Mengendalikan Penularan Omicron
Puncak gelombang kenaikan kasus Omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret, dan ini dampak dari kenaikan kasus Omicron yang terjadi di seluruh dunia.
Kasus Omicron terus berkembang luas, di dunia dan di negara kita. Setelah laporan kasus pertama varian Omicron Indonesia pada 16 Desember 2021, sebulan kemudian, sesuai penjelasan Kementerian Kesehatan pada 12 Januari 2022, jumlah kasus telah menjadi 572 kasus dan per 19 Januari 2022 menjadi 11.392 kasus.
Sementara, data dari GISAID 17 Januari 2022 menunjukkan ada 660 genomik sekuen dari Indonesia. Jumlah kasus di Indonesia diperkirakan bisa terus meningkat, dengan puncaknya, mengutip keterangan pers Menteri Kesehatan pada 17 Januari, diprediksi "terjadi dalam 35-65 hari ke depan". Puncak gelombang kenaikan kasus Omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret, dan ini dampak dari kenaikan kasus Omicron yang terjadi di seluruh dunia.
Data global dari GISAID menunjukkan sampai 17 Januari 2022 sudah 118 negara yang secara total memasukkan 374.295 genom Omicron. Sejauh ini, jumlah negara yang melaporkan kasus Omicron sudah lebih dari 120 negara, bahkan pada 13 Januari 2022 varian Omicron sudah ditemukan di semua negara anggota Uni Eropa.
Memang sebagian besar kasus di dunia dan di Indonesia kondisinya ringan dan sebagian bahkan tanpa gejala. Tetapi kita tak dapat menganggap semua kasus Omicron adalah ringan. Sudah jelas setidaknya ada puluhan orang yang meninggal di dunia karena Omicron.
Inggris melaporkan 75 kasus meninggal akibat Omicron sampai 31 Desember 2021, belum lagi negara lain seperti AS, Israel, India, Australia dan lain-lain. Jadi, varian Omicron dapat membuat pasiennya sakit parah sampai meninggal, walaupun persentasenya memang jauh lebih kecil daripada varian Delta.
Kita tahu, kalau ada yang meninggal, satu nyawa pun amat berharga dan tak bisa tergantikan dengan apapun, apalagi kalau menimpa kerabat kita. Lonjakan kasus yang membuat sebagian kecil penderita harus masuk rumah sakit—terutama jika ini menimpa para lansia atau mereka yang memiliki penyakit penyerta— tentu akan memberi beban juga pada fasilitas pelayanan kesehatan kita.
Luar negeri
Untuk mengendalikan kemungkinan kenaikan kasus, kita perlu mengenal pola penularan yang ada dan melakukan program pengendalian yang spesifik untuk masing-masing pola. Sejauh ini, setidaknya ada tiga pola penularan dan tiga kelompok yang menyebabkan naiknya kasus Covid-19 varian Omicron di negara kita, yaitu mereka yang datang dari luar negeri, mereka yang tertular dari orang yang datang dari luar negeri, dan sudah adanya transmisi lokal.
Untuk mereka yang datang dari luar negeri —sejauh ini masih merupakan kelompok terbanyak— maka setidaknya ada lima hal yang sudah dan perlu dilakukan. Pertama, kepada semua peserta perjalanan luar negeri, harus dilakukan pemeriksaan PCR begitu sampai di Tanah Air, dan akan baik kalau PCR itu dapat mendeteksi fenomena “SGTF — S gene target failure” yang dapat mengarahkan ke kemungkinan infeksi akibat varian Omicron. Mereka yang masuk ke negara kita perlu mengisi data kesehatan secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam kartu kewaspadaan kesehatan (health alert card).
Kedua, semua harus menjalani karantina tanpa kecuali, di tempat yang benar-benar terjamin dan sesuai waktu yang ditentukan. Jika hasil tes PCR-nya positif, maka mereka harus dirawat di rumah sakit. Ketiga, pemeriksaan PCR harus negatif sebelum mereka dapat keluar dari karantina, sehingga tidak terjadi penularan di masyarakat.
Keempat, walaupun sudah selesai karantina —kebijakan saat ini adalah sela -ma tujuh hari— akan baik kalau mereka yang baru masuk dari luar negeri ini bisa tetap dipantau, sambil mereka beraktivitas di masyarakat. Ini yang disebut pengawasan pasca-karantina. Salah satu pemantauan yang bisa dilaksanakan ada -lah dengan memberikan informasinya ke puskesmas tempat pasien tinggal. Petugas puskesmas bisa menghubungi mereka dan memantau secara berkala.
Kelima, kalau ada yang baru datang dari luar negeri dan ternyata positif Omicron, maka akan baik jika diterap -kan mekanisme International Health Regulation (IHR). Dalam hal ini, IHR focal point Indonesia bisa menghubungi IHR focal point negara asal dan mengin -formasikan kasus yang ada agar mereka bisa melakukan testing dan telusur terhadap kemungkinan sumber penular di negara itu.
