih jauh lagi. Dalam satu tahun program vaksinasi, tingkat kefatalan penyakit menurun dari 2,2 persen menjadi 0,3 persen saat ini.
Angka kematian juga menurun dari 1,3 per satu juta penduduk menjadi 0,8 per satu juta penduduk. Sebagian ahli memprediksi bahwa pada 2022, tingkat kefatalan penyakit dapat ditekan menjadi paling tidak 0,1 persen. Artinya, dari 1.000 orang yang terkonfirmasi positif, hanya satu orang yang meninggal.
Tersedianya beragam modalitas memberi pesan bahwa manusia telah memiliki beragam senjata efektif untuk melawan Covid-19.
Saat ini pula, telah bermunculan berbagai obat yang dapat digunakan untuk kasus Covid-19. Selain dexamethasone dan monoclonal antibody, baru-baru ini WHO menyetujui lagi dua obat, yaitu baricitinib dan sotrovimab. Studi klinis menunjukkan obat ini bermanfaat.
Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) Amerika akhir tahun lalu juga menyetujui molnupiravir sebagai obat Covid-19. Obat ini dapat menurunkan 30 persen perawatan rumah sakit dan kematian. Tersedianya beragam modalitas memberi pesan bahwa manusia telah memiliki beragam senjata efektif untuk melawan Covid-19.
Metamorfosis pandemi
Dengan beragam modalitas efektif, wajar bila muncul harapan bahwa pandemi akan segera berakhir. Gabungan penatalaksanaan 3M, 3T, pembatasan pergerakan, obat dan vaksin memang telah menurunkan angka kematian dan tingkat kefatalan penyakit. Sayangnya, belum ada indikasi bahwa penatalaksanaan-penatalaksanaan ini mampu mengontrol kemunculan kasus-kasus baru. Intinya, multi-modalitas dapat menekan tingkat kefatalan tetapi belum dapat menekan tingkat kejadian kasus baru.
Sebagian berharap kemunculan Omicron akan menjadi end game pandemi. Dengan tingkat kefatalan yang rendah, varian ini diasumsikan dapat mengambil alih dominasi varian Delta yang lebih fatal dan menjadi varian transmisi sebelum berakhirnya pandemi.
Omicron juga dihipotesakan dapat menginduksi kekebalan super dan memberi proteksi kuat dan lama. Sayangnya, harapan-harapan ini masih didasarkan pada hipotesis tanpa pembuktian ilmiah yang adekuat dan komprehensif. Ia diwacanakan saat informasi dan bukti-bukti terkait belum solid dan komprehensif. Ia muncul di tengah ketidaksempurnaan pengetahuan dan sains terkait Covid-19 dan variannya.
Dengan pra-kondisi demikian, kecil kemungkinan pandemi dapat berakhir di tahun ini. Kemungkinan potensial adalah penyebaran dan kasus Covid-19 masih tetap fluktuatif namun tingkat kefatalannya sangat rendah. Bahkan bisa jadi mendekati tingkat kefatalan flu biasa, yaitu di bawah 0,1 persen.
Bila ini benar terjadi, maka akan terjadi metamorfosis pandemi; pengalihan magnitudo dari pandemi menjadi endemi. Covid-19 akan menjadi sebuah kejadian endemi (endemic event); virus terus ada, menyebar (scattered), hilang-timbul di berbagai daerah dengan tingkat kefatalan yang rendah. Kira-kira mirip flu musiman.
Iqbal Mochtar Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah

Iqbal Mochtar