Mencegat Gelombang Ketiga
Jika negara-negara maju di kawasaan Eropa kewalahan menahan serbuan varian Omicron, sudah sepantasnya jika negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih serius mengantisipasinya.

Heryunanto
Jasad superkecil korona terus membolak-balik keadaan dunia.
Awal Perang Dunia II, 1939, Jerman secara mengejutkan melancarkan blitzkrieg atau serangan kilat dan berhasil menggilas Eropa lalu menyeberang ke Afrika pada 1941. Karena kesuksesannya menancapkan kekuasaan sampai ke Afrika ini, Erwin Rommel, sang jenderal Divisi Panzer ke-7 ini, dijuluki “Serigala Padang Pasir”.
Delapan puluh tahun kemudian, November 2021, gantian “pasukan Afrika” yang melancarkan blitzkrieg menyerang Jerman. Bedanya, pasukan ini berupa makhluk tak kasat mata angkatan bersenjata Covid-19, dari “divisi” Omicron. Inilah varian paling baru dari serangkaian mutasi virus korona yang hari-hari ini dengan ganas melibas Eropa.
Jerman, negara maju dan paling kuat ekonominya se-Eropa, kalang kabut diserang blitzkrieg korona gelombang ketiga. Meskipun 75 persen warga Jerman sudah divaksinasi, ternyata tetap mengalami lonjakan kasus hingga mencapai 76.000 kasus per hari (24/11/2021).
Sehari sebelumnya, Jerman menembus rekor melewati 100.000 kematian akibat Covid-19. Padahal, di saat puncak dua gelombang pertama, Jerman hanya mencatatkan angka harian sekitar 30.000 kasus. Dan sudah landai di bawah seribu kasus per hari pada Juni-Juli lalu. Kini keadaan kalut lagi.
Angkatan Udara Jerman yang 80 tahun lalu ikut membombardir Afrika, hari-hari ini digunakan untuk mengevakuasi pasien Covid-19 dari beberapa rumah sakit yang yang kewalahan akibat penuh pasien. Hanya warga yang sudah divaksinasi dosis lengkap saja yang diizinkan keluar rumah atau mendatangi acara publik.
Serangan gelombang ketiga juga menyasar negara kecil seperti Slovakia, yang angka vaksinasinya sudah mencapai 45 persen, tetapi mengalami lonjakan kasus sampai 8.324 kasus per hari. Demikian juga dengan Austria. Sejak pertengahan November, kasusnya melonjak drastis, dengan rekor pertambahan 15.809 kasus per hari sehingga diterapkan lockdown, warga yang belum vaksinasi dilarang keluar rumah. Serangan gelombang ketiga merembet ke Yunani, Prancis, Inggris, Italia, Belanda, Turki, Rusia, dan sekitarnya.
Dari kawasan Eropa, sekarang kita lihat situasi dalam negeri. Jika melihat grafik kurva kasus terkonfirmasi positif dari awal 2020 hingga 2021, terlihat bahwa kurva tak menunjukkan progresi secara linier, tetapi menunjukkan ketidakpastian. Pada Januari 2021 kita tak pernah membayangkan (atau sebenarnya meremehkan) akan terjadi lonjakan kasus Covid-19, padahal di negara lain lonjakan kasus itu nyata terjadi.
Baca juga : Belum Ada Kematian akibat Omicron
Kita juga tak membayangkan virus ini dapat memporak-porandakan kehidupan di semua sektor, termasuk melumpuhkan sistem kesehatan nasional. Juli 2021, terjadilah serangan gelombang kedua Covid-19, empat sampai lima kali lebih besar dibandingkan serangan gelombang pertama di Januari 2021. Puncak gelombang kedua ini kasus harian mencapai 57.000 kasus akibat Covid-19 varian Delta, nama yang diambil dari huruf keempat abjad Yunani.
Ini bukti bahwa virus ini berkembang secara tak pasti. Mengapa demikian? Hal ini karena ada sifat natural, bahwa setiap makhluk akan memiliki kemampuan untuk selalu beradaptasi mengikuti perkembangan ruang dan waktu yang begitu dinamis. Begitu pula dengan virus korona ini, yang memiliki kecerdasan untuk beradaptasi dengan cara melakukan mutasi berkali-kali.

Didie SW
Omicron, “upgrading” Delta
Umumnya, virus akan terus bermutasi dan makin lama virusnya menjadi semakin lemah, sehingga bisa dikendalikan. Contohnya, virus influenza dan polio. Namun hal ini belum terjadi pada virus korona. Meredanya kasus harian lima bulan terakhir ini seperti menunjukkan bahwa virusnya masih ada, tetapi seperti ‘tidur’ (dormant), dan suatu saat akan bangun kembali.
Dan memang akhirnya terbukti, awal November ini kita dikejutkan oleh munculnya varian mutasi baru di Afrika Selatan, yang diberi kode B.1.1.529 dan diberi nama Omicron (O), huruf ke-15 abjad Yunani.
Kondisi ini diduga muncul bermula dari wisatawan Afrika yang berpergian ke Hong Kong, atau bisa jadi wisatawan yang bepergian ke Afrika lalu ke Hong Kong. Virus mutasi terbaru ini kemudian diteliti secara genomik dan ternyata memiliki potensi kemampuan yang jauh lebih ganas dibandingkan varian Delta, setidaknya dalam kecepatan penularannya. Padahal, varian Delta ini dikenal sebagai varian paling berbahaya yang sudah memporak-porandakan dunia, termasuk “tsunami” kedua Covid-19 yang melanda Indonesia.
Terbukti dalam waktu singkat varian Omicron menyebar dari Afrika ke Eropa, Asia, dan kemudian ke Australia dan Amerika. Negara-negara yang angka vaksinasinya sudah tinggi tetap kena juga. Singapura angka vaksinasi sudah mencapai 90 persen, kena juga. AS yang angka vaksinasinya 60 persen dan vaksin yang dipakai jenis mRNA, juga kena. Ini mengindikasikan virus varian Omicron ini bisa menembus sistem pertahanan yang telah dibentuk oleh vaksinasi.
Ini mengindikasikan virus varian Omicron ini bisa menembus sistem pertahanan yang telah dibentuk oleh vaksinasi.
Kawasan Eropa kini tengah menghadapi serangan gelombang ketiga yang yang dipicu oleh varian B 1.1.529 Omicron. Surat kabar The Washington Post (27/11/2021) menyebut, varian baru ini bisa memiliki varian mutasi 50 secara keseluruhan, dan 32 mutasi pada spike protein yang berfungsi sebagai pintu masuk untuk menginfeksi sel manusia.
Sebagai perbandingan, varian Delta yang belum lama ini membuat India dan Indonesia babak belur pada serangan gelombang kedua, memiliki antara 13 hingga 17 mutasi pada spike protein. Artinya, varian baru ini sangat potensial lebih berbahaya daripada varian Delta.
Penelitian lebih spesifik mengidentifikasi varian Omicron ini memiliki 30 perubahan, tiga penghapusan kecil dan satu penyisipan kecil dalam protein lonjakan, 15 di antaranya berada dalam domain pengikatan reseptor atau RBD.
Mengikuti istilah yang biasa dipakai pada pelatihan SDM, tampaknya varian Omicron adalah hasil upgrading dari varian Delta. Maka, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan varian Omicron ini ke daftar Variant of Concern (VoC) atau varian yang harus diwaspadai. Beberapa varian Covid-19 yang muncul di dunia mengalami mutasi pada spike protein yang berbentuk seperti ‘duri’ di atas permukaan virus.
Baca juga : Vaksinasi dan Disiplin Prokes Benteng Hadapi Omicron
Meskipun berasal dari virus yang sama, varian virus yang muncul di Inggris dan Afrika berbeda. Varian virus yang muncul di Inggris memiliki 17 mutasi pada spike protein. Sedangkan varian virus yang muncul di Afrika memiliki 32 mutasi pada spike protein. Mutasi yang lebih banyak ini membuat para ahli menduga varian Omicron lebih ganas daripada varian sebelumnya.
Virus Covid-19 ini bisa dibilang unik dan “cerdas”, sehingga pola mutasinya masih terus diteliti oleh para ahli. Virus ini mengandung potensi mutasi sangat hebat, yang setiap saat bisa meledak. Para ahli yang mempelajari varian Omicron menemukan bahwa proses mutasinya unik, dan bisa menghasilkan varian virus baru yang sangat ganas, dapat menembus sistem pertahanan yang dibentuk oleh vaksinasi.
Di dalam virus terdapat suatu molekul yang disebut sebagai nukleotida, yang terdiri atas kombinasi yang berbeda-beda. Kombinasi nukleotida ini seperti membuka sebuah kunci yang terdiri atas kombinasi berbeda. Genom suatu virus mengandung kurang lebih 30.000 ‘kombinasi kunci’. Setiap kali virus menyebar, kombinasi genom ini akan terus ada duplikatnya. Bayangkan bila harus menduplikasi kurang lebih 30.000 kombinasi genomik, suatu waktu pasti ada kondisi bahwa kombinasinya tidak sesuai.

Didie SW
Variasi kombinasi ini bila terjadi sangat kecil, tak terlalu banyak berdampak pada virus. Bahkan bila kombinasi yang dihasilkan salah, virus yang dihasilkan bisa kian melemah dan mati. Sebaliknya, bila ternyata kombinasi genomik yang dihasilkan berhasil, maka terciptalah varian baru yang memiliki kemampuan menular lebih cepat dan lebih resisten terhadap sistem imun. Varian ini sangat berbahaya dan dapat hidup lebih lama.
Vaksinasi anak
Media Barat melansir bahwa varian virus terbaru ini menjadi ‘alarm’ bagi dunia. Beberapa hari sebelum WHO memasukkan varian Omicron ke daftar “VoC” atau varian yang harus diwaspadai, banyak negara sudah terlebih dulu menutup penerbangan dari dan ke Afrika Selatan, baik langsung maupun transit, seperti yang direkomendasikan oleh European Center Disease Prevention and Control (ECDC). Prinsipnya, lebih baik ketat mencegah dari awal daripada nanti kebobolan.
ECDC juga merekomendasikan agar meningkatkan pengujian kasus terkonfirmasi, dan pelacakan kontak kasus yang berasal dari daerah yang terkena serangan varian Omicron. Karena Omicron diindikasikan menurunkan efikasi vaksin, ECDC juga merekomendasikan agar warga berusia 40 ke atas diberikan booster vaksin dosis ketiga, dengan prioritas pada warga lansia dan rentan.
Baca juga : Varian Omicron dan Prospek Suram Akhir Pandemi
Ada baiknya rekomendasi ECDC ini kita jadikan referensi untuk menyiapkan skenario antisipasi. Langkah pemerintah melarang masuk orang asing dari 10 negara Afrika dan Hong Kong cukup tepat. Kita sudah belajar, bahwa varian Delta yang membuat “tsunami” kedua Covid-19 pada Juli lalu berasal dari negara asing yang terlambat dicegat, padahal saat itu warga sendiri diketati.
Langkah lain yang cukup baik adalah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru. Yang diperlukan, bagaimana menegakkan aturan itu di lapangan, yang berdasar pengalaman kemarin ternyata tidak gampang. Masih terlampau banyak warga yang ngotot menerjang dan mengabaikan PPKM, demi bisa mudik dan berlibur. Padahal, itulah awal gelombang tsunami kedua pandemi yang baru lalu.
Meskipun Omicron ini dikhawatirkan bisa menembus perisai vaksin, namun tetap lebih baik mempercepat dan memperluas cakupan vaksinasi.
Bagaimanapun vaksin tetap bisa mengurangi efek kefatalan dan keterjangkitan.
Untuk itu, seperti disampaikan Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang perlu mulai dikaji dan dilaksanakan adalah vaksinasi Covid-19 untuk anak-anak, termasuk di bawah 11 tahun karena tak mungkin membatasi gerak manusia kecil yang sedang tumbuh ini, karena gerak dan bersosialisasi secara fisik menjadi kebutuhan bagi tumbuh kembangnya.
Termasuk berkegiatan langsung di sekolah dan lingkungan.
Selain yang sudah berjalan dan di program, Kementerian Kesehatan dengan otorisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu juga mempertimbangkan langkah vaksinasi anak-anak ini, agar jangan sampai anak-anak kita jadi kelompok yang paling rentan di saat pandemi ini.

Bisa saja ayah ibunya sudah relatif kebal, tapi tetap bisa membawa virus yang ditularkan ke anaknya yang belum divaksin. Maka, demi keselamatan kita bersama, perlu disegerakan vaksinasi kepada si kecil, agar kekebalan komunal (herd immunity) mencakup semua umur. No people left behind on vaccination.
Yang patut diwaspadai juga, ada kecenderungan kita mulai rileks saat ini. Beberapa bulan terakhir semenjak program vaksin -asi mulai berjalan, Indonesia akhirnya bisa bernapas lega karena kasus Covid-19 mulai menunjukkan kabar baik.
Kasus positif sudah mulai berkurang, prevalence rate Indonesia mulai mencapai kurang dari 1 persen, rumah sakit tidak lagi kebanjiran kasus Covid-19, dan beberapa kegiatan rutin seperti sekolah, kantor, dan pusat perbelanjaan sudah mulai aktif kembali dengan tetap menggunakan protokol kesehatan setidaknya.
Tak heran merebak optimisme bahwa pandemi Covid-19 sudah mulai berakhir dan beranjak menuju endemi seperti penyakit biasa. Banyak orang bahkan sudah tidak lagi menggunakan masker dan mulai bepergian ke tempat ramai.
Manusia harus menyadari bahwa makhluk ciptaan lainnya butuh ruang dan waktu untuk berjalan sesuai dengan sunatullah.
Manusia punya bekal mengalahkan virus ini. Akan tetapi, manusia tidak boleh arogan dan harus selalu berdamai dengan ekosistemnya. Manusia harus menyadari bahwa makhluk ciptaan lainnya butuh ruang dan waktu untuk berjalan sesuai dengan sunatullah.
Manusia dapat mengambil suatu langkah untuk kembali melakukan restorasi dalam lingkungannya, seperti mengembalikan lahan hijau dan mengurangi limbah. Seperti yang disampaikan oleh UNESCO, living together and life from it. Belajar sepanjang hayat untuk kemaslahatan umat manusia dan ekosistemnya.

Djoko Santoso
Jika negara-negara maju di kawasaan Eropa saja kewalahan menahan serbuan varian Omicron, sudah sepantasnya jika negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih serius mengantisipasinya. Kencangkan kembali protokol kesehatan, termasuk mengejar 70-80 persen populasi tervaksinasi Covid-19 secara lengkap, dan tingkatkan ketahanan diri dengan gaya hidup sehat. Datangnya gelombang ketiga harus kita cegah dan cegat, agar kita tetap bisa melanjutkan pemulihan di segala bidang.
Djoko Santoso Guru Besar FK Unair, Ketua Majelis Kesehatan MUI Jatim, Penyintas Covid-19