Tentang kasus dari luar negeri ini, memang sudah ada imbauan agar kita tak keluar negeri dulu sekarang ini, tetapi kalau toh ada WNI yang memutuskan pergi dengan berbagai pertimbangannya, maka setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, perlu diberikan penjelasan yang baik, jelas dan berdasarkan data akurat tentang risiko bahaya tertular penyakit. Selain itu, perlu terus dijelaskan ke publik situasi Omicron di dunia, hari per hari, terma -suk perkembangan di kota-kota negara -negara lain, seperti yang selalu diberikan oleh Center on Diseases Control and Prevention (CDC) AS kepada warganya, dengan berbagai level kewaspadaan dan persiapan yang perlu dilakukan.
Kedua, semua WNI yang terpaksa harus ke luar negeri, harus selalu dalam pengawasan Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal (KBRI/KJRI) setempat. Kewajiban melapor ke KBRI harus lebih ditegakkan lagi, demi kepentingan WNI itu sendiri. Ketiga, jika ada WNI yang sakit ketika berada di luar negeri maka bukan hanya harus ditangani di sana, tetapi juga diinformasikan ke Indonesia untuk antisipasi selanjutnya.
Di dalam negeri
Kasus Omicron juga dapat terjadi di Tanah Air. Kita ingat bahwa Tn N, kasus Omicron pertama Indonesia, adalah petugas kebersihan di Wisma Atlet. Belakangan juga dilaporkan ada petugas laboratorium di bandara yang tertular saat sedang menangani warga yang baru turun dari pesawat, dan petugas laboratorium ini kemudian menulari pula beberapa orang di tempat kos-nya.
Untuk mengendalikan ini, program pengendalian infeksi (PPI) harus lebih diperketat, baik di bandara maupun di Wisma Atlet atau wisma lain yang menampung warga yang baru datang, dan juga di hotel-hotel yang ditunjuk. Pengetatan PPI amat penting karena Omicron jauh lebih mudah menular daripada Delta. Walaupun kita sudah punya pengalaman panjang menangani varian Delta, upaya pencegahan penularan harus lebih ketat lagi di berbagai fasilitas yang ada. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tepat sesuai aturan harus benar-benar diterapkan, termasuk standar operasional prosedur (SOP) bagaimana melepaskan dan membuang APD sesudah dipakai.
Kita melihat kenyataan, sudah cukup banyak kasus transmisi lokal terjadi di Indonesia. Mereka tak punya riwayat perjalanan keluar negeri dalam beberapa bulan sebelumnya dan tak ada riwayat kontak dengan orang yang baru datang dari luar negeri. Artinya, mereka tertular dari sumber penular di dalam negeri.
Untuk transmisi lokal ini ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penelusuran kepada siapa saja virus ditularkan. Di beberapa tempat, mikro lock down sudah dilakukan dalam lingkup RT atau RW karena banyak yang tertular. Ini hal baik, tetapi selain itu harus dilakukan hal kedua, yaitu dicari juga dari mana kasus transmisi lokal tertular.
Jadi selain “telusur ke depan” siapa saja yang sudah tertular, harus juga dilakukan “telusur ke belakang” untuk menemukan siapa yang menulari. Jika sudah diketahui sumber awalnya maka bisa dicek ke mana saja ia sudah menularkan, lalu dilakukan telusur lagi dan bila diperlukan dilakukan isolasi, demikian seterusnya.
Tes dan vaksinasi
Selain upaya-upaya di atas, jumlah tes harus ditingkatkan. Ini terutama karena banyak kasus Omicron yang tanpa gejala (OTG) dan hanya ditemukan waktu dilakukan tes. Dari tes yang dilakukan, jika ditemukan ada OTG yang positif Omicron, mereka harus diisolasi supaya tak menularkan ke sekitarnya. Dengan demikian, tak terjadi penularan berkepanjangan di masyarakat (continued community transmission) dan jumlah kasus bisa dikendalikan.
Tentu saja vaksinasi harus terus ditingkatkan. Data sampai 17 Januari 2022 menunjukkan, masih lebih dari 42 persen populasi kita dan lebih dari 55 persen lansia belum divaksin dua kali, artinya belum mendapat perlindungan memadai. Angka ini harus dikejar dengan lebih cepat lagi, sejalan dengan pemberian vaksin penguat yang sudah dimulai beberapa waktu yang lalu.
Pemberian booster memang bermanfaat untuk pengendalian Omicron, tetapi vaksinasi primer yang dua kali merupakan hal yang utama dan pelaksanaannya jangan sampai terganggu oleh program pemberian vaksin penguat.
Dalam dinamika pengendalian varian Omicron ini, bisa saja ada perubahan kebijakan dari waktu ke waktu. Tentu akan baik kalau perubahan aturan disampaikan secara transparan ke masyarakat, disertai bukti-bukti ilmiah yang mendasarinya, sehingga lebih mudah dipahami masyarakat luas.
Tjandra Yoga Aditama Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes