Kehadiran nahdliyat di PBNU ataupun di berbagai jenjang kepengurusan NU, di dalam ataupun luar negeri, merupakan titik balik dalam perjalanan NU yang selama ini dilingkupi oleh dominasi nahdliyin.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·5 menit baca
Pada 31 Januari 2022, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melaksanakan pelantikan kepengurusan periode 2022-2027 di Kalimantan Timur. Acara pelantikan ini bertepatan pula dengan Hari Lahir Ke-96 NU yang peringatannya dirangkai dengan berbagai acara hingga 17 Februari 2022.
Dalam pelantikan ini, ada 11 perempuan NU (nahdliyat) yang ambil bagian sebagai pengurus PBNU. Mereka ditempatkan di jajaran mustasyar, syuriah, dan tanfidziyah. Pelibatan mereka dalam PBNU periode ini tentu menjadi terobosan penting dan penanda terbangunnya prinsip aswaja yang berkaitan dengan nilai keseimbangan (tawazun) yang berbasis kesetaraan jender. Bahkan, terobosan penting ini mendekonstruksi segregasi nahdliyat dalam organisasi NU yang selama ini terpisah dengan laki-laki NU (nahdliyin).
Selain itu, apa yang dilakukan PBNU dalam membaurkan nahdliyin dan nahdliyat dalam postur kepengurusannya, kemungkinan besar akan diikuti oleh pengurus NU di berbagai wilayah dan cabang di Indonesia maupun pengurus NU di luar negeri.
Sebagai kado ulang tahun ke-96 NU, kehadiran nahdliyat di PBNU maupun di berbagai jenjang kepengurusan NU di dalam maupun luar negeri merupakan titik balik (turning point) dalam perjalanan NU yang selama ini dilingkupi oleh dominasi nahdliyin. Betapa tidak, dalam 60 tahun terakhir ini, nahdliyat hanya ditempatkan di kepengurusan NU di badan otonom seperti fatayat, muslimat, maupun organ lainnya yang proses interaksi organisatorisnya lebih kepada sesama nahdliyat. Kalaupun ada ruang interaksi organisatoris yang melibatkan nahdliyat dan nahdliyin hanya di level tertentu dan persatuan pelajar NU.
Padahal, di tahun 1960, NU pernah mengeluarkan keputusan penting perihal pelibatan nahdliyat dalam jajaran kepengurusan PBNU dalam posisi syuriyah. Saat itu, beberapa nahdiyat yang masuk dalam kepengurusan PBNU antara lain Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Choiriyah Hasyim.
Secara sosiologis, pelibatan nahdliyat dalam kepengurusan PBNU periode Gus Yahya meneguhkan pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam memosisikan nahdliyat di tubuh NU. Mengadaptasi cara pandang Julia Cleves Mosse dalam buku Gender and Development, pergeseran cara pandang NU terhadap nahdliyat yang berbasis pada kesetaraan jender melampaui dua skema, pertama, perempuan dalam NU (woman in NU), kedua, perempuan dan NU (woman and NU)
Dalam skema pertama, pendekatan perempuan dalam NU, cenderung memosisikan nahdliyat sebagai pihak yang harus bisa bersaing dengan nahdliyin. Menjadi wajar apabila keberadaan muslimat dan fatayat yang selama ini banyak berkiprah dalam kegiatan keperempuanan, tetapi secara publik terkesan menduplikasi atau mereplikasi kegiatan yang menjadi pakem badan otonom yang diisi oleh nahdlyin. Salah satu contoh adalah ketika fatayat membentuk Garfa (garda fatayat) yang nyaris menyerupai kerja kesiap-siagaan atau kedisiplinan GP Anshor.
Pergeseran cara pandang NU terhadap nahdliyat yang berbasis pada kesetaraan jender melampaui dua skema, pertama, perempuan dalam NU ( woman in NU), kedua, perempuan dan NU ( woman and NU).
Adapun skema kedua, pendekatan perempuan dan NU cenderung menggeser produktifitas nahdliyat di ruang publik ke ranah domestik. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pemisahan kewenangan organisatoris bahwa nahdliyat mengurusi persoalan keluarga—seperti yang terjadi pada lembaga kemaslahatan keluarga—sementara nahdliyin mengurusi wilayah yang lebih besar. Dampaknya, ada proses pelembagaan garis demarkasi bahwa keberadaan nahdliyat hanya ”dipantaskan” mengurusi yang ringan, remeh, dan berskala mikro.
Kini, dua pola pelibatan nahdliyat di tubuh NU mengalami titik balik, di mana nahdliyat tidak lagi diposisikan dalam wilayah woman in NU maupun woman and NU. Akan tetapi, masa kepemimpinan PBNU periode ini mengubah pakem lama dengan skema baru, yaitu jender dan NU. Dalam skema ini, PBNU tidak lagi mempersoalkan pembedaan wewenang dan pembatasan kewenangan organisatoris, bahwa urusan besar NU ditangani oleh para nahdliyin, sementara urusan kecil dianggap cocok untuk nahdliyat.
Selain itu, skema jender dan NU ini berusaha mengubah paham patriarkis yang selama ini cenderung feodalistik menjadi lebih egaliter sehingga keberadaan nahdliyat di tubuh PBNU mempunyai peran organisatoris dalam akses dan kontrol yang lebih besar. Dengan keterlibatan kaum nahdliyat dalam PBNU—dalam skema jender dan NU—maka kepentingan kaum perempuan akan lebih tersalurkan. Bahkan, lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan NU akan mencerminkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender.
Prinsip kesalingan
Meski demikian, perubahan paradigma PBNU dalam melibatkan nahdliyat di dalam roda organisatorisnya tentu tidak hanya menjadi penghias atau pelengkap (lip service) saja. Akan tetapi, skema jender dan NU yang menjadi angin segar harus disertai dengan kesadaran para nahdliyin akan pentingnya menumbuhkan eksosistem jender dalam interaksi organisatorisnya.
Dalam konteks ini, jender yang harus disadari bukan sebatas perbedaan jenis kelamin antara nahdliyin dan nahdliyat. Akan tetapi, jender yang mengacu pada seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri nahdliyin dan nahdliyat yang sama-sama terlibat dalam membesarkan NU ke depan dan kesejajaran peran yang akan diambil NU dalam merespons perkembangan zaman dan perubahan sosial.
Terlebih tantangan kehidupan masyarakat di masa akan depan dipenuhi oleh berbagai kejutan budaya dan tantangan peradaban yang membutuhkan adaptasi, responsi, dan pengendalian emosi agar tidak mudah panik. Maka, keberadaan nahdliyat dan nahdliyin harus sama-sama melandasi gerak dan kiprah dengan prinsip kesalingan (mubadalah).
Dalam prinsip mubadalah, nahdliyin dan nahdliyat yang periode ini sama-sama diberikan tanggung jawab dalam membesarkan NU ke depan dan sama-sama diberikan nalar kreatif dalam menyongsong kebangkitan kedua (an nahdlah ats tsaniyah), harus saling bekerja sama dan bersama-sama menempatkan diri secara profesional dan menempakan diri dengan prestasi kerja.
Semoga, kehadiran 11 nahdliyat di kepengurusn PBNU periode ini, selain menjadi kado Harlah Ke-96 NU, juga betul-betul menjadi penanda kebangkitan NU yang satu sisi melestarikan spirit keilmuan dan amal shaleh para pendiri, dan di banyak sisi mewarnai lahirnya inovasi berorganisasi yang egaliter, berimbang, dan berkeadilan.
Fathorrahman Ghufron, Dosen Sosiologi Hukum Islam pada FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta